BAGIAN 1

246 11 1
                                    

Pendekar Rajawali Sakti tegak berdiri di atas bukit yang memiliki tanah menghampar luas. Kepalanya menengadah lurus ke angkasa. Langit berwarna merah jelaga ketika sang surya mulai rebah tenggelam di ufuk barat. Angin bertiup semilir mempermainkan rambutnya, membawa udara tandus yang mengeringkan hati. Bola matanya tajam laksana seekor rajawali mencari mangsa.
"Aku bersumpah! Ke lubang semut sekali pun, akan kucari kalian!" desis Rangga. "Aku harus berhasil membebaskan Pandan Wangi!" Rangga menghela napas sejenak. Kemudian dua buah jari tangannya dimasukkan ke mulut. Lalu....
"Suiittt...!"
Terdengar suitan nyaring, menggema ke seluruh pelosok terbawa oleh tiupan angin. Langit mulai gelap. Rangga terpaksa mengerahkan aji 'Tatar Netra' yang saat menatap ke angkasa mampu menembus kegelapan malam lewat sorot matanya. Bahkan dalam jarak yang jauh sekali pun.
Dan Rangga pun tersenyum ketika melihat titik putih di angkasa yang semakin membesar laksana payung raksasa. Semakin lama semakin terlihat jelas kalau yang tengah meluncur turun itu adalah seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan.
"Kraaagkh...!"
Diiringi teriakan parau yang menggema, burung rajawali raksasa ini mendarat di tanah menghampar setelah didahului hempasan angin kencang yang menerbangkan bebatuan.
Rangga mendekati burung raksasa itu, langsung mengelus-elus lehernya penuh kasih sayang.
"Rajawali Putih! Telah lama kita tak bertemu. Mudah-mudahan kau tak kurang suatu apa pun..!" desah Pendekar Rajawali Sakti.
Memang, baginya burung yang sering dipanggil Rajawali Putih sudah dianggap sebagai orang tua kedua, setelah ayah dan ibunya yang telah meninggal dunia. Betapa tidak? Sejak kecil Rangga diasuh, dididik, dan diberi pelajaran ilmu olah kanuragan secara tidak langsung, oleh Rajawali Putih di Lembah Bangkai.
Burung itu menggetarkan bulu-bulu sayapnya. Dan dengan penuh kemanjaan, kepalanya mengusap-usap ke wajah Rangga.
"Krrrkkk...!"
"Ada yang mesti kita kerjakan, Sahabatku. Pandan Wangi dilarikan seseorang. Kita akan mencari mereka. Barangkali kau tahu, itu lebih baik...!" kata Rangga ketika Rajawali Putih mengkirik perlahan, seolah dia tahu apa yang diucapkan burung itu.
Dengan gerakan ringan, Rangga melompat ke punggung Rajawali Putih dan menepuk-nepuknya sebentar. "Ayo, Rajawali Putih! Kita berangkat sekarang!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kraaagkh...!"
Didahului teriakan keras menggelegar, burung raksasa itu mengepakkan kedua sayapnya. Saat itu juga angin dahsyat menghempas tempat itu ketika rajawali raksasa itu membubung ke angkasa. Sebentar saja mereka telah bergerak cepat mengarungi bawah langit yang mulai kelam. Cahaya kemerahan sang surya mulai kabur ditelan batas cakrawala. Dan bersamaan dengan itu, Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali Sakti telah terbang jauh.
Entah sudah berapa lama mereka mengangkasa. Sementara malam semakin dingin. Untuk sementara ini, Pendekar Rajawali Sakti belum dapat petunjuk apa-apa tentang apa yang dicarinya. Yakni, Gandasari dan anak buahnya yang membawa lari Pandan Wangi. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Pangeran Impian)
"Sebaiknya kita istirahat dulu, Putih" kata Rangga keras, berusaha mengalahkan suara deru angin kencang di angkasa.
"Kraaagkh...!"
Pendekar Rajawali Sakti dan Rajawali Putih telah mendarat di pinggiran sebuah hutan yang memiliki tanah lapang yang agak luas. Tempat ini sepi, jauh dari keramaian. Jarak terdekat ke sebuah desa sekitar dua ratus tombak. Suasana malam menjelang pagi seperti ini, rasanya jarang digunakan para penduduk untuk keluar dari rumah. Dengan begitu, Rangga merasa aman mengajak Rajawali Putih untuk menghangatkan tubuh di dekatnya.
Sejak tadi pemuda berbaju rompi putih itu telah membuat api unggun dari ranting-ranting kering. Sambil duduk memandang lidah api yang bergerak-gerak naik silih berganti. Rangga merenungi nasib Pandan Wangi yang entah berada di mana. Sesekali dilemparkannya ranting kering yang tadi dipungutinya.
"Krrrrk...!"
Rajawali Putih menggetarkan bulu-bulunya seraya mengkirik halus. Sementara Rangga menggumam perlahan dengan pendengaran dipasang baik-baik. Namun sebelum pemuda ini merasakan sesuatu.
Wuuusss....!
Sekali mengepakkan sayapnya yang begitu cepat, Rajawali Putih telah membubung ke angkasa. Menimbulkan angin kencang yang menerbangkan debu-debu dan kerikil serta menggoyang-goyangkan batang pohon. Api unggun di depan Rangga kontan padam. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya memandang sekilas, tak berusaha mencegah kepergian sahabatnya.
Tak lama kemudian telinga Pendekar Rajawali Sakti menangkap gerakan halus mendekati. Namun sikap pemuda ini terlihat tenang-tenang saja, berkesan tak peduli. Kembali dinyalakannya api dengan batu pemantik api yang diambil dari batik ikat pinggangnya. Api pun menyala. Cahayanya menjilati wajah Pendekar Rajawali Sakti. Kembali dipasangnya pendengaran tajam-tajam.
"Kisanak ataupun Nisanak! Kalau berniat baik kau boleh bergabung denganku. Tapi kalau berniat jahat, tak perlu menqendap-endap seperti maling" seru Rangga tanpa menoleh, ketika telinganya yang tajam mendengar desah napas halus dari belakangnya.
Tidak terdengar sahutan apa pun. Hanya suara langkah kaki mendekati tempat itu. Tidak lama, telah berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti satu sosok tubuh. Namun, pemuda itu tak berniat mengangkat wajahnya untuk memastikan siapa yang datang.
"Hei! Apakah kau melihat sesuatu?! Sebuah bayangan hitam besar, mendadak terbang ke angkasa seperti hantu dan menimbulkan badai topan seketika?!" tegur sosok itu dengan suara cempreng. Jelas suara seorang wanita.
Rangga diam membisu. Dalam hati dia yakin kalau yang dilihat gadis itu pasti sahabatnya, Rajawali Putih. Matanya terpaku ke nyala api, sama sekali tak mempedulikan pertanyaan sosok di depannya.
"Hei, aku bertanya padamu!" tegur sosok itu lagi.
"Aku tak bersemangat untuk menjawab," sahut Rangga dengan suara tak bergairah.
"Huh, sombong!"
Pendekar Rajawali Sakti tak merubah sikap duduknya. Sementara sosok itu telah mengambil tempat di seberang Rangga, dibatasi api unggun. Diamat-amatinya wajah pemuda itu sampai memiringkan tubuh segala.
"Kenapa kau ini? Patah hati? Diusir orang tua? Atau..., hartamu dirampok?" tegur sosok ramping yang ternyata seorang gadis berbaju ketat warna hijau penuh tambalan bagai seorang pengemis.
"Aku tak ingin diganggu. Kalau tak ada urusan, pergilah," usir Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.
"Aku sendirian di sini...," kata gadis ini, seakan minta perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Rangga terdiam. "Aku takut. Mungkin di sini banyak setan atau..., binatang buas. Apakah..., apakah kau tak keberatan kalau aku dekat-dekat denganmu?" lanjut gadis berambut panjang dikuncir ekor kuda.
"Terserah. Tapi jangan ganggu aku!" sahut Rangga, datar.
"Aku tak berniat mengganggumu."
"Hemmm...!"
Gadis berambut dikuncir ini bertubuh kurus, bagai kurang makan. Wajahnya kumal dan kulitnya dekil. Untuk sesaat, dia duduk diam-diam sambil mengamat-amati pemuda di depannya.
"Namaku Genduk. Namamu siapa?" usik gadis bernama Genduk. Rangga tak menjawab. "Kau manusia seperti aku juga, kan? Aku khawatir kalau kau ini... hantu," lanjut Genduk. Wajah gadis itu gelisah melihat pemuda di depannya tak juga menggubris kata-katanya.
"Jawablah. Dan, jangan membuatku takut," pinta Genduk, memelas.
"Aku manusia. Tapi bisa juga jadi hantu...!" sahut Rangga, datar.
"Benarkah?"
"Sebaiknya kau percaya."
Wajah gadis itu semakin bergidik ngeri. Tubuh kerempengnya sedikit gemetar. Namun begitu dia tak berniat untuk segera pergi.
"Hantu kok bersedih? Biasanya hantu selalu gembira dan suka mengganggu...," usik Genduk lagi.
"Kau mau kuganggu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Nah, nah.... Ternyata kau bisa bersuara juga! Hihihi...! Pemuda sepertimu tak ada tampang pengganggu!" Genduk tertawa geli seraya menambahkan ranting kering pada api unggun. Seketika terdengar suara gemeretak begitu ranting terbakar.
Rangga nyengir sedikit. Tawa renyah dan sikap kekanak-kanakan gadis ini sedikit menghiburnya.
"Begitu lebih baik!" kata Genduk.
Wajah Rangga kembali seperti semula ketika ayam jantan berkokok di kejauhan. Baru disadari kalau saat ini hari telah pagi. Namun suasana masih gelap. Rangga bangkit berdiri. Tubuhnya menggeliat sebentar, sebelum melangkah pergi.
"Hei, mau ke mana?!" tanya Genduk bergegas mengikuti.
"Aku lapar. Kau?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Sama!" sahut Genduk, dengan wajah berseri. Langkahnya menjajari langkah Pendekar Rajawali Sakti. "Kau ingin cari makanan?" Rangga mengangguk sambil melangkah.
"Baik. Kita bisa mencari sisa-sisa makanan di dekat rumah makan yang ada di desa sebelah sana!" tunjuk Genduk.
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Genduk. Lalu matanya beralih memandang lucu pada gadis ini. Sepasang alisnya jadi terangkat.
"Kenapa? Ah, aku ingat! Maaf, kau tentu tak terbiasa dengan makanan para pengemis," ucap gadis ini.
"Kita cari makanan di kedai..." ajak Rangga.
"Tapi aku tak punya uang," kata gadis ini, lirih dan memelas.
"Aku yang akan membayarnya."
"Sungguhkah?!" sentak Genduk, gembira. "Ah, kau baik sekali! Seumur hidup baru sekarang ada orang sebaikmu yang mau membayariku makanan. Orang sebaikmu mestinya jadi saudaraku. Maukah kau mau menjadi saudaraku?!"
Namun seketika kegembiraan itu sirna ketika gadis ini menyadari satu hal. Dia merasa pemuda itu tidak setaraf dengannya.
"Maaf, kadang-kadang aku suka bicara sembarangan...," ucap Genduk, jadi tidak enak hati.
"Aku suka jadi saudaramu," sambut Rangga polos.
"Betulkah?!" Wajah Genduk kembali cerah. Dan tak disadari dipeluknya pemuda ini untuk meluapkan kegembiraan. Tapi lagi-lagi disadari, siapa dirinya. Buru-buru dia melepaskan pelukan.
"Maaf..., ah! Aku..., aku keterlaluan, ya? Ah! Dengan sikapku seperti ini, orang-orang tak akan suka dan membenciku," ucap Genduk tergagap, buru-buru membuang pandangan ke arah lain.
"Sudahlah, tak apa..." ujar Rangga halus.
"Benar, tak apa-apa?!" sentak Genduk, langsung menatap kembali ke arah Rangga. Rangga mengangguk. "Kau tak membenciku?" tanya gadis ini. Pemuda itu menggeleng.
"Terima kasih! Terima kasih! Tapi..., sebagai saudara, aku mesti memanggilmu apa?" Genduk berpikir sebentar. Dan tiba-tiba dia menepuk jidatnya sendiri. "Ah, dasar tolol! Usiamu lebih tua dariku. Maka, aku mestinya memanggilmu Kakang. Tapi..., Kakang apa? Aku tak tahu namamu, Kakang...?"
"Namaku Rangga," sebut Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga! Ya, Kakang Rangga...! Ah, nama yang bagus! Bagus sekali seperti orangnya!" puji Genduk.
"Terima kasih. Simpan dulu pujianmu."
"Aku senang punya saudara sepertimu! Kakang Rangga! Apakah kau senang punya saudara sepertiku?!" tanya gadis kurus itu dengan wajah berseri. "Ah, kau pasti malu, kan? Aku jelek, dekil, dan..., seorang pengemis hina...."
Rangga tak menanggapi, terus melangkah. Sementara Genduk terus menjajarinya.

***

Hanya ada seorang pengunjung ketika Rangga dan Genduk memasuki kedai di Desa Gading Wetan. Menurut pemilik kedai, orang itu menginap semalam. Sikapnya tenang menyantap hidangan. Sama sekali tak dipedulikannya Rangga dan Genduk yang telah duduk di pojok kedai.
"Pesan apa, Tuan?" tanya pemilik kedai.
"Aku pesan ayam panggang, nasi, dan sayur-sayuran yang lezat!" Genduk lebih dulu menyahut.
Rangga tersenyum, namun tak menoleh ketika gadis itu meliriknya.
"Eh, kalau Tuan...?!" tanya pemilik kedai pada Rangga.
"Samakan saja!" kembali Genduk yang menyahut.
"Tapi...."
"Kenapa? Apa kau kira aku tak pantas menyantap makanan lezat?! Ayo, cepat buatkan!" sentak Genduk dengan mata melotot.
Pemilik kedai itu melirik pada Pendekar Rajawali Sakti. Meski pemuda itu mengangguk, tetap saja kurang yakin. Namun begitu, dia tetap melangkah kebelakang untuk menyediakan hidangan yang dipesan.
Memang tampak menyolok sekali antara Rangga dan Genduk. Yang pemuda tampan dan bersih. Sedangkan gadis di depannya jorok dan kumal. Siapa yang sinting? Pemuda itu yang mau berkawan dengan pengemis, atau pengemis dekil ini yang menggunakan kesempatan berkawan dengan pemuda itu?
"Kakang...!" bisik Genduk seraya melirik ke arah pengunjung yang tadi seperti tak peduli dengan kedatangan mereka.
"Kenapa rupanya?" tanya Rangga, pelan.
"Dia orang jahat. Namanya..., kalau tak salah...." Gadis itu tak sempat melanjutkan kata-katanya ketika yang mereka bicarakan bangkit dari duduknya.
Orang itu seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kulit hitam dekil. Wajahnya tirus seperti tikus. Tangannya membawa tongkat yang dipangkalnya dihiasi tengkorak manusia serta dua buah rantai yang memanjang hingga ke lantai. Rambutnya panjang tak terurus.
Perlahan-lahan, laki-laki itu menghampiri meja Pendekar Rajawali Sakti dan Genduk. Sepasang matanya liar memandang mereka. Pandangannya tak lekang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?!" tanya laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Suaranya serak dan keluar dari tenggorokan tanpa melewati bibir.
"Hmmmm...!" Rangga menggumam tanpa menoleh.
Sedangkan wajah Genduk mulai pucat. Gadis itu salah tingkah. Dipandangnya orang itu dan Rangga bergantian.
"Kakang...!" panggil Genduk.
"Aku bicara padamu, Budeg...!" bentak laki-laki ini. Suaranya kali ini terdengar menggelegar.
"Genduk! Apakah kau dengar sesuatu? Sepertinya ada yang mengembik, tapi tak kulihat seekor kambing pun di sini?" sindir Rangga, kalem.
Genduk tak berani menjawab. Wajahnya semakin pucat melihat laki-laki di depan Rangga menggeram buas seraya mengangkat tongkat.
"Setan! Hiih...!"
"Kakang, awas...!"
"Hup!"
Lelaki itu menyabetkan tongkatnya, namun secepat kilat Rangga bergeser ke samping sambil menyambar Genduk yang berteriak ketakutan.
Bruaaak...!
Tongkat itu menghantam meja hingga hancur berantakan.
"Aduuuh...! Walah, walah...! Rusak kedaiku! Rusak segalanya!" teriak pemilik kedai, bingung, "Tuan, tolonglah. Kalau ingin berkelahi, sebaiknya di luar. Tuan.... Aku mohon pada kalian...!" Laki-laki pemilik kedai langsung menyembah-nyembah di depan laki-laki berwajah tirus itu.
"Hup!"
Tubuh pemilik kedai gemetar ketakutan dengan muka pucat bagai mayat ketika laki-laki itu mencengkeram leher bajunya dan mengangkat tubuhnya. Seketika dilemparkannya tubuh pemilik kedai.
"Aaa...!"
Jeritan melolong seperti anjing digebuk terdengar ketika tubuh pemilik kedai melayang, langsung membentur dinding kedai sampai hancur berantakan.
"Manusia terkutuk! Kenapa beraninya hanya pada orang tua lemah tak berdaya?!" bentak Genduk, garang. Melihat sikap laki-laki yang kejam, mendadak rasa takut gadis ini lantas sirna. Yang ada di hatinya hanya kebencian dan muak melihat ulah laki-laki itu.
"Pengemis busuk! Jangan ikut campur urusan orang! Atau barangkali kau sudah bosan hidup, hah?!" balas laki-laki berwajah tirus.
"Huh!"
Genduk mendengus seraya merapatkan tubuh di belakang Rangga. Melihat gerakan ketika menghindari hantaman tongkat tadi, gadis ini yakin kalau Rangga bukan orang sembarangan. Mungkin itu yang membuat keberaniannya timbul. Tapi mendengar gertakan tadi, mau tak mau nyalinya mengkeret juga. Apalagi laki-laki itu memperlihatkan wajah seram menggiriskan.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau akan mampus di tanganku!" desis laki-laki berwajah tirus, garang sambil menyeringai buas.
"Siapa kau ini. Dan kenapa menginginkan nyawaku?" tanya Rangga masih bersikap tenang.
"Setan Tombak Maut!"

***

207. Pendekar Rajawali Sakti : Kekasih Sang PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang