6

3 2 0
                                    

Setelah mengerjakan pr dan membereskan meja belajarnya Tian merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya. Setelah obrolan terakhir kali dengan Satria,cowok itu tidak muncul di hadapannya. Sepertinya cowok itu menurutinya. Tapi itu juga tak mungkin. Dia bilang tidak akan menyerah kan.

Tian menutup matanya dengan lengannya. Kemarin dan hari ini rasanya sangat mengesalkan. Tian menyadari kalau traumanya  muncul kembali jika dia melihat orang-orang yang terhubung dengan traumanya itu. Buktinya setiap kali dia bersama Satria halusinasinya tentang Aria selalu muncul. Tian mengepalkan tangannya. "Sialan!" Umpatnya dengan suara pelan.

Gagang pintu terdengar dibuka."Kak,Alan tidur disini ya?"

Alan datang membawa guling dengan baju tidur. Dikepalanya ada penutup mata bermotif kucing. Tian membuka matanya lalu duduk. Dia tersenyum lembut pada adik satu-satunya itu. "Boleh,sini."

Tian menepuk kasurnya. Alan langsung berlari senang menghamburkan pelukan pada kakaknya itu. Dengan semangat dia langsung berbaring dan menyelimuti dirinya dengan selimut milik Tian. "Kakak matiin lampu dulu,bentar ya."

Tian beranjak dari kasurnya. Mematikan lampu belajarnya lalu lampu kamar. Seisi ruangan jadi sangat gelap. Dia kemudian menyalakan lampu tidur berbentuk peri yang sedang duduk dibulan. Cahaya hangat lampu itu jadi satu-satunya cahaya diruangan itu. Tian menutup pintu lalu berbaring disamping Alan. Gadis itu memeluk adik laki-lakinya.

"Kak,kok kakak kemarin sakit lagi?" Tanya Alan. Sejak kemarin juga hari ini dia sangat ingin mengemukakan unek-unek dikepalanya.

"Kakak gak papa. Kamu masih kecil." Jawab Tian masih memeluk Alan. Dia merasa kata 'sakit' jadi kembali padanya lagi.

"Tapi,Alan udah ngerti kok. Aku kan udah 12 tahun. Kakak masih nyesel soal temen kakak yang mati ya?" Pertanyaan Alan membuat Tian melepaskan pelukannya. Dia menatap Alan serius.

"Kakak juga gak mau ketemu Bang Sat karna itu kan." Jelas Alan. Anak itu memang sangat pandai melihat perilaku kakaknya.

"Alan,kamu emang tau. Tapi kakak berusaha lupain semuanya . Kalau Satria datang lagi kakak yang jadi susah." Jelas Tian. Dia berbicara sebiasa mungkin. Dihatinya dia sebenarnya agak kesal.

"Bang Sat baik loh. Waktu itu juga Bang Sat gak ngelakuin apa-apa. Harusnya Kakak gak jauhin Bang Sat. " Alan berbicara seperti sedang menasehati Tian. Dia lebih dewasa untuk ukuran anak 12 tahun.

"Biar Alan tebak,kakak sekarang kesel sama aku karna bahas ini kan. Tapi kakak harus maafin Bang Sat. Walaupun Bang Sat gak salah sih. Kalau kakak baikan kakak pasti lebih tenang."  Lanjut Alan.

Dia kemudian memeluk kakaknya. Tian tak menjawab apapun. Dia tahu Alan memang berfikiran seperti itu. Tapi dia tak menyangka akan mengatakannya langsung. 'Dasar.'

Tian mengelus kepala anak itu dan berusaha tidur. "Kakak tau gak? Aku inget kejadian waktu itu. Aku punya ingatan sejak aku masih 1 tahun."

"Kakak tau." Aku Tian. Alan terkejut bukan main. Dia langsung melepaskan pelukan kakaknya dan duduk. Dimatanya masih terlihat kaget.

Tian kemudian ikut duduk. "Kok kakak bisa tau?" Tanya Alan. Dia tak pernah ada kasih tau orang lain.

Tian tersenyum. "Rahasia."

***

Satria menghela napasnya. 'Bangs*t' Ucapan Tian yang mengumpat masih terngiang-ngiang dikepalanya.

Dia menghela napas lagi.

"Gue gak tau apa-apa. Setelah gue pergi ada apa sih?" Gumannya sendiri.

Dia kembali menghela napas lebih keras. Sebuah handuk kecil terlempar mengenai kepala bagian belakangnya. Satria sontak menatap kesal ke si pelaku. Siapa lagi kalau kakaknya.

fri(END)sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang