• fight

44 25 35
                                    

"Masalahnya adik saya ada dalam rombongan itu! Rombongan yang nyatanya digelapkan dari izin pihak kepala sekolah!"

"Pak, tolong tenang dulu. Anda jangan bersikap egois,"

Seorang pria dengan lencana elang di seragamnya menaikan sebelah alis mata. "Egois?"

"Bahkan bukan hanya adik saya yang ada di sana. Tapi tiga puluh sembilan orang siswa lain dan staff pelatih ekstrakurikuler yang mencetus ide gila ini."

"Perjanjiannya hanya tiga hari, TAPI INI SUDAH HARI KE LIMA. MEREKA BELUM JUGA DIPULANGKAN!"

"Keamanan!"

Theo digiring keluar ruangan personalia oleh pihak keamanan. Pertanyaannya bahkan tidak menemui sedikit pun titik terang.

Dengan sisa harapan Theo menatap kontak Haris,  lantas lekas menekannya dan berusaha menghubungi sang adik lagi.

"Nomor yang anda tuju—"

Tapi lagi-lagi suara sialan itu yang menyahut.

Beberapa menit tak menunggu apapun di kursi koridor, segolongan pria dengan setelan rapi keluar bersusulan dari personalia membawa wajah tertekuk yang tak kalah kalut dari Theo.

Tanpa pikir panjang Theo menyetop satu pria yang melintas. "Permisi,"

"Ya?"

"Maaf, jika saya boleh tahu, apa anda juga orang tua dari salah satu murid yang ikut acara camp ceria di hutan?"

Pria dengan gurat jenaka itu lantas tersenyum meski rona cemas tak bisa terhapus dari wajahnya. "Anda benar. Adik dan keponakan saya, ikut ke camp itu."

Theo menghela lega dapat bertemu yang satu nasib dengannya. Ia mengulur tangan tanda perkenalan. "Theo."

"Adi."

Pandangan Adi mengarah ke orang-orang yang lebih dulu dia temui sebelum Theo. "Saya rasa mereka juga orang tua dari murid. Mari,"

"Ah, iya—baik."
























































Suara gedak-geduk dua kayu yang dihantamkan menyambut Bima, Elang, Arkie, Haris, Aji, Defan, Esa dan Yudha di pagi-pagi buta.

Membangunkan kedelapan pemuda itu.

Usai nyawanya terkumpul, Bima mendekat ke jendela. Mengintip keluar gedung.

Paku-paku nampak tersebar di sekitar pelataran gedung. Besi silinder disusun seperti memagar sekeliling bangunan berdiameter lima puluh ini.

Mereka terjebak.

Parahnya lagi jack terlihat sedang memanaskan besi-besi itu dengan bara api. Semakin mengecilkan kesempatan mereka untuk kabur.

Lima hari berlalu semua tampak sama.

Makhluk itu seperti mempermainkan ketakutan ketujuh teman-temannya tak terkecuali dirinya.

dan Bima tidak akan pernah sudi jika ia harus kehilangan tujuh teman-temannya begitu saja.

"Sialan itu ..." Menyambar senapan beruang di sampingnya, Bima mengisi amunisi penuh.

Dengan segenggam batu, Bima memecahkan kaca jendela di hadapanya. "Apapun yang terjadi, kita harus kembali! Kita harus pulang ke rumah masing-masing dengan selamat, gak ada satupun dari kita yang harus mati atau jadi tumbal disini!" katanya usai mengangkat senapan tepat mengarah ke kepala besar itu.

dOORR!

Bima menjauhkan matanya pada lensa. Tembakan itu hanya membuat Jack menolehkan kepalanya.

"Tembak, BIM!"

DOR ..! DOR ..!

"Gua tembakin kepalanya nggak pecah-pecah, Ji!"

"Belajar ilmu kebal dari mana dia?!" Arkie berkacak pinggang.

Tapi setidaknya, peluru yang menghujani tubuh serta kepala Jack membuat makhluk jangkung itu tumbang.

"Kita nggak bisa terus di sini. Kalau Jack bangun lagi, dia pasti menuntut balas."

Bima memasukan flare dan barang barang yang dibutuhkan ke dalam ransel. "Arkie bener."

"Kita pergi dari gedung ini, paling enggak mencari tempat lain untuk bersembunyi. Pembaca bosen kita gak mati-mati!"










































































Kedelapannya berlari sekuat tenaga menembus embun pagi diantara pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang.

Terlepas jack mati atau tidak, mereka harus memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur sejauh mungkin.

Sangat sepi dan tak ada tanda kehidupan di sini. Hanya mereka, lelah dan udara.

Defan dan Esa menjaga sisi paling depan alias memimpin jalan, di ruas kanan ada Aji dan Haris, Elang dan Yudha tentu sisi kirinya.

Sepakat sesuai postur tubuh yang paling besar, Arkie dan Bima jalan belakangan seraya menodongkan senapan waspada.

Tas Arkie paling berat isinya. Ada amunisi, flare, dan senjata cadangan.

Di sebuah batu besar, Aji menggambar simbol cakra sebagai tanda tempat ini pernah mereka pijakki.

Melanjutkan perjalanan, Elang tiba-tiba memicing jauh. "Ada kabin, bro."

Ketujuh lainnya menyamakan pandangan. Benar saja sebuah kabin nampak damai berdiri disana dengan cerobong asap yang menguap.

"Syukurlah... kita bisa minta bantuan ke sana."

"Sebentar lagi kita pasti pulang!"

Dengan hati yang optimis kecuali Esa yang sudah mati rasa mereka mendekati kabin itu.




















































"Wah, gua yakin kita bisa minta bantuannya. Ayo!"

PAЯADIES | BTSKZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang