Masalah Aletta bukanlah sesuatu yang rumit, harusnya. Namun, Camelia sudah membuang tenaga yang tidak sedikit dalam usahanya. Setelah membuat otot-otot lengannya kebas karena cermin sialan itu, kini ia nyaris membuat kakinya terkilir. Camelia benci mengatakannya, tapi ... lagi-lagi penyebabnya karena cermin itu!
Ia mengambil istirahat panjang tentu saja untuk melerai lelah, yang ia isi dengan duduk merenung di bibir danau. Cukup dramatis mengingat suasananya; danau panjang terbentang dengan refleksi langit yang jatuh tepat di semua sisi, hamparan daun-daun gotu kola mengisi bibir danau dengan tinggi seragam dan lebarnya terlihat seolah sengaja dirangkai, dan jangan lupakan sebaran cermin-cermin yang memenuhi permukaan tanah membuat Camelia merasa sedang berada di atas awan karena cermin-cermin itu juga memantulkan gambaran langit. Namun, semua itu buyar saat ia berdiri dan mengumpulkan niatnya kembali untuk mengambil daun-daun yang menjadi targetnya sejak tadi. Bak berada di atas panggung gelap, Camelia hanya menoleh sebentar ketika jutaan cahaya sudah menghujani pandangannya dengan kecepatan yang tak tertebak. Sayang sekali Itu bukan lampu sorot jadi Camelia tidak akan menunggu suara tepuk tangan!
Camelia refleks menutup mata. Ia mengira akan kehilangan penglihatan saat itu juga. Siapa sangka, begitu ia mengintip dari balik jemarinya, rupanya cahaya-cahaya itu berasal dari cermin yang memantul. Tidak kuasa menahan tekanan di matanya, Camelia mundur untuk menghindari sengatan perih itu. Namun, medan yang tidak rata membuat sisi lain pijakannya menempati ruang kosong. Beruntung dengan kesigapannya, ia berhasil memutar tubuh dan mendarat dengan tidak anggun di antara rimbunnya daun-daun gotu kola. Salah satu Boots yang ia kenakan sedikit melorot. Celana kulit dan tangannya mungkin tercoreng oleh tanah becek, tapi setidaknya ia tidak menggiling kakinya. Semua aman dan yang paling penting ia mendapatkan apa yang ia cari.
"Wah! Apa ini lucu?" Camelia bergegas berdiri. Membersihkan bercak tanah di tangannya dengan raut kesal. Ia menatap cermin-cermin itu dengan sinis. "Kalian mempermainkanku?!"
Pikiran tentang menghanyutkan semua benda itu ke danau baru saja terlintas. Namun, gambaran wajah murka Aletta yang baru saja muncul di kepala membuat ia segera mengurungkan niatnya. Camelia beralih memandang hamparan tanaman gotu kola. Ia mengembuskan napas berat.
"Baiklah, mari ambil ini dan pulang."
Sejak tadi ada sesuatu yang mengganjal di gigi Camelia yang terus berusaha ia lepas. Camelia menduga itu biji buah bunga kencana yang masih tertinggal di mulutnya. Namun, dendamnya pada cermin-cermin ini membuat ia lupa sejenak. Seandainya tidak memberi kesan buruk, Camelia mungkin akan berinisiatif menggunakan salah satu cermin itu untuk membantunya melepaskan. Namun, lupakan saja. Camelia sangat tidak sudi!
Benar-benar pagi yang menjengkelkan, pikir Camelia. Ini tidak ada bedanya dengan saat belasan tahun lalu ketika ia terus gagal membidik anak panahnya. Sungguh sangat menyebalkan! Camelia sampai menghindar, merasa enggan melewati cermin-cermin itu. Pouch kecil berisi daun gotu kola ia masukkan secara kasar ke dalam tasnya. Masih dengan suasana hati yang buruk, Camelia mengambil anak panah yang tersampir di pundak lalu mencari busur di antara jutaan isi tasnya. Tanpa mengukur ke mana target yang akan ia ambil, Camelia menarik tali busur dengan kuat. Seolah semua kebencian ia tumpuk di ujung anak panah, pundaknya menjadi ringan dan sesak di dadanya perlahan berkurang begitu anak panah itu melesat jauh ke depan. Sensasi kepuasan seketika mendominasi. Salah satu sudut bibirnya akhirnya ditarik.
"Waktuku terbuang banyak pagi ini." Gemuruh di perut Camelia terdengar. Ia bahkan melihat ada celah di antara korset yang menempel di pinggangnya. "Ah aku bahkan belum sempat sarapan."
Camelia menoleh kembali pada tanah penuh sebaran cermin. Tatapannya melembut kali ini. Ia sedang menimbang akan membawa benda itu atau tidak. Camelia tiba-tiba berpikir, pantas saja temannya itu tidak kunjung kaya, apa semua uangnya ia dedikasikan untuk cermin-cermin ini? Kualitas kayu yang membingkai benda pipih itu bahkan tidak biasa! Rasanya tidak sudi melukai tangannya dengan bobot cermin paling besar. Namun, di sisi lain, amarah Aletta tidak akan mampu ia tanggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Elementis |
FantasyTerlahir sebagai yang tidak dapat mengolah sihir, tidak menjadikan Camelia larut dalam keputusasaan. Di balik titik lemahnya, dorongan sebongkah semangat menuntun Camelia menggali semua potensinya. Garnisun garda terdepan telah menjadi cita-citanya...