BAGIAN 4

110 11 0
                                    

"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan, sehingga tebasan kapak hanya lewat beberapa jari di bawah kakinya. Begitu mendarat, laki-laki bertopeng itu telah kembali menyambarkan kapak.
"Uts!"
Rangga meliukkan tubuhnya, seraya melepas gedoran kepalan tangan ke dada.
Orang bertopeng itu mundur dua langkah, sehingga kepalan pemuda berbaju rompi putih itu dapat dihindari. Namun Pendekar Rajawali Sakti membarengi dengan tendangan beruntun ke dada. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Duukkk....! Duukkk....!
"Aaakh...!"
Tak ampun lagi orang bertopeng bersenjata kapak itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan. Isi dadanya seperti remuk menerima tendangan geledek tadi.
Dua orang bertopeng lainnya melengak kaget. Mereka tak menyangka pemuda berompi putih itu demikian hebat. Untuk sesaat dahi keduanya berkerut, coba mengingat-ingat di mana mereka pernah mengenal ciri-ciri khas pemuda ini.
"Kenapa kalian diam saja?! Ayo, bantu aku menghajarnya!" bentak laki-laki bertopeng yang bersenjata kapak dengan wajah berang.
"Eeeh!"
Keduanya kaget. Namun secepatnya mereka menghunus senjata dan langsung menyerang pemuda itu bersamaan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat!"
"Pengecut-pengecut seperti kalian memang membuatku muak saja!" desis Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum dingin. "Kalian terlalu memaksa, namun jangan dikira aku akan membiarkannya...."
"Heaaaaaa...!"
Tanpa mempedulikan kata-kata Rangga, ketiga orang bertopeng itu menyerang berbarengan dengan hebat. Senjata mereka berseliweran menimbulkan angin menderu-deru tajam. Rangga segera mengerahkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya bergerak ringan dan gesit meliuk-liuk indah bagai orang mabuk di antara kelebatan golok lawan-lawannya.
"Kemampuan kalian hebat. Sayang, digunakan untuk jalan sesat...," gumam Rangga.
"Setan! Jangan mengoceh di depan kami!" bentak orang bertopeng yang bersenjata pedang. "Kuremukkan batok kepalamu, Bocah!"
"Bicara kalian kelewat besar, Sobat! Tapi kemampuan kalian sekecil tahi kuku," kata Rangga mulai memanas-manasi.
"Kurang ajar!"
Secara serempak ketiga orang bertopeng itu menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti tak ingin hanya menghindarinya saja. Begitu salah seorang menghujamkan tombak, dia melompat ke belakang. Pada saat yang bersamaan, dua orang yang masing-masing bersenjata kapak dan pedang sudah mengejar. Satu mengincar kepala dan seorang lagi mengincar perut.
Rangga cepat mengembangkan kedua tangan dengan telapak membentuk paruh rajawali. Dibuatnya beberapa gerakan dengan kaki bersilangan. Dari gerakannya jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah membuka jurus awal 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua lawannya terkesiap. Namun mereka tetap meneruskan serangan. Tepat ketika senjata-senjata itu berkelebat, Rangga memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam sempurna.
Trak...! Trak...!
Senjata-senjata itu kontan berpatahan. Dan sebelum kedua orang bertopeng itu menyadari, Pendekar Rajawali Sakti telah memutar tubuhnya seraya melepas tendangan setengah melingkar.
Dessss....! Dessss...!
"Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan tersentak disertai teriakan tertahan ketika tendangan Rangga mendarat telak di tubuh masing-masing.
"Aku tahu! Dia si Pendekar Rajawali Sakti!" seru orang yang bersenjata tombak, tanpa meneruskan serangan. Kedua orang yang baru saja mendapat hadiah dari Pendekar Rajawali Sakti tercekat sambil merangkak bangun. Mereka memandang pemuda itu dengan sorot mata tak percaya.
"Tak mungkin!" desis orang yang bersenjata pedang, setelah mampu bangkit.
"Tapi nyatanya begitu!" sahut orang yang bersenjata tombak.
"Aku yakin dengan ciri-cirinya. Lihatlah gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung itu. Lebih baik kabur selagi ada kesempatan, karena sia-sia saja bila melawannya."
"Tapi...."
Orang yang bersenjata kapak agak ragu. Namun seketika kedua kawannya angkat kaki, mau tak mau terpaksa dia mengikuti. Bertiga saja mereka tak mampu menghajar pemuda itu, apalagi kini seorang diri.
Rangga tersenyum, tak berusaha mengejar. Matanya memperhatikan sebentar, sampai mereka menghilang dari pandangan.
"Kisanak! Kenapa kau lepaskan? Mestinya orang seperti mereka tak perlu diampuni! Mereka telah menumpas prajurit-prajurit kerajaan!" tegur Jonggol Maraka, menyadarkan Rangga.
"Apakah Kisanak dari kerajaan?" Rangga malah balik bertanya.
"Benar! Namaku Jonggol Maraka, panglima regu kecil yang biasa bertugas keliling wilayah Kerajaan Pasir Angin," sahut Jonggol Maraka.
"Aku Rangga...."
"Dan kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" serobot Jonggol Maraka.
"Ah, sudah lama aku mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga tersenyum.
"Maaf, panggil aku Rangga saja, Ki Jonggol. Oh, ya, Ki. Aku tak tahu duduk persoalannya. Jadi tak ada alasan bagiku untuk meringkus mereka. Dari kejauhan kulihat mereka mengeroyokmu. Dan kulihat pula dari wajahmu, kau bukan orang jahat. Itulah yang membuatku tergerak menolong...," ucap Rangga, sopan.
"Sudahlah, tak apa. Kau memang tak salah, Rangga...," desah Jonggol Maraka.
"Apa sebenarnya yang membuat mereka menyerangmu? Apakah kau mengenalinya, Ki?"
Jonggol Maraka menggeleng lemah.
"Tidak. Hanya saja, aku merasa yakin kalau mereka kaki tangan para pengacau yang belakangan ini banyak membuat keresahan...."
"Pengacau?" Ki Jonggol Maraka kembali mengangguk. Disertai rintihan.
Rangga tersadar dan segera memberikan perawatan pada luka yang diderita lelaki itu.
"Belakangan ini para pengacau mulai mengganggu keamanan wilayah Kerajaan Pasir Angin. Mereka bukan saja merampok para penduduk, tapi juga berani membunuh para prajurit kerajaan yang tengah berkeliling di sekitar wilayah kerajaan," jelas Jonggol Maraka mulai bercerita. "Gusti Prabu Wisnu Palaran berusaha mengamankannya dengan mengirim para tokoh-tokoh silat tangguh yang selama ini bercokol di istana. Namun setiap kali mereka muncul, maka para perampok itu lenyap dan tak berani menampakkan batang hidungnya!"
"Jadi menurutmu, mereka mengerti siapa musuh yang dihadapi?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.
"Kelihatannya begitu. Mereka tahu betul kekuatan kami. Sehingga bila menemukan lawan tangguh, mereka bersembunyi. Sebaliknya bila menemukan petugas yang dianggap lemah, mereka berani menampakkan diri," jelas Jonggol Maraka lagi.
"Apakah menurutmu hal ini kejadian biasa?"
"Entahlah. Gusti Prabu punya dugaan ada gerakan tersembunyi yang bermaksud menggulingkan kekuasaannya."
"Ada orang yang dicurigai sebagai dalang dari semua gerakan ini?" tanya Rangga.
"Belum.... Tapi entahlah. Aku hanya pejabat rendahan dan tak tahu banyak soal itu," sahut Jonggol Maraka jujur.
"Hmm."
Rangga terdiam beberapa saat. Entah apa yang dipikirkannya. Namun sebelum dia kembali bicara, Jonggol Maraka telah menawarkan sesuatu.
"Rangga, bila orang sepertimu mau mengabdi pada kerajaan, aku yakin Gusti Prabu pasti akan suka."
Rangga tersenyum.
"Terima kasih, Ki. Orang sepertiku lebih suka hidup berkelana di alam bebas...," tolak Rangga halus.
"Sayang sekali. Padahal dengan kepandaianmu, kau bisa mengabdikan diri...."
"Tapi tidak mesti mengabdi pada kerajaan, Ki. Selama ini aku berusaha mengabdikan diri demi kepentingan orang banyak. Dan hasilnya, bisa kulihat dan ku rasakan sendiri. Atau barangkali kau menilai kalau caraku selama ini bukan bentuk pengabdian terhadap masyarakat?"
"Ah! Mana berani aku mengira begitu, Rangga! Apa yang kau katakan itu benar. Dan aku menyadari kalau yang kukatakan tadi adalah kekeliruan!"
Rangga kembali tersenyum.
"Tidak mesti begitu, Ki. Setiap orang punya pemikiran masing-masing. Bila mengabdi pada kerajaan dianggap cara yang lebih baik, maka dia boleh saja mengamalkan kepandaiannya di sana," sergah Rangga, halus.
"Kau membuatku bingung, Rangga!" Jonggol Maraka tersipu-sipu.
Pemuda itu tersenyum kembali. Manis sekali.
"Tapi meski begitu, aku ingin bertemu rajamu. Mudah-mudahan beliau tidak keberatan," kata Rangga.
"Tentu saja tidak! Kurasa beliau malah gembira menerima kedatanganmu," sambut Jonggol Maraka gembira. Wajahnya kelihatan berseri-seri.
"Lebih baik kita berangkat sekarang saja!"
Entah kenapa Jonggol Maraka kelihatan begitu senang begitu mendengar keinginan Rangga untuk ikut bersamanya ke ibukota kerajaan. Mungkin dia berharap bila tiba di istana, pikiran pemuda ini akan berubah. Lalu dia bersedia mengabdikan kepandaian untuk kerajaan. Dengan demikian kerajaannya akan di segani kerajaan-kerajaan lain, karena memandang Pendekar Rajawali Sakti.
Untuk menuju ke ibukota Kerajaan Pasir Angin mereka mesti melewati Kadipaten Waringin. Ini jalan tercepat. Lagi pula, Jonggol Maraka banyak bercerita kalau Adipati yang memimpin wilayah ini seorang abdi setia Gusti Prabu Wisnu Palaran.
"Ada baiknya kita mampir dulu ke tempat kediamannya," ajak Jonggol Maraka ketika mereka tiba di depan rumah kediaman Adipati Sangkaran. "Beliau tentu akan senang!"
"Baiklah."
"Sampurasun! Aku Jonggol Maraka. Dan ini, kawanku. Aku pejabat kerajaan yang hendak bertemu Kanjeng Adipati!" ucap laki-laki itu pada seorang penjaga gerbang istana kadipaten.
"Silakan masuk dan menunggu sebentar. Hamba hendak memberi tahu Kanjeng Adipati!" sahut penjaga seraya membungkuk hormat.
Rangga dan Jonggol Maraka mengikuti dari belakang. Sementara seorang prajurit menggantikan tugas pengawal tadi untuk beberapa saat. Rangga melihat pengamanan di istana kadipaten ini tidak terlalu ketat. Hanya ada dua prajurit di gerbang depan. Dua di kiri kanan bangunan, dan dua orang di pos kecil dekat gerbang depan.
"Wilayah Waringin daerah teraman di seluruh Kerajaan Pasir Angin ini," jelas Jonggol Maraka setengah berbisik. Sementara, pengawal tadi meninggalkan mereka di beranda depan.
Rangga mengangguk.
"Ki Jonggol kenal baik dengan penguasa wilayah ini?" tanya Rangga.
"Tidak kenal baik. Tapi sekali kami pernah bertemu di istana kerajaan. Beliau cukup ramah sehingga banyak dikenal pejabat istana," sahut Jonggol Maraka.
Percakapan mereka terhenti ketika muncul seorang laki-laki gemuk dan berkumis tebal di ambang pintu sambil tersenyum lebar.
"Saudaraku, Ki Jonggol Maraka... Senang mendengar kau mau mampir ke tempatku!"
Jonggol Maraka dan Rangga buru-buru bangkit dari duduknya. Dan pejabat kerajaan itu segera menghampiri laki-laki gemuk yang tak lain Adipati Sangkaran, setelah menjura hormat. Mereka berpelukan sebentar.
"Hm.... Siapa yang bersamamu ini? Rasanya aku baru sekali ini melihatnya?" tanya Adipati Sangkaran ketika melepaskan pelukan terhadap Jonggol Maraka. Wajahnya berseri dihiasi senyum ketika mengucapkan kata-kata bersahabat.
"Kanjeng Adipati...," panggil Jonggol Maraka.
"Aaah! Kau ini apa-apaan?!" tukas Adipati Sangkaran. "Jangan banyak peradatan segala. Kau adalah kawanku. Maka, bersikaplah seperti seorang sahabat!"
"Ini sambutan yang luar biasa bagi kami. Biasanya seorang prajurit akan membawa kami ke tempat seorang pembesar. Tapi ini malah pembesar yang mendatangi kami."
"Hahaha...! Bukankah tadi sudah kukatakan? Kau dan aku adalah sahabat. Jadi, jangan persoalkan hal itu. Aku malah senang kau mau berkunjung. Dan takut kalian pergi karena lama menunggu, maka tergopoh-gopoh aku keluar untuk menyambut kalian."
"Jangan terlalu merendah, Kanjeng..., eh, Ki Sangkaran!" ujar Jonggol Maraka, buru-buru merubah panggilan terhadap adipati itu.
"Mana mungkin kami akan pergi hanya karena menunggu sedikit lama."
"Hehehe...! Sudahlah, jangan persoalkan itu lagi. Nah! Sekarang, maukah kau memperkenalkan kawanmu ini padaku?"
"Kau akan kaget mendengarnya, Ki Sangkaran...."
"Benarkah?! Apakah dia kerabat kerajaan yang belum kukenal? Atau mungkin calon menantumu?"
"Hahaha...! Jangan bergurau, Ki Sangkaran. Mana mungkin aku punya menantu, sedangkan anakku masih kecil-kecil."
"Kalau begitu lekas terangkan. Jangan membuatku penasaran!"
"Dia adalah Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Jonggol Maraka. Pada wajahnya tersirat kebanggaan ketika memperkenalkan pemuda itu.
Sebaliknya Rangga kelihatan malu dan berusaha merendah.
"Ki Jonggol Maraka ternyata lupa menambahkan kalau hamba hanya seorang pengelana biasa tanpa kebisaan apa-apa."
"Aah! Benarkah?! Jadi kau sungguh-sungguh pendekar besar itu?!" seru Adipati Sangkaran dengan wajah kaget. "Ini betul-betul membuatku kaget, Ki Jonggol! Tak kusangka selama ini kau berkawan dengan pendekar terkenal yang namanya sudah kondang ke mana-mana. Silakan masuk, Pendekar Rajawali Sakti. Selamat datang di gubukku yang buruk!"
"Kanjeng Adipati...."
"Aaah! Tidak usah banyak peradatan!" potong Adipati Sangkaran ketika Rangga akan angkat bicara. Segera digamit lengan keduanya untuk diajak masuk ke dalam. Mereka pun segera jalan beriringan. "Siapkan jamuan makan untuk tamu-tamu istimewa kita! Makanan yang paling istimewa! Lengkap dengan hiburannya!" teriak Adipati Sangkaran.
"Ki Sangkaran, ini betul-betul...."
"Hahaha...! Tenanglah, Sahabatku! Tidak setahun sekali kau mau mampir ke tempatku!" tukas Ki Sangkaran.
"Ini betul-betul hari istimewa bagiku. Dan aku tak ingin kalian merasa disambut kurang akrab. Aku ingin kalian merasa betah di sini!"
"Ki Sangkaran, kami tak bermaksud bermalam. Perjalanan ini hanya sekadar persinggahan...."
"Sudah! Jangan pikirkan dulu hal itu! Ayo, silakan duduk!"
Adipati Sangkaran mengajak kedua tamunya memasuki sebuah ruangan luas yang dipenuhi tiang-tiang besar berukir. Lantainya halus dan berkilat, terbuat dari marmer. Jonggol Maraka sempat berdecak kagum menyaksikan perabotan-perabotan indah dalam ruangan itu. Namun matanya tak leluasa jelalatan ke mana-mana, karena dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Entah siapa. Namun di antara mereka ada yang kelihatan sebagai tokoh-tokoh persilatan.
"Perkenalkan! Mereka adalah tamu-tamu istimewaku!" ujar Adipati Sangkaran seraya duduk di atas singgasana yang terbuat dari ukiran indah beralas kulit rusa.
Orang-orang yang berada di tempat itu merangkapkan kedua tangan ke dada untuk memberi hormat. Rangga dan Jonggol Maraka membalasnya sambil tersenyum sebelum duduk di tempat yang disediakan. Adipati Sangkaran duduk di tengah ruangan, agak bersandar ke dinding. Di depannya berjajar di kiri-kanan saling berhadapan beberapa buah kursi dalam jarak sekitar empat langkah.
Rangga dan Jonggol Maraka duduk di sebelah kanan dari hadapan sang Adipati. Sementara di sebelah mereka duduk beberapa pejabat kadipaten. Beberapa orang pernah dikenal Jonggol Maraka. Namunsebatas mengenal wajah, karena pernah diajak sang Adipati ke istana. Sedang yang lain tidak dikenal. Apalagi tamu-tamu yang duduk di depan mereka. Kelihatan angker dan tidak bersahabat.
"Tempat ini kelihatan tidak nyaman bagi kita...," bisik Jonggol Maraka halus di dekat Rangga. Rangga tak menjawab selain tersenyum kecil. "Maafkan, Rangga. Aku tak bermaksud menyulitkanmu dengan mengajak mampir ke sini," ucap Jonggol Maraka lagi, berbisik.
"Jangan pikirkan hal itu. Coba tenangkan pikiran. Dan nikmati apa yang bisa dinikmati," ujar Rangga.
"Hatiku mulai tak tenang!" desis Jonggol Maraka.
"Ssst! Jangan menarik perhatian mereka!" bisik Rangga halus.
"Sebaiknya kita cari alasan saja untuk meninggalkan tempat ini."
"Tak perlu."
"Tapi...."
Jonggol Maraka sudah akan membantah kalau saja saat itu tidak muncul seorang gadis penari yang diiringi beberapa lelaki memainkan tetabuhan. Gadis itu berwajah cantik, memakai penutup kepala. Gaunnya dari sutera tebal berlengan panjang penuh dengan gelang-gelang di pergelangan tangan. Bagian bawah gaunnya lebih panjang dari gaun panjang pada umumnya, sehingga sampai menyapu lantai.
Sepintas lalu, pakaian gadis itu amat sopan. Irama tetabuhan pertama-tama pelan. Dan gadis itu berlenggak-lenggok dengan gerakan-gerakan gemulai. Namun lama-kelamaan, seiring suara tetabuhan yang cepat, tariannya jadi sedikit liar. Dan penutup kepalanya mulai dibuka hingga rambutnya yang hitam lebat tergerai hingga ke pinggul.
"Hm, cantik sekali!" puji Jonggol Maraka, mendecak kagum.
Pujian dan decak kagum berkali-kali keluar dari mulut pejabat kerajaan itu ketika gadis penari ini membuka pakaian yang menyembunyikan anggota tubuhnya yang indah. Ternyata, pakaian luar itu semacam jubah. Setelah dilepas pelan-pelan, tersingkap sehelai kain tipis tembus pandangan, memamerkan bentuk badan yang indah. Seolah-olah, sang penari hanya mengenakan penutup dada dan bagian bawah perut.

***

208. Pendekar Rajawali Sakti : Ancaman Dari UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang