Lari, Nakula pernah berlari sejauh kakinya mampu berlari, Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa bukan jarak yang menyembuhkan luka dan traumanya. Tapi hatinya yang perlahan belajar memaafkan dirinya sendiri. Nakula mulai mengerti bahwa melarikan diri dari sumber rasa sakit hanya akan menjadikannya pecundang. Namun tetap saja jiwanya masih pekat dengan sebutan remaja labil, mentalnya belum sekuat itu. Sejak bangun dari pingsannya tadi Nakula memilih mengurung diri, enggan beranjak kemanapun. Belum siap untuk dihakimi. Ia lebih memilih menghindar hingga dirinya benar-benar siap untuk menghadapi konsekuensi yang harus diterima, nanti."Kula.. "
Awan mendung menjadi penghuni tambahan di langit malam ini, setelah menutup jendela kamar Nakula, Yudhistira mendudukkan diri di tepi ranjang, menatap Nakula yang pura-pura sibuk dengan bulu-bulu si Burik.
"Nakula lihat Mas Yudhis.."
Tidak ada nada marah sedikitpun dalam ucapan kakak pertamanya itu, Namun Nakula yang sudah terlanjur merasa bersalah jadi bungkam, ia terus menundukkan kepalanya tidak berani menatap Yudhistira. Tatapan Nakula hanya tertuju pada si Burik yang kini tengah tertidur nyaman di pangkuannya, sesekali tangannya akan mengelus lembut bulu-bulu halus milik kucing kampung itu.
"Kula udah nggak apa-apa kan??" Yudhistira tidak bisa tidak khawatir pada adiknya. Tragedi itu tetap meninggalkan luka di memori Nakula meskipun sudah bertahun-tahun lalu.
Nakula mengangguk pelan.
"Kula nggak apa-apa.."Memandang Nakula yang memangku burik selalu berhasil membawa bayangan Sadewa kembali. Sebagai kakak pertama Yudhistira merasa jika dirinya adalah seorang kakak yang gagal. Banyak sekali penyesalan yang tak mampu terungkap, juga rasa bersalah yang belum menemukan labuhan untuk berucap maaf. Pelan-pelan Yudhistira menuruti kata hatinya, membiarkan kedua lengan kekarnya merengkuh tubuh Nakula.
"Kula jujur sama Mas, Kula marah kalau Bunda nikah lagi?"
Alis Nakula terangkat. Konyol! Pertanyaan macam apa itu. Jelas Nakula marah, tapi dia bisa apa. Melihat Bunda bahagia juga salah satu keinginan terbesarnya.
'Kalau Kula bilang iya, Apa bunda bakal batalin pernikahan itu??'
Tidak sampai terucap oleh bibirnya, kalimat itu tertahan kuat di ujung lidah. Nakula tidak ingin egois. Bunda berhak mendapatkan kebahagiaannya tanpa harus terhalang satu apapun, termasuk dirinya.
"Kenapa harus marah.. " Nakula meloloskan diri dari rengkuh Yudhistira, Nakula bahkan rela membohongi perasaannya sendiri.
"Ya wajar kalo Kula marah, Mas Yudhis juga awalnya marah."
Mata Yudhistira bertemu tatap dengan iris kelam milik adiknya, ia melihat banyak luka juga keraguan yang tersirat di sana. Banyak retak yang berusaha Nakula sembunyikan dari mereka.
"-menurut Kula, Om Defran ganteng nggak? Bunda bakalan bahagia nggak kalo nikah sama Om Defran??"
Usapan Nakula pada bulu-bulu Burik terhenti, ia merinding mendengar ucapan Kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
D E N I A L »[ Lee Jeno ]«
BeletrieNotes :: -Book ini untuk di Baca! Bukan untuk diplagiat!!! -Bacanya dari Prolog, Biar paham alurnya. -Jangan lupa tinggalkan jejak. -Follow juga biar nggak ketinggalan kalau Booknya di Update dan Mamak ada book baru. //////////////// Summary : Katak...