prolog

17 3 6
                                    

4 tahun kemudian.

Seorang pria dengan rambut yang sudah menebal, baju sedikit lusuh, wajah kusam, serta perawakan yang mengurus itu memejamkan mata sembari menghirup udara segar di petang ini. Merasa bersyukur bisa melihat semesta yang berbagai macam ceritanya. 

Selama empat tahun di balik jeruji besi, ia hanya memikirkan tentang bagaimana orang yang mengenalnya itu memandang. 

Ia menyampirkan tas ransel di pundaknya. Menatap ke berbagai arah. Ternyata tidak ada yang berubah. Rian tersenyum simpul. Tak ada perubahan pada peradaban selama ia dipenjara bukan hal yang ia pikirkan, tetapi tetap saja ia sempat mengira bahwa pekerjaan manusia telah digantikan oleh robot, seperti rumor-rumor yang sering kali bertebaran jikalau soal teknologi dan masa depan. Namun, rupanya ia tak perlu mengkhawatirkan itu, tetapi yang harus Rian pikirkan adalah bagaimana caranya ia menghadapi kehidupan setelah ini, akahkah ada lapangan pekerjaan  yang menerima mantan napi? 

Seorang gadis berlari dari arah belakang pria itu dan langsung memeluknya tanpa izin membuat sang pemilik tubuh sedikit terdorong. Mata Rian menilik tangan yang melingkari perutnya.

"Sekangen itu lo sama gue?" tanyanya percaya diri sambil berbalik badan.

Gadis berkuncir satu ke belakang itu melepaskan pelukannya, "Kangen banget, gak ada yang jailin gue selama empat tahun, gak ada yang mainin rambut gue sampe kusut lagi, gak ada yang peluk gue saat sedih," ucapnya sambil berkaca-kaca.

Rian mengacak-acak rambut gadis yang ada di depannya, "Ca, makasih banget lo masih bisa nerima gue dengan baik. Sebagai rasa terima kasih, gua bakal jailin lo kayak dulu lagi, kok," ejeknya disertai kekehan.

Ica menepis tangan pria itu, "Sialan lo!"

Ica menyodorkan jari kelingkingnya, "Janji gak ngelakuin kesalahan yang sama lagi?"

Pria berusia tiga puluh tahun itu tersenyum kesekian kalinya, ia menautkan kelingkingnya pada kelingking Ica.

"Janji kok gak akan ngelakuin kesalahan yang sama, tapi nanti gue bakal cari kesalahan baru."

"Itu otak sableng lo efek di penjara atau dari ganja, sih?"

Rian tak menanggapi ucapannya, ia berjalan sambil menunggu angkutan umum. Ica menghentakkan kakinya sambil mendekati pria itu.

"Apa kabar Bibi Jihan?" tanya Rian mode serius.

"Baik, kok. Mama udah nyiapin makan buat lo," jawabnya sumringah.

Bruk!!!

Keduanya terpental kaget begitu mendengar suara. Rian menoleh, melihat motor matic yang sudah berbaring, juga terlihat garis berbaju putih itu meringis kesakitan ketika kakinya terjepit motor. Dengan cepat Rian dan Ica menghampirinya.

Rian berusaha mengangkat motor ditemani beberapa orang yang melihat kejadian itu. Setelah motornya berdiri tegap, Rian berjongkok mengamati wajahnya.

"Sakit banget, ya?" tanyanya hati-hati.

Gadis itu mendongak, membalas tatapan mata pria yang di hadapannya. "Sakit sih, tapi gak yang sakit banget kok, Mas."

"Perlu ke rumah sakit, gak?" usul pria paruh baya.

"Gak perlu kok, Pak. Saya baik-baik aja, cuma susah berdiri, kaki saya masih sakit."

Rian menarik lengan gadis itu ke pundaknya, lalu membopongnya, ia berjalan menuju kursi di depan fotocopy, mendudukannya di sana. Kejadian yang sangat tiba-tiba itu membuat sang gadis tersentak. Matanya mengerjap berkali-kali melihat Rian yang mengamati luka di tangannya.

Senja yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang