PROLOG

31 12 0
                                    

"Karena apabila saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang sebagai bintang timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku."

– Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk

***

Tokyo, musim dingin 2018; beberapa jam sebelum tahun baru.

Aku berdiri dengan dinding kaca sebagai sekat antara aku dan denyut kehidupan di luar sana, di bawah sana. Bersandar pada meja kayu, kuraih gelas kaca berisi wine tua seraya mendongak menatap langit malam Tokyo. Diam-diam aku memuji betapa manis anggur berusia 35 tahun ini. Salah satu alasan mengapa aku suka sekali dengan anggur adalah, semakin tua usianya, maka rasanya semakin membuatmu jatuh cinta. Aku tersenyum miring, merasa konyol karena baru saja memikirkan cinta. Aku bahkan tidak benar-benar memahaminya. Ah, tidak. Bukan seperti itu. Aku merasakan sesuatu yang orang lain bilang adalah cinta. Namun seringkali aku merasa, aku perlu menanyakan makna ini dengan cinta itu sendiri.

Maka, mengapa aku belum menanyakannya?

Itulah masalahnya–masalahku. Aku belum menemukannya. Ini bukan seperti aku belum menemukan seseorang yang tepat untukku. Tidak. Itu terlalu klise dan memuakkan. Ini lebih seperti... aku belum menemukan orang itu. Gadis itu. Bintang Selatanku. Siriusku. Atau sekarang justru layak disebut sebagai wanita itu? Entahlah, aku bahkan tidak melihat seperti apa penampilannya sekarang. Berani taruhan, ia pasti masih sama menakjubkan dan sama bersinarnya seperti dulu. Jika detik ini Tuhan bermurah hati mempertemukanku dengannya, aku akan langsung mengenalinya hanya melalui kepalanya. Bahkan kepalanya pun cantik. Aku selalu diam-diam mengamatinya berjalan di kantin sekolah bertahun-tahun lalu. Di antara jubelan murid lainnya, hanya kepala cantiknya yang tertangkap mataku, melayang dengan senyuman paling mendebarkan yang pernah aku temui.

Setiap awal tahun atau akhir tahun, aku selalu mengamati langit malam. Berusaha menemukan Sirius, si bintang selatan dari konstelasi Canis Major. Bagiku, gadis itu adalah Sirius-ku. Bersinar terang dengan cara yang sama sekali tidak masuk akal. Namun, mungkin malam ini aku belum beruntung. Ada ratusan malam kulalui setiap awal dan akhir tahun yang sama mengecewakannya seperti malam ini. Hanya dalam waktu-waktu tertentu ketika aku berhasil menemukan Sirius, aku merasa ia berada di sampingku. Namun memandangi bintang di atas sana saja tidak cukup. Aku memerlukannya secara langsung. Aku perlu melihatnya dengan mataku dan bukan hanya mimpi. Dia yang nyata. Dia yang terbuat dari darah dan daging.

Berbalik, aku menghempaskan tubuh di atas kursi berlengan di balik meja. Ini Januari, awal tahun. Maka itu artinya buku harianku sebelumnya telah habis, dan harus dimulai dengan buku harian baru. Maka, aku mengambil satu diary dari laci meja dan meraba tulisan inisal namaku di atas sampul hitamnya, AST. Dimulai semenjak aku mengetahui namanya bertahun-tahun lalu, aku menuliskan segala yang aku rasakan dan aku pikirkan dalam buku-buku ini sebagai ganti ketidaksanggupanku untuk sekadar menyapanya. Buku harian yang dibagi menjadi 12 sekat di bagian dalamnya seperti bookmark sebuah kamus. 12, sesuai jumlah bulan dalam setahun. Itu artinya, buku harian ini memang dibentuk sebagai jurnal khusus untuk mencatat setiap kegiatan kita dalam waktu satu tahun. Sebuah konsep yang bagus.

Memasuki diary ketiga, aku sempat kehabisan jurnal ini dari toko buku dan kehilangan akal. Namun Delvin, kakakku, berusaha menemukannya dalam berbagai macam e-commerce dan mendapatkan yang sama persis dengan jumlah stok terbatas. Setelah hari itu, ia memutuskan untuk mengajak temannya bekerja sama memproduksi diary yang sama–dengan sedikit perombakan khusus untukku–agar aku tak lagi susah-susah mencarinya.

Jika kutaksir, mungkin Delvin saat ini lebih tua dua tahun dari Bintang Selatan-ku. Sedangkan aku, lebih muda dua tahun dari wanita itu. Aku tahu, tapi ini bukan seperti skandal seorang bocah kecil dengan kakak seniornya, oke? Aku bahkan nyaris tidak pernah mengobrol dengannya. Aku iri dengan kemampuan Delvin dalam bersosialisasi, bakat yang ia dapatkan dari Papa. Seorang politikus yang pernah terjerat hukuman penjara lantaran kasus korupsi. Catat, poli-tikus.

SEBUT KISAH INI DENGAN SONYA (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang