˖ ⌱ p r o l o g u e ⌝

303 66 100
                                    

"Jadi, gimana?"






















"Tell me that he's not undead human"






















"Dia bahkan bukan manusia, Fan!"




















Deru napas itu menderu, terus mencoba hening dalam sempitnya hengkang udara.

Melepas hentakkan kaki, berselimut kabut dalam ruangan kosong berdarah ini.

Sepasang mata besar itu nampak terus mengamati. Pada ringkang bayangan kelam, raga menjulang tinggi bersama decit kampak besar yang digeretnya seorang diri.

















Sembunyi!

Keberadaan-nya adalah ancaman, mereka berpencar ke arah yang tak menentu.

Dituntut segera menemukan pelindung diri tanpa mengeluarkan suara yang justru mengundang mati.

Detik itu semua menjadi beku.

Mereka harus berbaring di lantai berdebu yang tidak bisa disebut sehat itu. Ketika dia datang, mereka harus menjadi tidak terlihat, kapan pun ... selama mereka ingin tetap bernapas.

"Apa dia bisa ngendus bau manusia?"

Seseorang yang mendengarnya lalu menggeleng, "Mungkin? Gue pikir dia juga manusia sama seperti kita, ..

.. kan?"

Berselang dua tarikan napas, timbul bunyi decakkan yang agak meriah kedengarannya.

Sampai pemuda berbau kucing dibalik meja tersebut memunculkan seperempat bagian kepalanya.

"Yakin dia manusia? Kelihatannya sih, lagi mukbang kepala,"





























"Kak, pengen pulang aja! Udahan permainannya, suruh dia berhenti nakut-nakutin kita kayak gini!"

Jika semudah itu, mungkin sudah sedari tadi mereka mengakhiri ini semua. Berhenti lari dan bersembunyi. Cukup kembali ke teman-teman di camp utama, bernyanyi, tidur lelap kemudian pergi.

Namun sayangnya, ...

" Ini bukan permainan, Yudha!"

" Lagipula orang bodoh mana yang mau masuk permainan ini cuma untuk dikejar-kejar si benjol itu?!"










.

















"Apapun yang terjadi, kita harus kembali! Kita harus pulang ke rumah masing-masing dengan selamat, gak ada satupun dari kita yang harus mati atau jadi tumbal disini!" katanya usai membuka tirai jendela lalu mengangkat senapan tepat mengarah ke kepala besar itu.

dOORR!

















"Mana gua tau dia kebal peluru!"
















"Ah, kampret! Harus lari lagi gitu?"

















Pria yang bersandar di bibir jendela itu tersenyum dengan kedua tangan tersimpan apik dalam saku celana.

Tempo detik lalu, dia saksikan tubuh manusia yang dilipat-lipat menjadi meja di luar sana.

Miris, dia tahu betul bahwa itu adalah tubuh teman sebangkunya. Hal itu membuat kepalanya menggeleng tidak tega, namun hatinya geli entah mengapa.

"Kalian gak capek lari-lari dan sembunyi terus?"

" Kata gue sih ya, lebih baik nyerahin diri, dan mati, beres!"

Simpulan dan usul gila itu sontak membuat ketujuh lainnya menolak mentah-mentah.

Jelas, mereka katakan dengan tegas "GUA MASIH PUNYA MASA DEPAN!!!"

Namun pemuda pemberi usul itu mentertawakan frasa mereka, 'masa depan' katanya.

Masa depan mana yang bisa mereka sambut sementara hidup saat ini pun tengah diincar maut?

"Udahlah, kalian bertahan kayak gini, hanya memperulur kematian, tau nggak?"





















"Kita di lantai berapa, bang? Cocok nih kayaknya buat bunuh diri, ahay!"















"Damn! Dia tahu dimana kita sembunyi! RUN!"

****

Hanya itu? Tidak.

Permainan sebenarnya baru akan dimulai, dimana mereka dituntut bertahan hidup dalam hutan tanpa jejak tersebut. Jadi, bersiaplah!

Tidak ada yang tahu siapa yang akan berkorban atau terpaksa menjadi korban.

Apakah delapan itu akan tetap utuh, atau malah berkurang menjadi tujuh?

enam? lima?

satu?

atau malah tidak sama sekali?































×××

P a r a D i e s
hourlykoya present


⚠️cerita ini 100% fiksi

PAЯADIES | BTSKZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang