"APA KAU BAIK-BAIK SAJA?"
Nike mengerjapkan mata. Mengedarkan pandangannya. Ia asumsi bahwa sekarang ini ia bukan berada di aula bawah tanah Bleky. Sekarang ini ia berada di semacam pondok kayu. Atapnya terbuat dari pelepah daun. Di dalamnya juga terdapat berbagai furnitur yang tentu saja terbuat dari kayu asli. Dan saat Nike hendak menoleh ke sisi kirinya, ia terkaget dengan sosok lelaki tua—untung saja Nike tidak kagetan.
Lelaki itu berwajah ramah—entah kenapa guratan di wajahnya terasa hangat, seakan ada sosok lembut yang menyelimutimu. Rambutnya yang beruban menambah kesan 'tua' namun berwibawa. Telinganya runcing, dan—tunggu dulu. Apa Nike baru saja mengatakan bahwa telinganya runcing? Nike menatap lamat-lamat telinga lelaki itu. Benar-benar runcing.
"Hey, nak. Apa kau baik-baik saja? Dan kelihatannya kau penasaran sekali dengan telingaku."
"Ah, iya. Aku baik-baik saja. Dan, maaf tentang itu. Aku tak bermaksud aneh-aneh terhadap telingamu. Hanya saja aku merasa agak—bagaimana ya mengatakannya."
"Hahaha, tak usah dipikirkan. Yang penting sekarang adalah kondisi tubuhmu. Sudah 2 hari sejak kau pingsan. Pasti kau kelaparan, kan?"
Nike mengangguk. Memang badannya masih agak terasa letih. Tapi Nike rasa ia sudah cukup baikan. Bahkan Nike pernah memecahkan rekor Pak Ed dengan berhasil menyelesaikan meditasi selama satu minggu. Padahal Pak Ed membutuhkan waktu setengah bulan, bahkan lebih.
Lelaki tua itu mengambilkan sesuatu dari meja. Nike mencoba duduk, gerakannya masih patah-patah. Nike lantas disuguhi makanan hangat yang disajikan di atas mangkuk kayu. Uap hangat mengepul dari dalam mangkuk. Nike mencoba menghirup aroma dari makanannya, sekaligus menghangatkan wajahnya sekilas.
"Enak," ucap Nike selepas menghabiskan sendok terakhir, lantas bersendawa agak keras. Lelaki itu tertawa pelan, ditutupi dnegan kain lengannya. Nike agak salah tingkah, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil berusaha tersenyum.
"Siapa namamu?"
"Nike, Nike Apostle."
"Aku tahu kau pasti baru saja mengalami kejadian sulit. Tapi bisakah kau ceritakan sedikit tentang bagaimana kau bisa masuk ke—ehm, maksudnya kejadian sebelum kau pingsan."
Nike menggeleng pasrah.
"Baiklah, tak apa." Lelaki tua itu memberi aba-aba. Menyuruh seorang gadis kecil untuk masuk. Dengan langkah patah-patah, ia mendekati lelaki itu. layaknya gadis kecil seumurannya, ia terlihat menggemaskan dengan pita yang disematkan di rambutnya. Nike tak langsung menyadari mereka berdua memakai pakaian yang sama—semacam gaun terusan berwarna hijau-putih. Membuat mereka terlihat anggun nan berwibawa.
"Cucuku," lelaki tua itu mengenalkan. Singkat. "Perkenalkan namamu, sayang"
"Mi—ra."
Alangah lucunya melihat ia mencoba berbicara. Sesekali lidahnya terpeleset, lalu bersembunyi malu di balik kakeknya.
"Cucuku yang menemukanmu di pinggiran desa. Sungguh, dia sangat antusias saat melihatmu tergeletak tak berdaya. Bagai anak kucing yang menemukan harta karun," kakek itu mengelus-elus kepala cucunya. Sang cucu menyeringai senang. Menggosokkan balik kepalanya dalam elusan kakeknya.
"Intinya," kakek itu kembali berkata, "kau harus dirawat lebih lanjut beberapa hari lagi. Untuk berapa lamanya, aku juga kurang tahu."
Nike ingin bertanya perihal 'rawat lanjut'nya, tapi urung melihat Mira memegangi kkinya sambil mencoba berkata 'kak' sambil tersenyum lebar. Ah, senyumnya meluluhkan hati Nike.
Dari sudut pandang kakek Mira, Nike bagaikan teman sebaya Mira. Mungkin umur mereka hnaya terpaut 1-2 tahuun, tak jadi masalah. Nike jujur tak mempermasalahkannya. Umurnya hampir genap 17 tahun. Tetapi tinggi badannya praktis tak tumbuh sejak 7 tahun belakangan. Stagnan di 160 cm.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKE AND THE PARALEL UNIVERSE
Teen FictionNike kebingungan tentang apa yang baru saja ia alami. Tiba-tiba saja ia berpindah tempat ke sebuah ruangan berarsitektur bebatuan khas abad pertengahan. Tiba-tiba saja empat orang berbaju serba-hitam menyeretnya ke suatu tempat. Siapakah mereka ini...