Lebi memasuki gerbang rumahnya, kegelapan menyelimuti setiap dinding. Ia menghela napas, pasti Ayahnya sedang sibuk di ruang kerja. Maid juga tengah memasuki waktu beristirahat.
Setiap melewati sakelar lampu, Lebi menekannya. Sudah menjadi kebiasaan jika ia pulang malam. Terlebih ia sering pulang pagi juga. Ayahnya pasti tertidur di ruang kerja.
Bukan karena Ayah Lebi yang gila kerja, namun karena Lebi yang tak pernah berada di rumah. Lebi pulang sekolah jam tiga sore, pulang dan istirahat sebentar lalu les ballet setelah itu mengawasi anak-anak berlatih karate. Bisa dibilang, Lebi sengaja menyibukkan diri.
Ayahnya tak membencinya, dan jangan berpikir seperti itu. Ini kehidupan nyata. Ayah Lebi hanya memiliki Lebi sebagai alasan hidup. Tak ada Ayah yang membenci putrinya. Sekalipun anak di luar pernikahan, seperti Lebi.
Harper lajang hingga berusia empat puluh tujuh tahun. Tidak menikah demi Lebi, takut Lebi tak nyaman dengan ibunya. Harper yakin Lebi tak membutuhkan ibu. Lebi juga yakin, jika ia tak membutuhkan sosok ibu. Orang yang paling dibencinya.
Bayangkan, ketika kamu hidup tenang, memiliki kekasih yang mencintaimu. Tiba-tiba kekasihmu menghilang, dan setahun kemudian menyodorkan bayi perempuan yang dibilang kekasihmu adalah anakmu. Padahal kamu tak pernah mengotori kekasihmu karena kamu mencintainya. Itulah gambaran hidup Harper, Ayah dari Lebireyya Mazrachi Curtish.
***
Sinar matahari memberontak memasuki celah gorden berwarna cokelat tua. Lebi menyipitkan matanya, ia melirik jam digital yang menampakkan angka 06:54. Ia menghela napas.
Ia menatap pantulan tubuhnya di depan cermin. Kemeja putih yang dimasukkan ke dalam rok biru donker, lengan seragam yang digulung, dan almamater yang ditenteng.
Lebi baru menyadari jika seragam sekolahnya cukup simple, hanya kemeja, rok dan almamater. Tak ada dasi atau topi seperti seragam sekolah biasa yang di lihatnya saat berangkat atau pulang sekolah.
Rambut panjangnya ia urai seperti biasa. Ia mengambil tas selempangnya kemudian berjalan turun ke bawah.
Pada jam ini, Harper telah berangkat ke kantor. Lebi yang terbiasa bangun siang belum pernah sarapan bersamanya.
Ia duduk di meja makan. Menikmati sarapan biasa yang hambar. Walaupun menu yang menggiurkan, tak ada artinya tanpa ada gelak tawa keluarga.
"Pak, saya mau berangkat."
Sopir yang menunggunya sedari tadi mengangguk. Lebi menaiki mobil, kembali melamun seperti tadi malam saat pulang.
"Enak ya kaya."
"Wah, jadi Lebi pasti enak."
"Hidup apa-apa nggak pernah kurang kayak gue."
"Bisa gak ya tukeran sama Lebi sehari aja, pasti gue seneng banget."
Kalimat-kalimat tersebut, Lebi sering mendengarnya dari siswa siswi berseragam putih abu yang terkadang berjalan kaki atau menaiki bus. Ketika Lebi terpaksa pulang tanpa diantar atau tak bisa pesan ojek online. Kalimat-kalimat yang bisa menjadi kebanggaan suatu orang namun malah membuat hati Lebi tersengat sesuatu yang dapat menghancurkannya.
'Gue emang kaya.'
'Gue mau apapun dapet.'
'Gue gabut, minta pelatihan karate dikasih.'
'Gue minta les ballet di tempat paling mahal se-Jakarta dikasih.'
'Gue pengin hp keluaran terbaru, pengin baju paling mahal sedunia, pengin mansion mewah, bedcover sutra, gue bisa dapet semuanya.'
'Gimana dengan orang tua?'
'Bokap yang kerja terus sampai nggak sadar anaknya udah bisa cari duit sendiri.'
Itulah balas Lebi dalam hati untuk siswa siswi yang menginginkan menjadi dirinya. Silahkan, Lebi tak keberatan. Namun, apa mau mereka terlahir sebagai anak haram seperti dirinya?
Memang tak ada yang tahu jika ia adalah anak haram kecuali Harper. Tetapi, sekuat apapun kamu menolak, kamu tetap tak bisa membohongi diri sendiri.
Lebi yang merasa tak diinginkan Harper, dan Harper yang tak pernah menemukan Lebi di rumah. Sehingga Ayah dan Anak tersebut merasa saling dibenci.
***
Gerbang sekolah telah menyambutnya, seakan memberikan tatapan mengejek pada dirinya yang turun dari mobil khusus antar-jemput. Seakan memberi tatapan mencela pada dirinya yang tak pernah diberi kecupan hangat oleh orang tua ketika hendak memasuki sekolah.
Langkah kakinya terasa berat, selalu begitu. Sekolah bukan rumah kedua baginya, sekolah hanyalah mimpi buruk yang menjadi nyata.
"LEBI!!!"
Lebi menoleh, menatap Seta dengan senyum lebarnya.
Seta berlari menghampiri Lebi dengan tangan yang direntangkan, hendak memeluknya. Lebi membiarkan tubuhnya di tubruk Seta, sudah biasa baginya.
"Murahan banget mau sana sini."
Lebi tak menghiraukan suara yang amat dikenalinya tersebut, ia lebih memilih mengurai pelukan Seta dan menggandengnya menuju kelas. Moodnya sedang buruk, gadis tersebut tak mau mengambil resiko dengan menebas kepala Arkan.
"Miss Etta ngeluarin menu baru loh Bi." Seru Seta saat menyadari mood Lebi sedang buruk. Seta tahu, Lebi gemar sekali merekomendasikan menu-menu baru untuk cafetaria sekolahnya agar lebih bervariasi. Lebi juga sangat senang ketika menu rekomendasinya benar-benar menghuni daftar menu di cafetaria.
"Dan, lo tau apa menunya?"
Lebi menatap tepat di mata Seta dengan penuh harap. Berharap Seta mengucapkan kata bakso, mie ayam atau paling tidak sate. Ya, Lebi sedikit iri mengetahui jika di sekolah negeri memperbolehkan penguat rasa di sekolah. Sementara sekolahnya hanya memperbolehkan makanan sehat tanpa MSG.
"Apa??"
Seta menatapnya, seolah ingin Lebi menebaknya, dan Lebi paham itu. "Emm, sate?" Ucapnya menebak, menyebutkan salah satu menu makanan yang tidak memakai penguat rasa.
"Yap! Seratus buat lo Leb!"
Lebi tertawa-tawa, bertepuk tangan dan melompat-lompat kecil. Persis seperti anak usia enam tahun yang idenya disetujui orang tua.
"Sate ayam?" Lihatlah, bahkan Lebi melupakan panggilan 'Leb' dari Seta. Salah satu kata yang dibencinya.
Seta menggeleng, sedikit raut kecewa tergurat tipis di wajah Lebi. Kemarin, ia merekomendasikan sate ayam pada Miss Etta, jadi wajar jika ia sedikit kecewa.
"Sate sapi." Sambung Seta, Lebi melongo.
"Ha? Sate sapi?"
"Yes." Seta mengangguk mantap. "Lo wajib cobain Leb!"
"Heh! Jangan panggil gue Leb! Gue pites lo ntar!!"
Seta meringis, melupakan hal itu.
'Gue bahagia dengan hal sederhana.' Batin Lebi tersenyum menatap mata Seta dengan jantung yang berdetak dan oksigen mengalir di paru-paru.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Cuma Lebi
AcakNama Gue Lebireyya, lebih banyak orang manggil gue Lebi. Hidup gue berlimpah dengan kekayaan, apapun yang gue inginkan akan terwujud dengan mudah. Lo pengin jadi gue? Boleh, asal kedua orang tua lo masih lengkap. Dengan senang hati kita bertukar pe...