Helaan nafas panjang terdengar dari mulut gadis itu. Sudah sepertiga hari ia bekerja tanpa istirahat sampai melewatkan jam makan siang, cukup lelah tetapi inilah pekerjaannya.
Arena Tavernise gadis yang unik namun aneh. Dia hanya gadis biasa yang tak memiliki orang tua, menanggung beban adiknya yang masih sekolah dasar.
Banyak hal yang tak bisa ia lakukan seperti gadis lainnya, tak bisa menikmati masa mudanya, tak bisa bersekolah seperti umumnya dan tak bisa merasakan kasih sayang orang tua seperti yang lainnya. Cukup berat namun ia tetap bisa mengimbanginya, berjalan dengan kaki yang tegar dan harapan yang kuat. Karena ia selalu ingat kalau adiknya memiliki masa depan yang cerah.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore tetapi gadis ini masih saja semangat berkerja. Seperti sekarang dirinya berada di depan pintu bangunan mewah, yang di yakini sebagai mansion. Tapi kenapa sepi sekali rumahnya?
Hingga beberapa waktu keluarlah seorang pria dengan perawakan kekar, di bagian bahunya terdapat beberapa tato, wajah tampannya mampu meluluhkan hati wanita di seluruh bumi, terlebih penampilan nya yang urakan menambah kesan bad boy. Sayangnya bau alkohol menyeruak indra penciuman Arena, pun suara berisik dan pecahan kaca dari dalam rumah mengganggu pendengarannya.
Matanya tak sengaja menembus pandang kedalam rumah, terlihat berantakan dan sepertinya ada pertengkaran hebat?
"I..ini pesanannya makasih sudah belanja di kedai kami." Ucap Arena gugup kala aura pria ini terlihat sangar.
Pria itu mendelik tajam meneliti setiap inci wajahnya, tangannya mengambil kantong berisi ayam. "Pegawai baru?"
Arena menggeleng. "Aku udah lama, cuma baru-baru ini aku jadi tukang antar. Kenapa emangnya?" Jawabnya heran, kenapa lelaki ini bertanya seperti itu?
"Suruh bos lo jangan nganterin sama kurir cewek!" Jawabnya dingin tetapi matanya masih melihat gadis di depannya, kenapa wajahnya tidak asing? Seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
Arena mengangguk takut, bahkan suaranya pun seperti akan menerkamnya. "I..iya nanti aku kasih tahu."
Marcus mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah, menyerahkan benda tersebut kepada gadis di depannya. "Kembaliannya buat lo." Mendengar itu Arena langsung menerimanya, senyumnya merekah senang.
"Makasih, kak?" Ucapnya senang.
"Kita pernah bertemu sebelumnya?" Arena mendongak. Sialan! Ternyata pria ini hanya berlagak modus! Memilih tak mengindahkan pertanyaannya, Arena pamit undur diri dari sana.
"Modus kakak jadul banget. Ngomong-ngomong makasih tip nya." Ujar Arena berlenggang pergi dari sana.
Marcus menatap kepergian gadis itu. Dia yakin kalau pernah melihatnya di suatu tempat, wajahnya tidak asing. "Apa gue salah lihat?" Gumam Marcus, tapi tak mau mengambil pusing.
***
Di pekarangan rumah yang lumayan kecil seorang lelaki berusia delapan tahun tengah duduk di kursi teras, memgangi alat lukis sedangkan seorang wanita dewasa tengah melukis di kanvas gambarnya. Balutan abstrak yang sering mereka lukis di setiap harinya.
"Kak Arena kok belum pulang ini udah sore." Tanya Alva kepada Linda.
Sedangkan wanita itu hanya diam masih fokus melukis meskipun sesekali tersenyum kepada Alva. Keadaan mentalnya tidak sempurna bisa di bilang kalau Linda mengalami gejala autisme sejak lahir.
"Bentar lagi kakak kamu pulang, Al tenang aja." Ucap Linda menenangkan Alva.
"Kak Arena bakal bawa ayam goreng gak? Al lapar banget." Jawabnya terdengar lesu, ayam goreng makanan kesukaannya semoga saja kakaknya membawakannya.
"Kak Arena bakal bawa banyak ayam goreng kesukaan Al." jawab Linda antusias.
Tak lama setelahnya Arena datang membawa sebuah kresek berwarna putih. Motornya terparkir di depan rumah, langkahnya langsung melenggang masuk kedalam ketika melihat kedua orang itu menyambutnya.
"Yeay kak Arena udah pulang." Ucap Alva senang. Arena terkekeh melihatnya yang terlihat antusias.
"Kenapa gak masuk kedalam? Di luar dingin Alva, Linda." Ucap Arena mendekati Alva lalu menciumnya gemas.
"Kita nunggu kakak dari tadi." Jawab Alva lesu. Sedangkan Linda tetap diam wanita ini memang tidak banyak bicara kecuali jika dia ingin.
"Besok kalau mau nunggu kakak di rumah aja jangan di luar," Seru Arena sedikit marah.
"Kak Linda lagi bikin gambar apa?" Kembali Arena melihat apa yang sedang di lukis wanita dewasa ini. Usia mereka terpaut sekitar 5 tahun itulah sebabnya Arena harus sopan kepada Linda.
"Seperti biasa." Jawabnya memperlihatkan gunung abstrak berwarna hitam dan hijau tua. Mungkin hanya Linda saja yang mengerti arti lukisannya.
Linda memang bukan bagian keluarga Arena namun wanita itu lah yang sering membantunya ketika kesulitan meskipun dengan keadaan yang serba kurang. Hal itu juga yang menjadikan mereka lebih dekat hingga Linda sendiri sering menghabiskan waktunya bersama Alva.
"Kak Arena, Al lapar pengen makan ayam goreng." Ucap Alva mendadak lesu kala hidungnya mencium aroma daging.
"Al lapar ya? Kacian dari siang belum makan." Ujar Arena mencubit pipi gembul Alva.
"Ayo ikut kakak kedalam kakak bawa banyak ayam goreng." Ujar Arena membawa Alva dan Linda masuk kedalam.
"Kak Linda juga lapar kan? Belum makan dari tadi?" Linda mengangguk dengan senyuman manis, sebenernya ia juga lapar tapi malu bilangnya.
"Iya Linda lapar." Jawabnya mengekori Arena.
Alva duduk di samping Linda tangannya berpegangan seperti seseorang yang hendak menyebrang zebra cross. "Tadi mama kak Linda kesini, bawain Alva permen cokelat dan selimut katanya malam ini kak Linda mau nginep nemenin Alva."
Tentu saja Arena tidak kaget mendengarnya, mama Linda memang seringkali berkunjung untuk melihat putrinya. "Jadi malam ini Linda nginep di sini?" Linda mengangguk menjawabnya.
"Di rumah bosen, tidak ada teman main." Jawabnya seperti bocah padahal kenyataannya dia sudah berusia 26 tahun.
Arena mengacak gemas rambut Linda dan Alva bergantian. "Oke tapi jangan ribut ya, kak Linda tidur sama kak Arena, Alva tidur sendiri." Mereka berdua mengangguk setuju.
Senyum di wajahnya merekah, dia amat bersyukur karena memiliki teman seperti Linda. Wanita itu jauh lebih perhatian kepada Alva ketimbang dirinya yang notabenenya seorang kakak, dengan begitu dia juga tidak khawatir ketika meninggalkan Alva sendirian karena wanita itu pasti akan menemaninya.
Meskipun awalnya dia sendiri tidak percaya karena Linda memiliki gangguan mental, tapi sekarang lihatlah wanita itu baik-baik saja tidak menggangu ataupun membahayakan Alva.
Gimana awalnya?
💌
Kalo seru komen ya
Kalo garing juga komen
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIK
Humor⚠️Transmigrasi area Arena seorang gadis biasa, prik dan tak ada sesuatu yang hebat dari dirinya entahlah apa yang harus di banggakan? Tapi mungkin satu hal ini bisa menjadi kebanggaannya. Di usianya yang masih remaja ia bekerja paruh waktu untuk me...