BAGIAN 1

223 11 0
                                    

Seorang gadis cantik dengan tubuh padat terbungkus kain dari atas dada hingga bawah lututnya berlari tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang dengan wajah pucat ketakutan.
Sejak selesai mencuci pakaian di sungai tadi, gadis ini merasa ada seseorang yang membuntutinya. Dia merutuk diri sendiri, kenapa tadi tidak pulang bersama teman-temannya. Memang ada seorang pemuda yang ditunggunya. Namun pemuda itu tak muncul-muncul juga. Akibatnya, terpaksa dia pulang sendiri.
Dan kini sebuah ancaman siap mengintai. Ketika gadis itu baru saja lima langkah meninggalkan sungai, seorang laki-laki berpakaian serba hitam mengikutinya. Meski tidak terang-terangan, tapi cukup membuat gadis ini ketakutan. Apalagi menyadari kalau jarak di antara mereka tak berubah sedikit pun. Padahal gadis itu berlari sekuat tenaganya. Sedang si penguntit berjalan biasa.
"Apa yang diinginkannya?" keluh gadis itu, gelisah sambil terus berlari. Keringat dingin semakin banyak membasahi tubuhnya. Begitu memasuki jalan utama desa, ada tersirat harapan di wajah gadis ini. Dan bagai mendapat kekuatan....
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terasa ada luapan kegembiraan ketika gadis ini berhasil berteriak. Padahal sejak tadi dia telah berusaha. Namun tak ada sedikit pun suara yang bisa lepas dari kerongkongannya. Maka seperti lahar yang muncrat dari gunung berapi, dia berteriak sekuat-kuatnya.
Suara teriakan itu menggema, menyentak pendengaran para penduduk Desa Kanoman. Para petani yang bekerja di ladang, atau yang kebetulan lewat mendengar teriakan itu. Mereka bagai mendapat kata sepakat berlarian ke arah jalan utama. Dan begitu bertemu, kembali mereka mencari-cari arah datangnya teriakan tadi.
"Dari arah sana!" teriak seorang laki-laki setengah baya yang memakai caping bambu dan cangkul.
"Suara perempuan? Siapa, ya?" timpal laki-laki bertubuh tambun.
"Apa yang terjadi? Pembunuhan? Pemerkosaan?!" seru laki-laki bertubuh pendek.
Sebelum ada yang bisa menjawab, dari arah utara berlari-lari seorang gadis terbungkus kain lurik dari atas dada hingga betis.
"Hei?! Itu kan Den Marni, putri Juragan Narayana!" teriak seseorang, langsung menghampiri.
"Tolong! Tolong, Ki! Ada orang jahat! Ada orang jahat...!" teriak gadis yang ternyata bernama Marni dengan tubuh menggigil. Langsung dipeluknya laki-laki setengah baya berjenggot panjang itu.
"Tenang, Den Marni. Tenang! Tarik napas dalam-dalam, lalu tenangkan pikiranmu. Ini aku, Ki Lawas," ujar laki-laki setengah baya berjenggot panjang.
Marni menarik napas panjang-panjang setelah melepas pelukan. Kepalanya menoleh ke belakang. Tapi laki-laki yang tadi mengejarnya tak kelihatan batang hidungnya.
"Dia tadi di sana! Mengikutiku...!" tunjuk gadis itu.
Sejenak orang-orang yang ada di situ mengikuti arah pandangan Marni.
"Siapa?" tanya Ki Lawas dengan kening berkerut. Memang tak ada siapa-siapa.
"Laki-laki berbaju hitam itu! Dia..., dia mengikuti sejak tadi!"
"Marni.... Tak ada laki-laki berbaju hitam yang mengikutimu. Ada juga penduduk desa yang tengah bekerja di ladang."
"Dia membawa pedang, Ki! Rambutnya panjang, dikuncir! Matanya seram dan kulitnya kuning. Aku yakin dia bermaksud buruk, Ki!"
"Kami tak melihat orang seperti itu!"
"Di sana! Dia di sana, Ki!" tegas Marni.
Dahi Ki Lawas mengernyit saat menoleh ke arah yang ditunjuk Marni. Memang tak ada orang dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Marni. Namun untuk membuat gadis itu tenang, disuruhnya beberapa orang memeriksa ke arah yang ditunjuk.
"Periksa yang benar!"
"Beres, Ki!"
Beberapa orang langsung memeriksa tempat yang ditunjuk Marni. Namun sesaat mereka kembali sambil menggeleng lemah.
"Kami tak menemukan siapa pun, Ki...."
"Sudah kalian periksa dengan teliti?"
Mereka mengangguk. Dan Ki Lawas menghela napas seraya berpaling ke arah Marni. Gadis itu kelihatannya sudah agak tenang. Namun wajahnya masih pucat, menyiratkan perasaan takut.
"Betul, kan? Tidak ada siapa-siapa?"
Marni terdiam. Dicobanya kembali mencari-cari laki-laki yang tadi menghantuinya. Seperti apa yang dikatakan Ki Lawas, memang tak ditemukan siapa-siapa selain orang-orang desa yang telah dikenalnya.
"Biar kuantar pulang ya, Den?" tawar Ki Lawas.
Gadis itu mengangguk.
"Cucianku tertinggal di sana, Ki...."
"Tidak usah khawatir. Mereka akan mencarikan dan membawanya ke rumahmu," jawab Ki Lawas.
Lalu laki-laki setengah baya ini memerintahkan dua orang yang berada di tempat itu untuk mencari cucian Marni dan membawanya ke rumah Juragan Narayana. Dia sendiri mengantarkan Marni pulang.

208. Pendekar Rajawali Sakti : Ancaman Dari UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang