PROLOG

32 8 2
                                    

Saat itu adalah hari yang dingin di bulan Juli, dan jarum jam menunjuk angka dua belas di malam hari.

"Selamat ulang tahun, putriku." Terlihat notifikasi pesan singkat dari ponselku yang terletak di atas nakas.

Aku hanya melihat dengan tatapan sendu. Hal ini selalu terulang kembali dari tahun ke tahun. Aku sudah terbiasa ... sendirian.

.

.

.

Suara tawa bahagia anak kecil seperti sedang bermain dengan riang terdengar olehku, membuatku terbangun. Aku memperhatikan sekeliling kamarku dan hanya mendapatkan keadaan yang sama seperti biasa.

Pintu itu masih dalam keadaan terkunci, menandakan tidak ada siapapun yang dapat masuk.

Dikarenakan rasa penasaranku yang semakin membuncah, aku melihat dari jendela kamar, ku lihat ke arah bawah dan melihat tidak ada sosok anak kecil yang tertawa di halaman.

Suara jam berdentang di tiap detik, ku melihat jarum pendeknya yang sudah menunjukkan angka tiga, dini hari.

Dilanda penasaran yang semakin menjadi, aku melangkahkan kaki ku dan membuka pintu. Meratapi keadaan yang sepi dan sunyi, dengan tiupan angin yang kian semakin menusuk kulit, aku merapatkan kain tipis yang kupakai agar dapat mengurangi rasa dingin dari angin malam.

Lagi-lagi, aku mendengar suara itu, suara khas anak kecil tertawa. Suara yang berulang kembali kudengar di malam hari.

Tetapi, aku menyadari bahwa dini hari saat ini tidak mungkin ada seorang anak kecil yang bermain dan tertawa. Sejenak aku dapat merasakan bagian tengkuk ku meremang.

-

Seperti biasa, keadaan kelas yang ramai dengan suara keras dari para siswa-siswi, dan aku hanya duduk dengan tenang.

Sampai waktu pelajaran berakhir, aku bergegas merapikan buku di meja.

Saat melangkahkan kaki meninggalkan sekolah. Aku dapat mendengar suara itu, suara anak kecil yang sedang menangis.

Namun seakan suara itu tenggelam oleh berisiknya bel sekolah yang berbunyi, aku berbalik ke arah belakang dan tidak melihat jejak anak kecil sedikitpun.

"Ra, Sil," panggilku, yang membuat kedua temanku itu menoleh. "Apa kalian mendengar suara itu?"

"Suara apa?" tanya keduanya, sambil mengerutkan dahi.

"Itu." aku menghela napas berat. "Suara anak kecil yang menangis."

"Tidak, aku tidak mendengar apapun selain bel."

Hera menggelengkan kepala, lalu tersenyum secara terpaksa. "Itu hanya imajinasi mu saja. Barangkali kau sedang kelelahan." Sila mengangguk setuju mendengar ucapan Hera.

Sedangkan, aku yakin mendengar suara itu dengan jelas.

Hari berikutnya, bel berbunyi dan murid-muridnya berlalu lalang untuk pulang ke rumah.

Aku berjalan menuju rumah seperti biasa, dan ditemani oleh Hera dan Sila.

Aku kembali mendengar suara itu, dan sontak melihat keadaan sekitar. Detik demi detik suara tangisan anak kecil itu kian mengeras, aku memperhatikan Hera dan Sila yang tampaknya tidak merespons suara tersebut.

Mereka berjalan dan tampak seperti tidak mendengar suara itu. Aku mencoba bersikap baik-baik saja sampai akhirnya.

Aku melihat sosok anak kecil yang terduduk dan menangis dengan tersedu-sedu di samping lampu jalan.

***
24 Desember 2021

DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang