"Jadi Nda kerjanya jauh? Nggak bisa makan siang sama Zira lagi?"
Bocah di atas pangkuan Tata terus saja berceloteh, bahkan saat sang ibu baru pulang dari tempat kerja barunya. Sekarang mereka sedang berada di rumah Mala karena Zira terpaksa harus dititipkan ke sana.
Ketika Tata bekerja di kafe, sebenarnya gadis kecil itu terbiasa sendiri. Jika sekolah pun Zira selalu pulang ke rumah dan setelah itu menunggu sang ibu untuk makan siang bersama atau terkadang menyusul sang ibu bekerja karena memang jarak antara kafe dan rumah hanya butuh lima menit jika berjalan kaki. Namun, kali ini Tata tak bisa memantau anaknya dan memilih orang tua angkat Mala yang ia repotkan meski kedua orang tua itu selalu antusias jika Azira datang.
"Iya, nggak apa-apa kan, kalau nda kerja di tempat jauh?" balas Tata sambil mengusap rambut yang sudah dikepang kecil-kecil. Jika di tangan Mala, maka anaknya akan jadi bahan eksperimen apa pun. Baju, riasan sampai rambut pun tak akan tergerai seperti biasa.
"Nggak apa-apa," jawab bocah itu sambil memakan buah yang sedang dipotong-potong Mala.
"Sini makan dulu, Ta. Ibu buat gudek sama ayam goreng tadi," celetuk Ani. Wanita dewasa berusia 50 tahun itu seperti malaikat bagi Tata.
Saat ada di titik terpuruk, Bu Ani dan suaminya yang tak henti-henti memberi dukungan. Bahkan jika tak ada mereka mungkin Azira sudah keluar dari rahim Tata sejak usia dua bulan. Wanita berperawakan gemuk dan sedikit pendek itu ikut bergabung duduk di sofa bersama Tata, Zira dan putri angkatnya, Mala.
Dulu, Tata sempat berpikir kalau Mala adalah gadis malang yang ditinggal orangtuanya sejak masih bayi, lalu Mala diadopsi oleh pasangan yang tak dikaruniai anak. Tetapi sekarang, terkadang Tata merasa iri dengan Mala yang begitu bahagia karena berada di tengah keluarga yang penuh kasih sayang. Sedangkan dirinya, bahkan satu-satunya keluarga yang masih ada tak mau menerima kehadirannya.
"Nggak usah, Bu. Aku tadi udah makan," ujar Tata yang langsung mendapat cebikan tipis oleh wanita gempal itu.
"Nggak mungkin. Jangan bohong ih, ibu tahu pasti pas disuruh pulang sama bosmu, kamu langsung ngacir ke sini. Mana sempat makan dulu. Iya kan?" desak Ani begitu yakin.
Tata menyengir sedangkan wanita yang sejak tadi duduk di sampingnya terkekeh mendengar introgasi Bu Ani.
"Lo lupa, Ta. Ibu gue kan, punya indera ketujuh. Jangan main-main pokoknya kalau ngomong sama Ibu," bisik Mala meski ia tahu kalau ibunya yang duduk di single sofa mendengar hal itu.
"Hush, kamu itu. Ibu cuma nebak kalau tebakkannya bener itu namanya firasat kuat seorang ibu sama anak-anaknya." Bu Ani beralih menatap Azira yang masih sibuk memakan buah setelah menegur anaknya.
Tata tertegun sebentar. Entah kenapa kalimat enteng tanpa beban yang dilontarkan Bu Ani membuat hatinya menghangat. Sepertinya bukan hanya Mala yang diangkat jadi anak oleh pasangan tua itu, tapi Tata pun merasa menjadi seorang anak setiap kali berada di tengah-tengah mereka.
"Ayo Ta, makan siang dulu. Besok kan, makan siangnya di kantor," imbuh Bu Ani lagi.
"Ayo, Nda! Nenek tadi masak ayam goreng krispi." Azira memekik antusias sambil turun dari pangkuan Tata.
Mereka berempat akhirnya menikmati makan siang dengan suasana berbeda. Tata sesekali akan tertawa saat Azira bercerita tentang hal apa pun, tak jarang menceritakan bocah laki-laki yang menjadi tetangganya sebulan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketuk Di Sini. (Republish)
ChickLitSejak awal Tata sadar keputusan yang ia ambil adalah sebuah kesalahan. Namun, melihat sang putri yang saat itu membutuhkan biaya rumah sakit, membuat Tata menutup mata dengan segala kesalahan yang ada. Tata pikir semua akan baik-baik saja saat tungk...