Suara riuh warga yang tengah berkerumun di satu titik rumah yang sederhana namun luas itu membuat pria yang tengah menenteng sebuah tas di genggamannya menyipitkan mata. Kakinya menyeret tubuh untuk memasuki kerumuman itu.
"Tuh orangnya!" tunjuk seorang wanita paruh baya dengan rambut yang digulung ke atas.
Sorotan mata mereka mengarah ke arah Rian yang tak tahu apapun.
"Dia mantan napi yang kena kasus narkoba, terus sekarang dia tinggal di rumah Bu Jihan yang jelas-jelas isi rumah itu perempuan semua!" jelas lagi seorang wanita yang tadi menunjuknya.
Rian mengerjapkan matanya, "Maksudnya ini apa, ya?"
Seorang pria paruh baya mendekatinya, "Kamu pernah narkoba?"
Rian meneguk salivanya, matanya melirik Ica yang tengah menahan gejolak amarah.
"Saya juga udah dipenjara sebagai hukumannya, Pak. Jadi, saya rasa gak ada salahnya lagi untuk hidup dimana pun saya mau selagi gak ngerugiin orang lain," ungkap Rian membela diri.
Pria yang berjabat sebagai RT itu menggelengkan wajahnya, "Saya gak hanya ingin dengar soal kasus kamu, tapi maksud kamu tinggal di rumah Bu Jihan itu apa, ya?"
"Saya gak punya tempat tinggal dan Ica adalah teman saya, jadi saya rasa hanya bisa meminta bantuan sementara dari keluarga ini."
Pak RT itu diam sejenak, "Hanya sementara, kan? Kalau gitu saya kasih waktu satu bulan, setelah itu kamu harus keluar dari tempat ini."
"Lho? Kok gitu, Pak? Jangan dikasih hati sama mantan napi, hidupnya gak akan bener soalnya."
"Kelamaan sebulan mah! Tuh orang nanti bakal makin ngelunjak!"
Rian memejamkan matanya meresapi ucapan mereka.
Kerumunan itu dibubarkan oleh RT yang juga akhirnya melenggang. Rian menatap Jihan yang sedari tadi membungkam.
"Dari mana aja kamu?" tanyanya sinis.
"Tadi kete-"
"Pacaran!" selak Ica yang dapat lirikan tajam dari Rian.
"Gak usah sembarangan ngomong lo!" sangkal Rian tak terima.
"Terus kalau jalan sama cewek apalagi kalau bukan pacaran?" sindir Ica semakin menantang.
"Emang faktanya gak pacaran, kok!"
"Pendosa kayak lo mana mau ngaku!"
Deg!
Hati Rian terenyuh mendengar kata 'pendosa' yang dilontarkan untuknya. Tapi, ia hanya bisa menahan emosinya dalam-dalam.
"Kamu denger tadi apa yang disampaikan Pak RT? Kamu harus keluar dari rumah ini. Di sini pun kamu hanya jadi beban kami, Yan. Bibi pikir aka bisa rawat kamu," Jihan menjeda kalimatnya sejenak sembari menggeleng, "ternyata gak bisa."
Rian mengangguk, "Rian ngerti, tapi Rian harus tinggal di mana lagi, Bi? Semua orang punya keluarga, tapi enggak untuk Rian."
Ia meneteskan air matanya yang sedari ia tahan, "Rian sadar hanya seorang pendosa yang gak bisa diterima lagi, tapi apa harus didiskriminasi seperti ini? Apa seorang pendosa gak boleh bertaubat?"
"Kenapa hidup ini gak adil, Bi?"
Cairan bening semakin membanjiri pipi Rian. Rasa sesak di dadanya semakin sakit. Ia hanya bisa melampiaskan kata-kata yang ia lontarkan dengan air mata.
"Sebelum Rian jadi begini, Rian hanya seorang anak yang terkekangi, setelah keluar gak sama buruknya. Kenapa manusia selalu bisa menilai dari satu buruknya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja yang Hilang
Teen FictionRian Naufal Hendriansyah sudah dicap buruk oleh beberapa orang sebab ia adalah mantan narapidana karena kasus narkoba. Stigma buruk meskipun ia sudah tak lagi melakukan dosa itu tetap merajut hidupnya. Di waktu senja, tak sengaja ia bertemu seorang...