BAGIAN 5

89 10 0
                                    

"Lihat! Hmm.... Kalau aku punya istri secantik ini, mana mungkin kuperlihatkan pada orang lain!" desis Jonggol Maraka, geregetan melihat goyang pinggul sang penari. Apalagi kelihatannya gadis itu berkali-kali tersenyum dan mengerling ke arah mereka. Jonggol Maraka hanya bisa menelan ludah dan mendecah berkali-kali.
"Gila! Betul-betul gila...!"
Agaknya hal yang sama pun dialami tamu-tamu yang lain. Wajah-wajah angker di depan mereka, kini berubah manis seperti bocah penurut. Sekali-sekali timbul decak kekaguman, seperti yang terlontar dari mulut Jonggol Maraka. Mereka betul-betul dibuai dalam pesona duniawi yang mengesankan. Seolah tiada pandangan lain yang lebih indah ketimbang tubuh penari yang meliuk-liuk.
Pada mulanya Rangga pun merasakan hal yang sama. Namun belakangan ada hal yang tak beres dalam benaknya.
"Apakah adat semua adipati di kerajaan ini sama? Mereka senang menonton tarian-tarian seperti ini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Kini gadis itu membuka selubung tipisnya. Semua menahan napas melihat kulit halus kekuning-kuningan. Sementara, irama tetabuhan semakin hingar-bingar. Dan gerakan penari ini semakin liar. Kini tangannya yang lentik mulai memegang-megang penutup dada. Dan tanpa sadar Jonggol Maraka berteriak-teriak di hati.
"Ayo, buka! Buka...! Uhh.... Kau membuatku gila! Ingin kulihat betapa indahnya sesuatu yang terbungkus disana!"
Semua mata tertuju ke sana. Menahan napas dengan debaran jantung semakin cepat. Penutup dada yang dikenakan gadis itu terlihat kecil dan sempit, untuk membungkus dua buah bukit kembar yang kelewat besar itu. Apalagi guncangan yang ditimbulkannya betul-betul membuat saraf lelaki yang melihat kelihatan tegang. Ketika semua terbuai dalam pemandangan yang memabukkan, mendadak penari yang kini tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya.
Set! Set!
Seketika meluncur dua sinar putih keperakan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Arahnya tepat di tenggorokan Rangga. Rangga kaget, namun masih sempat melengos ke samping.
Crab! Crab!
Benda-benda putih keperakan yang ternyata dua bilah pisau kecil itu menancap di dinding belakang Rangga.
"Penari, apa yang kau perbuat terhadap tamuku?!" bentak Adipati Sangkaran berang. Tanpa memberi perintah pada prajuritnya, adipati itu langsung melompat dari singgasana dan menjambak rambut serta memelintir tangan penari itu.
"Aku..., aku...!"
Penari itu tampak gugup. Wajahnya pucat ketakutan ketika memandang Adipati Sangkaran. Namun dia tak mampu bicara banyak, karena laki-laki gemuk itu lebih dulu menotoknya hingga lemas tak mampu bergerak.
"Kau tahu, apa akibatnya atas perbuatanmu itu?! Hukuman gantung akan menantimu!" desis Adipati Sangkaran geram.
"Pengawal! Bawa dia dalam kurungan! Aku tak ingin suasana persahabatan ini dirusak oleh tingkahnya!"
Dua prajurit buru-buru menghampiri, dan meringkus gadis itu serta membawanya keluar dari ruangan. Adipati Sangkaran lantas melangkah lebar mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya langsung dirangkapkan di depan dada.
"Rangga, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian tadi! Penari itu pasti akan mendapat hukuman berat atas perbuatannya yang kurang ajar. Namun karena kita dalam suasana bergembira, untuk sementara ku tangguhkan hukuman terhadapnya. Silakan nikmati kembali hidangannya!" ucap laki-laki gemuk itu.
"Ki Sangkaran, penari tadi cuma alat. Orang di belakangnya yang mesti mendapat hukuman berat!" sahut Rangga dengan nada tajam.
"Kau benar, Rangga! Tentu saja kami tak akan membiarkannya begitu saja tanpa pemeriksaan. Siapa pun dalangnya, maka akan dihukum berat. Kalian bisa menyaksikannya. Oleh sebab itu menginaplah barang satu atau dua hari!"
"Ki Sangkaran.... Kami berterima kasih atas kemurahan hatimu. Namun kami tak bisa berlama-lama, sehubungan peristiwa buruk yang menimpa rombonganku. Beberapa perampok membegal kami dan membunuh semua prajurit yang bersamaku. Aku belum lagi mengurus mayat mereka. Oleh karena itu, maaf seribu maaf. Kami tak bisa memenuhi undanganmu," sahut Jonggol Maraka.
"Ah, sayang sekali. Aku turut berduka cita atas musibah yang menimpamu, Sahabatku. Biarlah para prajuritku yang akan mengurusnya."
"Terima kasih, Ki Sangkaran. Namun tetap saja aku mesti melaporkan hal ini pada Kanjeng Prabu... "
"Kalau Ki Jonggol setuju akan kukirim dua prajuritku melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Prabu. Mereka prajurit terlatih dengan kuda-kuda pilihan yang mampu berlari kencang. Perjalanan mereka akan singkat. Sedangkan Ki Jonggol masih merasa letih. Dan karena kau telah berada di sini, kewajibanku untuk mengusut musibah yang menimpamu sampai tuntas. Bukankah aku wakil Kanjeng Prabu di sini? Maka, aku pun berkewajiban membantumu. Tidak usah khawatir. Katakan saja, di mana tempatmu dibegal dan ciri-ciri pembegalnya. Para prajutiku akan segera bergerak membereskannya!" ujar Adipati Sangkaran dengan mantap.
Tak ada alasan lagi bagi Jonggol Maraka untuk meninggalkan tempat ini. Apalagi ketika Rangga mendukung rencana Adipati Sangkaran.
"Ki Sangkaran! Aku senang sekali kau memperbolehkan kami menginap. Ini kehormatan besar!" kata Rangga.
"Aduh, mati aku!" umpat Jonggol Maraka dalam hati.

208. Pendekar Rajawali Sakti : Ancaman Dari UtaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang