• cabin

42 22 47
                                    

"Permisi.."

Terhitung dua belas kali Haris telah mengetuk pintu yang terbuka.

Memangnya mereka langsung masuk seenaknya?

Anak-anak ini tau tatakrama.

Tapi, ..

Haris menghirup aroma yang begitu lezat dari dalam sana. Aroma yang mampu mematahkan ketakutannya dalam sekejap.

Haris jadi penasaran, "Gue ke dalem dulu mastiin kabin ini memang berpenghuni," katanya percaya diri.

Sebenarnya ada niat terselubung. Jika Haris bertemu si pemiliknya duluan, dia bisa jadi yang pertama mencicipi masakan itu. Pasti enak lah!

"Permisi.." di dalam pun Haris masih ragu. Siapa tahu yang punyanya galak?

Pemuda Adjiyaksa itu mendapati sebuah tungku menyala dengan kuali besar yang tengah mendidihkan sup.

Nggak salah gue, pasti itu enak.

Haris menghela prihatin. Perutnya sangat lapar, dari kemarin hanya memakan makanan kaleng yang mentah begitupun teman-temannya. Mereka pasti rindu masakan rumah.

Netra Haris mengedar ke lain penjuru ruangan. Terdapat cairan kuning bertoples-toples seperti saus mustard.

Apa memang iya?

Karena Haris melihat biji selada dan bongkahan keju diatas meja. Yang punya kabin ini tajir juga.

Haris dengan kesembronoannya. "GUYS! AYO MASUK! ADA BANYAK MAKANAN DI SINI!" serunya bersemangat.

Mendengar nama makanan jelas anak-anak yang kelaparan juga semangat, seakan tak peduli apapun lagi.

Sesengsara itu terjebak di hutan ini.

Namun baru selangkah mereka masuk, pintu dari arah bersebrangan terbuka.

Aliran darah mengalir dari sana diikuti figur tubuh besar dengan luka kapak di wajah.

"Teman-teman jahat ini lagi."

"Jack harus membunuhnya."



























































Tidak dengan teriakan, mereka kini serempak lari dengan kecepatan kaki yang super duper kencang meninggalkan hunian kayu yang nyatanya adalah sarang dari Jack.

Ketakutan itu kembali mendera. Meremat nyali mereka hingga ke bagian yang sangat-sangat kecil. Jack tidak bisa mati. Tembakkan itu ibarat lalat baginya.

"Makhluk apa sebenarnya dia??" lontar Haris disela pelarian mereka yang tak tentu arah.

Menerabas ranting dan dahan tajam sekalipun. Pelarian kali ini benar-benar menguji kekuatan langkah kaki.

Mulai dari sini, hanya Bima yang bicara.

"Entahlah! Cuma tuhan yang tahu! Tempat ini, hhhh— jadi pertemuan antara sihir dan percobaan kimia."

"Jack terlahir sebagai anak biasa. Paparan radiasi membuat dia seharusnya mati dengan kondisi cacat sekujur tubuh sejak bayi!"

"Tapi kutukan para warga membuat leluhur hutan ini memberikan bantuan, yang disebut sihir. Yang di jaman sekarang sulit dipercaya!"

"Jack bisa hidup, dengan kondisi seperti itu! Dan keberadaannya hanya untuk menuntut balas dendam para warga karena hutan ini dijadikan tempat uji coba!"

"Mengerti sampai di sini?!"

"Tapi tentang penangkaran beruang di hutan ini?!" tanya Defan.

"Itu hanya alibi pemerintah supaya nggak ada lagi yang datang ke sini!" sahut Elang.

Mereka berhasil keluar dari gelapnya lingkupan pohon-pohon.

"AJI!" Defan menarik kerah baju Aji saat saudaranya nyaris tergelincir ke jurang.

Mereka berhasil menemui jalan lain, tapi itu mengarah ke tebing tinggi dengan sungai yang mengarah ke air terjun di bawah sana.

"Kita ngambil arah yang salah!" dengkus Arkie. "Sementara kembali juga gak mungkin!"

AHIHIHIHIHIHI

Suara tertawa cringe itu menggema di hutan, terbawa angin yang menyapu kasar dedaunan.

Bima main hompimpa dengan otaknya, menentukan banyak cara serta resikonya.





























































"Kita lompat ke bawah."

"BIM GILA AJA?!" Semua serentak menggubris membuka lebar kedua mata.

"SEMETER DUA METER GAK MASALAH INI SETINGGI GEDUNG BRO!" protes Aji.

"Di bawah sana ada air kita nggak akan remuk jika jatuh di air!" kata Bima.

Haris melongok ke bawah sana. "Tapi kan sungai punya batu! Kalo kita mendarat di batu gimana?!"

"Mungkin mati," jawab Esa.

Arkie sedikit tertawa remeh sebelum menatap tajam Bima disertai serapahnya. "Anjinglah sia-sia gua bertahan hidup kalo ujungnya juga bakal mati!"

Usai menubruk keras bahu Bima, Arkie melakukan hal yang membuat teman-temannya tersuntik adrenalin untuk sesaat. Arkie melemaskan kakinya di tepi jurang lalu tak butuh banyak waktu,

tubuh Arkie ditelan jurang dengan tekanan udara tinggi, tanpa pelindung apapun ia nekat melompat ke bawah sana.

Selang sedetik dari kejauhan kapak Jack terlihat menebas dahan-dahan. Dia tahu anak-anak ada di sini.

Mengingat sudah berapa hari tidak ada korban jiwa, Jack pasti kelaparan.

Anak-anak terjebak dua pilihan. Menyusul Arkie mati dengan melompat dari tebing atau mati ditebas.


































































"G-gue nyerah aja, bro. Gue capek."

PAЯADIES | BTSKZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang