Luka

7 1 0
                                    

Delvin itu merepotkan sekali. Dia mengganggu weekend yang seharusnya menjadi waktu bersantai dengan urusan teknis kantor. Cecunguk itu mengadakan meeting online bersama divisi paling inti dan mengoceh perihal rencana pembangunan kantor cabang ketiga di Beijing. Aku mendengar diskusi mereka dengan earphone menyumbat telinga, sementara kakiku berlari di atas treadmill gym apartemen. Kubisukan mikrofon perangkatku agar peserta meeting tidak terganggu suaraku yang ngos-ngosan.

Suara denting notifikasi khusus terdengar, seketika membuatku mematikan treadmill. Pasalnya, suara notifikasi khusus itu kuatur hanya untuk kontak Sonya. Wanita itu mengirimiku pesan. Tidak ada kalimat. Hanya sebuah foto.

Dan foto itu adalah depan pintu apartemenku.

"Shit."

Segera, aku hengkang dari gym dan berlari secepat kilat menuju lift. Menekan tombol lantai yang akan kutuju. Aku terus berlari melintasi lorong hingga dapat kurasakan rambutku bergerak tertiup angin dan membuat keringatku menetes ke mana-mana. Sampai di depan pintu apartemen, Sonya berdiri bersandar pada dinding seraya membawa paper bag besar berlambang roti.

"Hei!" sapaku. Kusadari bahwa senyumku merekah seraya berusaha mengatur napas. Aku tidak menyangka Sonya akan benar-benar mendatangi alamat yang kuberikan padanya setelah malam memalukan itu. Di mana aku memeluknya di parkiran rusunawa dan mengakui bahwa pernikahanku sama sekali tidak memiliki cinta.

Melihatku yang muncul basah kuyup oleh keringatku sendiri, Sonya mengangkat paper bag sebagai respons sapaanku baru saja. Lantas, kuketik kode akses dan membuka pintu apartemen lebar-lebar. Kupersilakan ia masuk terlebih dahulu. Kepalanya tertoleh ke kanan dan kiri sibuk memindai suasana begitu ia masuk lebih jauh.

"Sepi amat. Mana yang lain?"

"Yang lain?" tanyaku sangsi.

"Your wife... maybe?"

"Oh. Enggak. Apartemen ini khusus aku buat tinggal sendiri. Grace ada... di rumah."

"Oh." Wanita itu berjalan menuju dapur dan mencari piring untuk meletakkan brownies yang ia bawa sebagai buah tangan. "Padahal aku bawa jajan karena bakal mengira apart kamu ada orang selain kamu loh."

"Dih, kenapa kesannya kamu kecewa banget gitu?"

Gelak tawa Sonya menguar ke seantero ruangan. Sementara itu, aku menghilang di balik pintu kamar mandi dan membersihkan diri secepat yang aku bisa. Kutarik kaus putih polos di lemari dan mengoleskan sedikit parfum, sebelum beranjak keluar kembali ke ruang tamu. Sonya tengah berdiri mengamati foto-foto yang tergantung di dinding, jemari tangannya menyusuri figura yang berdiri di atas meja nakas. Bergegas menyusulnya, kutelungkupkan terbalik salah satu figura agar tidak tertangkap penglihatannya.

Menyadari tingkahku yang mencurigakan, Sonya berbalik dan berdiri tepat di hadapanku, berusaha merebut figura yang kulindungi. Kurasa wanita ini tidak ingin menyerah. Maka, kubiarkan Sonya menyambar figura tersebut untuk ia amati. Aku menunggu komentarnya yang menanyakan mengapa aku bersikap begini. Namun, Sonya hanya mendesah dan meletakkan kembali figura itu.

Dia benar-benar misterius.

"Jadi, kenapa kamu-"

"Dua hari lalu aku hadir ke workshop bertema hukum di balai kota. Aku papasan sama cowok berjaket hitam. Aku familier sama lambang di belakang jaketnya. Tapi, aku nggak menemukan petunjuk atau ingatan apa pun."

Kuangkat sebelah alis mendengar penjelasannya baru saja.

"Oke. Ada gambar?"

Kepalanya menggeleng pelan. Itu berarti jalan buntu. Namun, aku terpikirkan hal lain. kuambil laptop di dalam kamar dan menyobek selembar kertas dari notebook, beserta pensil yang dapat kutemukan di meja kerja. Kuminta Sonya untuk mengikutiku dan duduk di atas sofa.

SEBUT KISAH INI DENGAN SONYA (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang