Eps. 0.3 || Gue Suka Dia

3 3 0
                                    

Lebi mengusap wajahnya kasar. Hari ini tak ada latihan, hanya kemarahan.

Ia menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi, beberapa kertas biodata berserakan di depannya. Komputer menyala menampilkan biodata lengkap keluarga Sharendra.

Tok! Tok!

"Masuk!" Jawab Lebi lantang, namun terkesan lelah.

Seorang lelaki masuk, tangannya membawa sekotak kayu berisi tumpukan amplop putih. Tatapannya datar. Dia adalah Alfrega Gunawan. Bendahara Pelatihan Karate FH.

"Tarikan bulan ini." Ucap Rega tanpa basa-basi. Membuat perasaan Lebi teraduk-aduk.

"Hm, taruh aja dimeja." Balas Lebi lebih dingin. Prinsipnya, satu dibalas dua. Jika Rega dingin padanya, maka Lebi bisa jauh lebih dingin dari Rega.

Berbeda dengan sikapnya yang dingin sekarang, melihat wajah Rega sama saja dengan menghangatkan hatinya. Membuat mercusuar meledak-ledak jauh di dalam hatinya.

"Arkan Sharendra, Arseno Sharendra. Mereka juga sudah." Ucap Rega lagi. Tanpa diperintah, ia membuka buku tebal berwarna hijau gelap dengan label TARIKAN, hurufnya dicetak tebal.

Lebi hanya menaikkan alis. Artinya, Arkan dan saudaranya sudah bayar untuk bulan ini? Bahkan Lebi masih menimang-nimang menerima mereka berdua atau tidak.

"Oke, ntar gue beresin."

"Lo boleh keluar." Tambah Lebi, ketika meliha Rega justru melanjutkan kegiatan mencatat dan menghitung.

"Tugas gue." Balas Rega tak mau kalah.

"Gue bilang keluar ya keluar!"

Rega sedikit tersentak, ia tak pernah mendengar Lebi membentaknya. Lebi hanya bersikap dingin dan datar padanya. Tak mau mengambil resiko, ia segera beranjak keluar dari ruangan berukuran 4×6 meter tersebut.

Lebi mengusap wajahnya kasar. Ia sadar, sudah dua tahun ia menyukai Rega. Selama itu pula Rega tak pernah meliriknya. Bahkan Lebi mempunyai pengalaman mengerikan tentang Rega.

Ketika Lebi memutuskan mendekati Rega, ia membuatkan makan siang untuk pria itu. Bahkan Lebi rela bolos demi mengantarkan makan siang untuk Rega sendiri. Awalnya, sekali dua kali Rega menerima. Hingga suatu hari dihadapan seluruh KS1, Rega membanting kotak makan siang pemberiannya, menghina Lebi agar tahu diri tak mendekatinya. Mengatakan Lebi agresif dan Rega tak menyukai Lebi.

Lebi tahu. Dari KS1 hingga KJ4 hampir semua lelaki naksir dirinya. Ia pernah didekati anak SMP hingga yang sudah bekerja mapan. Itu semua karena Lebi cantik, pintar, dan tak lembek. Namun demi Rega ia tolak mereka semua mentah-mentah.

Lebi juga tahu. Rega menyukai wanita feminim, lembut dan anggun. Berbalik dengan karakter Lebi. Lebi tegas. Lebi tak cengeng. Lebi tak lemah dan Lebi bar-bar namun tak membuat siapapun yang beruntung menjadi pasangannya bosan.

Cklek.

"Kakak Lebi!"

Lebi membuka mata, ia melihat sosok gadis cilik berpakaian putih menghampirinya.

"Wah, Oka ngapain kesini?" Lebi tersenyum lebar, melihat senyum Hanoka Reisya Rahardian membuat semangatnya tumbuh.

"Emm... Itu Kak, Papa mau ketemu sama Kakak Lebi!" Jawab Oka riang. Seorang lelaki berumur dua puluh lima tahun masuk dengan senyum tak kalah lebar. Adam Rahardian.

Oka adalah putri angkat Adam, Lebi tahu itu. Adam diusia mudanya telah lulus S1 dan sekarang melanjutkan kuliah sembari menghandle perusahaan ayahnya. Oka berusia sembilan tahun, ia berlatih karate di Pelatihan Karate FH sejak umur enam tahun. Kini, gadis cilik tersebut menduduki kelas KJ2. Prestasi yang membanggakan.

"Pak Adam, silahkan duduk." Ujar Lebi, senyum tak luntur dari wajahnya.

"Jangan panggil saya Bapak. Saya masih muda." Adam terkekeh sembari duduk. Senyumnya menimbulkan lesung di pipi kirinya.

"Jadi Pak Adam. Ada keperluan apa anda kemari?" Tanya Lebi, ia melipat tangannya di atas meja.

"Aku mau bayar SPP Oka." Jawab Adam, tetap tersenyum manis.

"Loh? Kalau mau bayar SPP ke bagian bendahara Pak. Bukan ke saya." Balas Lebi bingung.

"Aku sudah ditolak sama Si Rega Rega itu. Katanya udah terlambat."

Lebi mengulum bibirnya, berusaha menahan tawa. "Ya sudah, kalau begitu. Mulai sekarang Pak Adam bayar ke saya saja."

"Siap komandan!"

Mau tak mau, Lebi tertawa kecil. Ia mengalihkan pandangannya pada Oka yang menguap di sofa. "Pak, sepertinya Oka sudah mengantuk. Ini juga sudah jam setengah sembilan. Lebih baik jika Oka pulang sekarang." Saran Lebi melihat Oka yang menahan kantuknya.

"Wah, terimakasih Lebi atas perhatiannya. Oka! Ayo pamitan sama Kak Lebi!"

Lebi tersenyum. Oka menghampirinya dengan setengah terhuyung. "Kakak Lebi, Oka pulang dulu ya!" Pamit Oka. Gadis cilik tersebut mencium kedua pipi Lebi.

***

Lebi tersenyum remeh menatap Arkan yang terbaring di lantai kayu dengan luka-luka dan memar. Ia merasa sangat senang melihat Arkan sakit. Sepertinya Lebi menaruh dendam.

Lebi melepaskan sabuk hitamnya, perutnya terasa sesak, dan seketika udara segar mengalir lancar di dadanya.

"Gimana? Kalian mau kayak dia?" Lebi menatap Farel dan Billy yang sedari tadi menyaksikan pertarungan keduanya. Tentu saja mereka refleks menggeleng cepat.

"Van, ambilin stik, perban sama karet gelang." Ujarnya pada Gevan yang sedari tadi tersenyum bangga menatap Lebi.

Gevan berlalu, kemudian kembali dengan dua buah stik es krim, karet gelang dan perban ditangannya. Ketika Lebi memintanya mengambil tiga barang tersebut, itu artinya lawan Lebi mengalami patah tulang ringan.

Lebi meraihnya dari tangan Gevan. Kemudian berjongkok di samping Arkan yang terkulai lemas.

Ia mulai menaruh stik dibawah tulang jari manis Arkan, mengikatnya dengan karet gelang dan membebatnya degan perban kasa.

"Heh! Lo Arsen!" Tunjuk Lebi pada seorang remaja laki-laki yang menatapnya kagum. "Sodara lo abis ini bawa ke RS gih! Infeksi malah berabe ntar." Peringatnya pada Arsen.

Jarum jam menunjukkan pukul 22.52, Lebi segera berjalan keluar menuju ruangan ganti khusus perempuan.

Setelah beres mengganti pakaiannya dengan celana legging pendek dan kaos hitam longgar. Lebi menghampiri Gevan, Pelatihan Karate FH nampak sepi dan gelap. Semua lampu telah dimatikan dan tersisa Lebi dan Gevan saja.

"Van, anterin gue pulang."

"Siap Neng Lebi!"

Lebi tertawa kecil, ia meneguk sisa minuman rasa anggur hijau favoritnya hingga habis. Kemudian menyampirkan tas selempangnya ke bahu kiri.

Lebi membuka pintu mobil Gevan. "Yok Van, udah malem ini."

Gevan mulai melajukan mobilnya. Lebi menyender ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi. Langit bertabur bintang, dan bulan sabit yang indah. Seketika, ia teringat Rega. Teringat besarnya perasaannya untuk sesuatu yang tak pasti.

'Gue suka dia.' Batin Lebi meratap.

Gue Cuma LebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang