BAGIAN 6

90 10 0
                                    

"Goblok!"
Adipati Sangkaran memaki-maki tak karuan setelah kejadian tadi. Dia mondar-mandir di ruangan khusus, ditemani Ki Wirabuana dan Seda Lepen.
"Mana bukti ucapanmu?! Ternyata dia tak mampu dijebak! Ini membuatku kesal! Ini usulmu, Wirabuana! Apalagi yang hendak kau katakan?!" bentak Penguasa Kadipaten Waringin ini.
"Hamba mohon maaf, Kanjeng Adipati. Rencana memang tak berjalan lancar...," ujar Ki Wirabuana, takut-takut.
"Maaf! Maaf...! Apakah hanya itu yang bisa kau ucapkan?!"
Ki Wirabuana diam membisu. Kepalanya menunduk dalam.
"Karena ini rencanamu, maka kau pula yang harus menyelesaikannya! Aku tak mau dengar kegagalan lagi!" lanjut adipati ini.
"Hamba akan berusaha, Kanjeng Adipati," sahut Ki Wirabuana mantap.
"Tidak! Kau harus berhasil!"
"Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan, Kanjeng. Hamba tahu hal itu. Dan kita semua pun menyadarinya...," sahut Seda Lepen dengan suara halus, ketika Ki Wirabuana tertunduk lesu.
"Hmm.... Lalu, apa rencanamu?"
"Kenapa tidak kita biarkan dia coba membebaskan penari itu? Lalu, kita pergoki kalau semua ini permainannya. Kemudian kita tangkap mereka dan beri hukuman gantung!"
"Huh! Kau kira semudah itu?"
"Kalau tidak berhasil, hamba masih punya rencana terakhir."
"Apa?"
"Memberi tahu tamu-tamu kita dari utara itu. Bukankah mereka memang tengah mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti?"
Adipati Sangkaran terdiam sejurus lamanya mendengar usul Seda Lepen.
"Bagaimana Kanjeng Adipati?" tanya Seda Lepen.
"Aku setuju usulmu yang terakhir itu...," gumam Adipati Sangkaran sambil manggut-manggut.
"Kalau begitu, bisa kita laksanakan esok hari!"
Adipati Sangkaran kembali terdiam beberapa saat. Dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu. "Sebenarnya aku ingin meringkusnya sendiri dengan tanganku...."
"Kanjeng, bukankah kita mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan? Kalau memaksakan diri, kita akan kehilangan jago-jago kita. Padahal belum tentu dia akan tertangkap. Memberinya pada musuhnya adalah jalan keluar terbaik. Tidak perlu kita sesali, karena tujuan utama telah tercapai. Yaitu, menghabisinya!"
"Ya, kau benar," sahut adipati ini sambil menghembuskan napas berat. "Jangan lupa pula. Aku ingin dia dibereskan bersamaan dengan si Jonggol."
"Jangan khawatir, Kanjeng! Segalanya akan beres!"
"Jangan sampai gagal lagi!" Adipati Sangkaran menekankan. "Sudah kalian jelaskan pada prajurit-prajurit yang kukirim?"
"Beres, Kanjeng. Kita buat seolah-olah Jonggol Maraka adalah pengkhianat negara. Kalalupun dia bisa lolos dari kita, maka tak akan luput dari tiang gantungan di kerajaan!"
"Bagus! Tapi aku ingin dia mampus di sini. Dengan begitu, tak ada lagi yang mesti dibuat cemas."
"Baik, Kanjeng!"
"Kalian boleh pergi sekarang!"

***

Kali ini Rangga setuju dengan niat Jonggol Maraka untuk segera angkat kaki dari tempat ini.
"Ini membuat hatiku cemas dan was-was!" keluh Jonggol Maraka ketika mereka telah jauh dari kediaman Adipati Sangkaran.
"Kenapa?"
"Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini! Demikian banyak tokoh silat yang disewa adipati itu. Apa yang hendak dilakukannya? Padahal wilayahnya aman dan jarang terjadi keributan!" omel Jonggol Maraka. Rangga tersenyum mendengarnya.
"Saking amannya, apakah tak mencurigai sesuatu?" cetus Rangga, bertanya.
"Apa?"
"Semalam ada kejadian aneh...," tutur Rangga, memulai.
"Ya, aku dengar! Seorang penyusup coba masuk ke dalam penjara bawah tanah. Mungkin ingin membebaskan penari itu. Tapi kenapa kamarmu yang digeledah?"
"Dan si penari sebenarnya tak ada di ruangan bawah tanah itu," kata Rangga, tak menjawab pertanyaan Jonggol Maraka.
"Dari mana kau mengetahuinya, Rangga?" tanya Jonggol Maraka.
"Karena aku melihat sendiri ke sana."
"Ke sana? Bersama Adipati Sangkaran?!"
"Tidak. Seorang diri."
"Seorang diri? Maksudnya..., kau sendiri yang menyusup ke sana?"
Rangga mengangguk sambil tersenyum.
"Jadi..., jadi kaukah penyusup itu?!" desis Jonggol Maraka, kaget.
Rangga kembali mengangguk dan tersenyum.
"Astaga! Tahukah kau, betapa bahayanya pekerjaan itu? Kalau sampai tertangkap, tentu akan membuat kita malu!"
"Tapi nyatanya tidak, kan?"
Jonggol Maraka menggaruk-garuk kepalanya sambil menghela nafas. Lalu dipandangnya pemuda itu. Dan bibirnya pun tersenyum.
"Rangga, kau sungguh hebat! Bagaimana kau bisa lolos dari kejaran mereka?" tanya Jonggol Maraka, kagum.
"Aku mengambil jalan singkat. Bukan dari genteng, melainkan melewati kamar-kamar. Lalu aku melompat ke jendela. Mengusut-ngusutkan rambut, dan mengucek-ngucek mata seperti kelihatan habis bangun tidur. Kemudian yang terpenting adalah mengatur pernapasan. Sehingga jantung tidak berdetak kencang. Seda Lepen pun coba memeriksa denyut nadiku, tapi kurasa dia bisa ku bohongi," jelas Rangga.
Jonggol Maraka kembali mendesah kagum mendengar penuturan sahabat barunya.
"Lupakan soal itu. Ada yang terpenting yang mesti dilaporkan pada Gusti Prabu Wisnu Palaran," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Soal peristiwa yang menimpa ku? Tentu saja!" tegas Jonggol Maraka.
"Bukan. Tapi soal pemberontakan besar yang akan menggulingkan beliau!" sahut Rangga, mengejutkan.
"Pemberontakan? Hei, dari mana kau tahu? Dan siapa yang akan berontak terhadap kekuasaan Gusti Prabu?!" sentak Jonggol Maraka.
"Setidaknya, begitu kesimpulanku."
"Rangga! Aku tak mengerti!" keluh Jonggol Maraka dengan muka berkerut.
"Ki Jonggol, ketahuilah. Sebenarnya yang hendak dibunuh si penari itu adakah kau sendiri."
"Aku?" Ki Jonggol Maraka menunjuk diri dengan wajah heran. Lalu tersenyum lebar. "Kau pasti bergurau, Rangga! Adipati Sangkaran tak mungkin melakukan hal itu padaku."
"Aku mungkin punya banyak musuh yang mendendam dan berusaha setiap saat mengincar nyawaku. Tapi ingat-ingat, Ki! Nyawamu pun dalam bahaya ketika berhadapan dengan tiga orang bertopeng tempo hari," tegas Rangga.
"Aku yakin tiga orang itu hanya penjahat biasa," kilah Jonggol Maraka.
"Ketika kau bentrok, apakah mereka merampas dan melucuti barang-barang yang kau bawa? Bukankah mereka hanya berniat membunuhmu dan prajurit-prajurit kerajaan?"
Jonggol Maraka terdiam. Memang itu yang diceritakan pada Rangga selama perjalanannya ke Kadipaten Waringin tempo hari. Senyumnya hilang. Dan terlihat dia menggeleng lemah.
"Nah, betul kan? Jadi mereka menyerang dengan sengaja," lanjut Rangga.
Jonggol Maraka menoleh sahabatnya itu.
"Lalu..., maksudmu mereka adalah orang-orangnya Adipati Sangkaran?" duga Jonggol Maraka.
"Kau tak akan percaya kalau kukatakan..., ya!"
"Tidak mungkin! Kau tak punya alasan untuk itu. Kau hanya asal tuduh dan tak punya bukti!"
Rangga tersenyum kecut.
"Aku punya ilmu 'Pembeda Gerak Dan Suara' yang lumayan bisa diandalkan. Ketika selesai memeriksa kamarku semalam, aku menyelinap dan mendengarkan pembicaraan Adipati Sangkaran bersama dua orang kepercayaannya. Dan..., kurasa kau tak akan mau dengar rencana apa yang hendak dilakukan terhadap kita," papar Rangga.
Jonggol Maraka terdiam. Dia ragu, apakah mesti percaya dengan kecurigaan Pendekar Rajawali Sakti. Adipati Sangkaran begitu baik pada mereka. Sikapnya pun ramah.
"Ki, sebaiknya kita berbelok ke kanan!" ujar Rangga ketika tiba di jalan bercabang tiga.
"Ke kanan?" balik Jonggol Maraka tertawa. "Kalau tidak sedang beraneh-aneh, kau pasti tak tahu jalan. Kalau kita berbelok ke kiri, tidak sampai tengah hari kita akan tiba di ibukota kerajaan. Kalau kita ke kanan, kemungkinan tengah malam atau esok pagi kita akan tiba."
"Aku tahu! Tapi kalau kau ingin menemui kesulitan, pergilah lewat jalan kiri. Di sana akan menunggu ajalmu!" jawab Rangga kalem.
"Apa?! Kau pikir Adipati Sangkaran akan membunuhku?" sentak Jonggol Maraka.
"Kau dianggap membahayakan! Bila tiba di istana lalu menceritakan semua peristiwa yang kau alami di tempatnya, Gusti Prabu Wisnu Palaran akan curiga. Lalu beliau mengirim pasukan pengamat. Gerakannya terganggu. Dan jadi tidak leluasa berbuat sesuatu yang direncanakannya!"
"Apa yang direncanakannya?"
"Kau bisa menjawabnya sendiri!"
"Tidak. Aku tidak tahu. Katakanlah!"
"Percuma. Kau tak percaya. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan diri. Aku tak yakin, apakah Adipati Sangkaran akan menutup semua jalan atau tidak." Rangga tak mempedulikan Jonggol Maraka. Langsung saja dia berkelebat cepat menuju jalan kanan.
Sedangkan Jonggol Maraka mau tak mau terpaksa mengikuti dari belakang.
"Rangga, tunggu...!" teriak Jonggol Maraka ketika pemuda itu makin menjauhinya.
"Cepat!" teriak Rangga tanpa memperlambat kelebatan tubuhnya. Namun beberapa saat kemudian Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Jonggol Maraka bernapas lega. Namun wajahnya langsung terkejut ketika melihat apa yang membuat pemuda itu menghentikan kelebatannya.
"Eeeh....!"
Di depan mereka berdiri tegak sesosok tubuh berbaju serba hitam dengan rambut panjang dikuncir pada bagian belakang kepala agak ke atas. Kulitnya kuning dan bermata sipit. Di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang yang gagangnya terlihat ronce pita warna kuning. Sama seperti warna ikat pinggangnya. Sementara di belakang laki-laki itu terlihat beberapa sosok tubuh bersenjata lengkap. Wajah mereka tertutup selubung kain hitam, dan yang terlihat hanya sepasang mata saja.
"Siapa kalian?! Berani betul menghentikan orang-orang kerajaan?!" bentak Jonggol Maraka, dingin.
Laki-laki berbaju serba hitam itu maju dua langkah. Matanya tak lekang memandang Pendekar Rajawali Sakti yang tetap berdiri tenang. Sama sekali tidak digubrisnya bentakan Jonggol Maraka. Seolah-olah sama sekali tak dianggapnya ada di tempat itu.
"Setan!"
Jonggol Maraka menggeram marah. Namun pejabat kerajaan ini hanya berani menggerutu dalam hati, karena melihat sorot mata laki-laki berbaju serba hitam itu saja sudah cukup membuat sebagian semangatnya terbang. Belum lagi orang-orang bertopeng yang telah siap dengan senjata masing-masing seperti hendak mencincang mereka.
"Kau Pendekar Rajawali Sakti?!" tuding laki-laki berbaju hitam itu.
"Benar! Siapa yang tengah bicara padaku?" sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku Yamaguchi!"
"Yamaguchi? Mendengar nama dan melihat caramu berpakaian, agaknya kau bukan penduduk negeri ini."
"Aku datang dari utara. Dari sebuah negeri yang kalian sebut negeri Matahari Terbit!"
"Hmm. Pantas! Tapi apa urusanmu mencegat kami?"
"Aku punya urusan denganmu!"
"Dan mereka?" tunjuk Rangga pada orang-orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu! Terserah, apa maunya mereka. Pendekar Rajawali Sakti, bersiaplah!"
Srang...!
Yamaguchi mencabut pedang, membuat kuda-kuda siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara orang-orang bertopeng yang menyertainya membuat gerakan mengurung. Dua dari mereka mendekati Jonggol Maraka.
"Hehehe...! Hari ini saat kematianmu, Jonggol!" kata salah satu orang bertopeng mengejek seraya menghunuskan pedang.
Melihat keadaan itu Jonggol Maraka pun bersiap dengan senjatanya untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ayo! Berdoalah, abdi kerajaan yang setia! Sebentar lagi kau akan bertemu para prajurit mu di akhirat!"
"Siapa kalian?!" bentak Jonggol Maraka.
"Kami malaikat maut! Hehehe...!"
"Kau gemetaran, Jonggol Maraka?" ejek yang seorang lagi.
"Mampus!" dengus orang bertopeng seraya mengibaskan pedang.
Wuuuuttt....!
Jonggol Maraka berkelit ke samping dan terus melompat ke belakang. Namunburu-buru dia kembali lompat ke depan sambil bergulingan ketika orang-orang bertopeng yang membuat lingkaran kembali mengibaskan senjata ke arahnya.
"Hehehe...! Kau tak akan bisa ke mana-mana, Jonggol! Hari ini tak akan ada yang bisa menolongmu!"
"Terkutuk kalian! Aku pantang menyerah sebelum ajal tiba!"
"Ajalmu telah ditentukan di tanganku!" bentak orang bertopeng yang bersenjata keris. Seketika senjatanya ditusukkan ke arah perut. Jonggol Maraka menangkis dengan pedangnya.
Trang...!
Pada saat yang sama, orang bertopeng lainnya menghantam punggungnya dari belakang, tanpa dapat dihindari.
Begkh...!
"Aaakh...!"
Pejabat kerajaan itu menjerit kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Belum sempat menguasai diri, datang serangan dari samping berupa tendangan menggeledek.
Duuuukkk...!
"Aaakh...!"
Jonggol Maraka menjerit. Tubuhnya sempoyongan ke samping. Dia betul-betul menjadi bulan-bulanan. Kalau yang satu menyerang dengan menggunakan senjata, maka yang seorang lagi menyarangkan tendangan atau pukulan.
Sementara itu, pertarungan antara Yamaguchi dengan Rangga berlangsung seru. Tokoh dari utara itu memainkan jurus-jurus pedangnya yang indah namun sangat berbahaya. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga mampu mengatasinya.
"Pendekar Rajawali Sakti! Aku akan mati terhormat seandainya kau melawanku dengan pedang!" dengus Yamaguchi.
"Aku tak tahu, apa alasanmu hendak bertarung mati-matian denganku...," sahut Rangga.
"Kau telah membunuh Akira Yamamoto!"
"Akira Yamamoto?" Dahi Pendekar Rajawali Sakti berkerut dan coba mengingat.
"Dia saudara seperguruan kami! Kau telah membinasakannya. Maka kami menantangmu bertarung hidup atau mati!" jelas Yamaguchi.
"Aku ingat! Jadi yang kau maksudkan adalah si Pendekar Pedang Bayangan?" (Tentang Akira Yamamoto, silahkan baca episode Pendekar Pedang Bayangan)
"Kau menyebutnya begitu!"
"Hm.... Aku mengerti. Jadi, kau datang jauh-jauh ke sini hendak membalas kekalahannya?" tebak Rangga.
"Aku tidak sendiri. Tapi berempat. Kebetulan saja kau melewati jalan ini."
"Jadi, dua jalan lainnya telah dihadang kawan-kawanmu?"
"Benar! Dua di jalan sebelah kiri, dan seorang lagi di jalan tengah."
"Kenapa mesti dua orang yang ditempatkan di jalan kiri? Mestinya kalian berkumpul semua di sini," sahut Rangga, enteng.
"Menurut perkiraan, kau akan melewati jalan kiri. Tapi siapa duga kalau ternyata aku yang lebih dulu bertemu denganmu!" kilah Yamaguchi.
"Dari mana kau bisa menduga kalau kemungkinan aku kira melewati jalan kiri?" tanya Rangga penuh selidik. Tapi Yamaguchi tak menjawab. Maka Rangga mulai bisa menebak. "Kalian pasti bekerjasama dengan Adipati Sangkaran!" tebak Rangga.
"Aku dan tiga kawanku hanya menginginkan nyawamu!" sahut Yamaguchi.
Mesti tak langsung, namun Rangga segera mengerti kalau orang utara ini berkata jujur. Berarti benar dugaannya kalau Adipati Sangkaran menginginkan kematian mereka berdua.
"Kisanak! Kuterima tantanganmu!" sahut Rangga, langsung melenting ke belakang untuk membuat jarak. Tangannya langsung meraba punggung begitu mendarat di tanah.
Sring!
Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika sinar biru berkilauan memancar dari mata pedang. Kini, keduanya saling berhadapan dalam jarak sekitar enam langkah. Mereka saling menatap dengan sorot mata tajam, dengan tubuh mematung. Lalu....
"Heaaa...!"
Tras...!
"Heh?!"
Yamaguchi tercekat kaget melihat ujung senjata yang berbenturan dengan pedang Pendekar Rajawali Sakti terbabat putus. Dalam hati, dia mengagumi pedang di tangan Rangga yang punya pamor hebat. Bahkan tangannya terasa nyeri bukan main.
"Yeaaa...!"
Namun Yamaguchi cepat menepis kekagumannya. Tubuhnya kembali berkelebat. Pedangnya yang buntung bergerak-gerak menyambar ke dahi, leher, dan semua anggota tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya sederhana, namun gesit dan bertenaga kuat.
Meski Rangga sedikit banyak telah mengenal gaya ilmu silat Yamaguchi lewat Akira Yamamoto yang pernah dikalahkannya, tapi agaknya ada beberapa tambahan. Ini sedikit membingungkan. Sehingga untuk selang waktu beberapa saat, Rangga lebih banyak menghindar dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

***

208. Pendekar Rajawali Sakti : Ancaman Dari UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang