Setelah Alan menjelaskan itu kami bertiga terdiam beberapa saat. Aku menepuk jidat tak habis pikir.
"Tian,gue pen ke WC nih." Ucap Stela.
"Ok,yuk gue anterin." Ucapku langsung dihentikan Satria.
"Lo masih belum mau cerita sama gue? Kita udah lama gak ketemu terus lo malah hindarin gue,lo punya masalah apa sih?" Desak Satria.
Aku terhenti sejenak. Aku hanya tidak mau berhubungan dengan orang-orang yang berasal dari masa SD-ku. Apalagi orang-orang yang terlibat langsung dengan saat itu. Tapi menghindar terus juga bukan solusi. Apa yang aku pikirkan ini?
Bersikap biasa saja. Biasanya jika ada yang mengusikku juga aku biarkan sampai dia pergi sendiri. Hidupku mengalir seperti air cukup lewati saja jika ada batu. Seseorang yang tidak terlalu aku ingat pernah berkata begini 'Kalau tidak bisa dihadapi lebih baik hindari'.
"Dia udah bikin aku mati loh. Masa kamu gak marah?"
Tubuhku menegang. Suara ini lagi. Suara siapa?
"Tian,ayo dong. Nanti aja bicaranya gue udah kebelet nih." Desak Stela. Kakinya menghentak ke lantai.
Tunggu dulu. Suara siapa ini?
Halusinasi?
Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku menatap marah ke pelaku. "Apa lo? Mau marah? Ayo ke WC gue udah diujung ini?"
"Ah,iya iya." Ucapku akhirnya.
Kami beranjak dari kursi. Aku menoleh kebelakang. Satria masih menuntut jawaban dariku. Aku kembali berbalik lalu mengantarkan Stela ke WC.
Setelah didepan pintu WC Stela langsung masuk terburu-buru. Aku berjalan kembali bermaksud kembali ke ruang tamu. Eh,kalau aku kesana aku harus ngomong apa? Lebih baik aku menunggu disini.
"Ada-ada aja. Minggu depan gue pindah sekolah aja." Monologku sendiri. Nanti malam aku akan bicara pada mama.
Satria pasti sekolah disini baru hari ini. Kalau dia memang siswa kelas 10 pasti dari awal tahun ajaran baru kita sudah bertemu. Inikan sudah dua bulan. Dia mungkin murid pindahan yang baru masuk. Kenapa kira-kira dia pindah?
"Aku sekolah nanti dimana ya?Pilih yang agak jauh aja kali. Gue gak mau ketemu tu orang." Ucapku sendirian.
"Lo bilang apa?" Tanya Stela setelah keluar. Dia tertawa."Tubuh gue rasanya ringan banget gilaa."
"Hm? Enggak." Ucapku.
"Lo kenal sama Satria?" Tanya Stela. Dia berjalan duluan diikuti aku.
"Dikit,temen sekelas waktu SD." Jelasku singkat.
Tubuh Stela tiba-tiba berhenti mendadak. Dia berbalik menatapku serius."Apa?"
"Kalau dia sekelas sama lo,kenapa sekarang dia kelas 10? Harusnya kelas 11 dong." Papar Stela.
"Yahh. Ganteng tapi bodoh kek gitu sayang banget." Lanjutnya.
"Maksud lo dia gak naik satu tahun?" Tanyaku.
"Iya." Jawabnya singkat.
Dia berjalan kembali ke ruang tamu. Aku menatap gadis itu malas. Orang bodoh mengatai orang bodoh lainnya.
Ah,rasanya aku jadi sedikit kejam menyebutnya begitu.
Aku dan Stela duduk kembali. Satria menatapku meminta penjelasan.Hening. Suasana jadi sangat canggung. Stela yang biasanya banyak bicara malah bermain ponsel. Anak ini. Niatnya belajar hanya ada di mulutnya saja.
"Jadi..." Satria memulai akhirnya.
Suara telpon berdering menghentikan ucapannya. Dia menghela napas sambil menatap Stela yang sedang mengobrol ditelepon. Stela dengan tanpa bersalah malah nyengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
fri(END)s
Teen FictionJika orang-orang yang membuatmu sakit malah tiba-tiba datang dan teman kecilmu yang meninggal tiba-tiba muncul,apa yang akan kamu lakukan? "Gimanapun sikap lo,gue tetep temen lo dulu sampe sekarang." "Gila lo."