TLE 2

256 34 37
                                    

Seekor burung bertengger di ranting pohon paling tinggi. Daun yang tidak lebat memberi celah mata tajamnya memandang bebas ke bawah. Ukurannya sebesar burung gagak, tetapi ia memiliki sayap yang lebih besar. Itu adalah seekor peregrine falcon melihat bagaimana ciri fisiknya. Tubuhnya diselimuti bulu yang didominasi perpaduan hitam kelabu dan biru. Berparuh kuning besar dengan ujung lancip yang hitam. Bagian dada dan perut diisi lebih banyak warna putih dengan garis-garis hitam. Ekornya yang pendek menjadi pelengkap untuk mengetahui jika ia bukanlah elang. Namun, sang alap-alap kawah atau yang biasa disebut falkon itu selalu menyamakan diri dengan sang predator udara. Baiklah, jangan ingatkan ukuran tubuhnya yang hanya sebesar gagak. Karena dia benci itu!

Falkon itu bergerak turun ke ranting lain. Tatapannya bergerak mengikuti sesuatu yang melompat-lompat di tanah. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk menerkam buruannya, tapi saat itu datang matanya menangkap presensi hewan lain.

Serigala pengganggu! batinnya.

Sayapnya melebar, tubuh depannya condong ke depan. Tatapannya penuh intimidasi. Ia memandang kelinci buruannya dan rivalnya secara bergantian. Sadar jika keberadaannya telah terdeteksi oleh sang lawan, ia membuka sayapnya lebih lebar dan turun dengan kecepatan kilat. Jarak begitu menguntungkan baginya, tapi siapa sangka serigala yang juga sudah berlari malah mengeluarkan auman. Sang mangsa menjadi sadar akan bahaya hingga berusaha melarikan diri.

Sang falkon tidak habis kesabaran, ia memutar arah ingin menuntaskan masalah lebih dulu. Mulut serigala hitam terbuka lebar saat ia menghadangnya. Sebelah tangan itu mengais udara tetapi sang falkon dengan lihai menghindar. Ia berhasil menancapkan paruh di bulu hitam-lebat itu, tapi arah yang ia ambil terlalu jauh. Siapa sangka sang serigala meninggalkannya di belakang dan dengan curang mengejar target seorang diri.

Tidak ingin kalah saing, burung itu mengepak sayap lebih cepat. Sayangnya begitu posisi keduanya sejajar, mulut serigala itu sudah menahan buruan mereka. Ia kalah telak. Memekik karena marah, sang falkon turun dengan cakarnya, itu sangat tegas saat menargetkan punggung sang lawan. Ia mengikis bulu bagian atas, tapi belum sempat cakarnya menyentuh daging, sang serigala balas menerkam.

"Sialan! Kembalikan buruanku!"
Burung itu mengoceh sembari berusaha meraih mangsanya, tapi ia terus dibuat terbang ke atas oleh cakar tajam sang serigala.

"Tidak ada yang mengikat hewan di hutan ini milik siapa. Aku yang lebih dulu menangkapnya." Serigala itu menjawab dengan tenang, masih terus mempertahankan posisinya.

"Kau mencuri milikku!"

"Ambil kalau kau bisa."
Sang serigala berlari menembus semak, gerakannya cepat namun media tanah yang tidak rata telah merugikannya. Ia unggul beberapa saat, tapi sang falkon masih dapat menyusul.

Kali ini cakar sang falkon benar-benar menancap di kulitnya. Warna merah mengotori permukaan lain begitu tautan menyakitkan itu terlepas. Kelinci di mulutnya terjatuh saat ia mengerang. Ia kecolongan, sang falkon berhasil merebut buruannya.

Sedikit pasrah ia tidak memberi perlawanan berarti, tetapi mulutnya sempat meraih beberapa helai ekor sebelum burung itu terbang jauh. Ia meringis karena denyut perih di punggungnya. Sebelum burung itu benar-benar menghilang, ia sempat berkata, "sayang sekali." Anehnya suaranya tidak terdengar kecewa. Malah ada kesenangan lain dalam kalimatnya. Ia memandang burung itu hingga tak terlihat. Ada beberapa helai bulu yang hilang di bokong sang falkon. Entah kenapa pemandangan itu sedikit menggelitik.

The Last Elementis |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang