1. Al-Hafidz

130 37 24
                                    

Bulan puasa merupakan sebuah ketenangan, seolah daun-daun pun ikut bersujud, bintang-bintang berarak melantunkan zikir lewat pendar cahayanya di gelap malam, menyaksikan ratusan bahkan ribuan umat Rasulullah berbondong-bondong menuju rumah Allah. Untuk apa yang dipandang mata, wajah-wajah itu teduh bersandar pada Allah. Namun, sungguh ... apa yang terbesit atas niat kepada siapa ia tertuju, hanya menjadi rahasia ilahi semata. Satu hal yang harus diyakini, bahwa Allah akan memberikan balasan seperti apa yang hamba-Nya niatkan. Innamal a'malu binniyah, segala perbuatan tergantung kepada niat.

Hidayah mudah diraih di bulan suci, sabda nabi mengatakan bahwa para jin dan setan dibelenggu. Namun, sejatinya lingkungan pun amat berpengaruh. Persis seperti seorang gadis yang kini sedang telentang di atas kasur berbalut seprai yang nyaman, dahulunya dia pernah larut dalam indahnya iman, senantiasa melewati menit dengan hati yang mengerucut pada ibadah-ibadah. Sayangnya, dunia fana telah menariknya keluar dari ketaatan.

"Laila!"

Mendengar suara ibunya melengking, gadis itu mendesis pelan, tubuhnya memaksa ingin terus berada di sana, mungkin lebih tepatnya lagi-lagi rayuan setan telah menjerembapkan dirinya dalam kemalasan. Dia tahu, ibunya meneriaki dirinya untuk segera berwudu dan bergegas ke masjid sementara suara azan sudah terdengar di bait-bait terakhir.

"Laila, mana kamu?"

"Iya-iya, ini baru mau turun, Ma!" Dengan embusan napas berat dia beranjak, mengambil wudu dengan sembarangan. Dia tahu ilmunya, tetapi lupa cara mengamalkannya. Dahulu dia ditemani Qur'an dan tasbih, sekarang ... dua hal itu hilang dan tergantikan dengan sebuah benda persegi—ponsel.

"Males banget rasanya mau tarwih! Mau tidur aja, perut gue kayak kembung abis makan, apa gue pura-pura sakit perut aja kali, ya?" katanya sambil mencak-mencak, tetapi tetap melangkah meraih mukenah merah muda bermotif bunga dihiasi renda. "Dulu, bahkan sholat sunnah pun gak pernah gue tinggalin. Sekarang rasanya bahkan sholat wajib pun terasa berat, sejauh itu gue sekarang. Tapi, mau gimana lagi?"

Laila pernah mendekam di pondok pesantren, bahkan telah memahfuzkan beberapa juz, tetapi tidak khatam. Lepas dari sana, dunia luar benar-benar mengubahnya. Sosoknya kini jauh dari taat, sekadar menunaikan salat wajib tanpa wirid, berdoa hanya dengan Al-Fatihah, ayat-ayat suci berdebu tak pernah dibelai. Pergaulan telah menariknya jauh dari Allah. Ilmu-ilmu agama yang dia tahu hanya terus bertengger di otak, sebagiannya lagi telah hilang dikekang waktu. Beberapa kali hatinya terketuk untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi ... tubuhnya tak bisa berkompromi. Bisik-bisik setan selalu berhasil menggoyahkan, pun Laila sadar, salah satu faktornya adalah lingkungan.

"Laila, udah mau iqamah, loh!" Ibunya kembali berteriak, "Mama udah mau jalan ini, awas aja kamu gak Mama liat di masjid, ya."

"Iya, Ma! Ini Laila juga udah mau jalan!" balasnya. Dia masih termenung menatap wajahnya di balik cermin disertai penggalan ingatan bagaimana jilbabnya bahkan nyaris menyentuh lutut, kakinya berhias kaus kaki, dan pandangan yang selalu menunduk. Amat berbanding terbalik dengan sekarang, celana jeans, lengan baju digulung nyaris sampai siku, dan bahkan Laila sudah sering berpacaran. Suara iqamah yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan gadis itu, dia berlari sembari menenteng sajadahnya menuruni tangga. Beruntung, masjid hanya berjarak lima rumah dari rumahnya.

"Sial-sial, gak mau masbuk!" desisnya di tengah derap langkah. Suara pintu yang dibanting cukup keras, Laila tak peduli, dia terus berlari menuju gerbang dan kembali menutupnya mengingat rumahnya kosong. Setelah tertutup rapat, Laila dengan jantung yang berdegup kencang mendengar iqamah nyaris selesai, kembali ingin memacu langkahnya. Namun, ketika dia hendak berbalik, dia justru kembali terpental ke belakang hampir jatuh. Seseorang menabraknya. Tidak, Laila yang menabrak seseorang itu.

"Aw!" Dia meringis, punggungnya mendarat dengan sempurna di gerbang yang terbuat dari besi itu. "Lo kalo jalan liat-liat, dong!" Laila tak peduli jika yang ditabraknya adalah seorang ibu-ibu.

"Maaf, aku gak liat. Lagian kamu keluar dari rumah kayak maling, buru-buru."

"Ya, karena udah iqamah! Lo tuli?" Laila membalasnya sengit. Dia kesal, tetapi ketika dia mengangkat pandangannya dan melihat siapa pemilik suara yang teduh itu, dia terperangah. Bibirnya tiba-tiba terasa kelu dengan titik pandangan yang tidak bisa dia alihkan. Sepersekian detik, melupakan bahwa imam di masjid telah mengucapkan takbir, kini Laila mulai merajut kata. "Ayman?"

"Sekali lagi maaf, aku buru-buru." Lelaki bersarung hitam polos dengan satu garis putih di bawahnya melenggang pergi, meninggalkan Laila yang masih saja mematung.

Semerbak wangi yang menyejukkan masih tercium bahkan ketika Ayman telah menjauh dari sana. Sungguh, Laila terus terbayang rahang tegas tanpa senyuman, sorot mata yang dalam dengan alis yang seakan dirajut tanpa celah. "Gila, ganteng banget! Kapan dia pulang? Ah, urusan nanti. Pak Imam! Tungguin gue." Laila kembali berlari, kata 'amin' terdengar riuh serentak dari luar masjid. Tanpa pikir panjang lagi, Laila merentangkan sajadahnya di saf paling depan.

Napas Laila masih tersengal, beberapa detik setelah takbiratul ihram, imam sudah rukuk. Beruntung Laila tidak masbuk, tetapi di posisinya sekarang, bohong jika Laila tak melihat di saf laki-laki paling belakang berdiri seseorang yang telah ditabraknya tadi. Ayman. Muhammad Ayman Ramadhan. Salat Laila tak khusyuk, pikirannya beberapa kali berkelok pada lelaki itu.

Hatinya entah kenapa menginginkan Ayman merasakan hal yang sama dengannya, sebuah perasaan menggebu-gebu setelah saling menatap barang sekejap, mengingat fakta bahwa mereka dahulunya semasa kecil merupakan sahabat. Laila ingin Ayman mengingatnya dan tidak menyangkal bahwa sebelum dia memutuskan untuk masuk pesantren, ada kedekatan yang cukup intens di antara mereka. Lila bertanya-tanya dalam hati ketika salam baru saja diucapkan, sejak kapan Ayman pulang dari asrama?

Laila tak memperhatikan wirid yang dipimpin imam, bahkan sederet doa sekalipun. Dua rakaat setelah isya dia kerjakan dengan pikiran melayang, Laila jauh dari kata tumakninah. Namun, seluruh atensinya kembali diraih oleh ketua panitia masjid yang mengumumkan sesuatu di mimbar sana. "Kita sudah memasuki malam keenam belas, bulan ramadhan sudah berada di pertengahan. Mulai hari ini, ada sedikit perubahan bahwa sholat tarwih akan dipimpin oleh ananda kita, Muhammad Ayman Al-Hafidz."

Al-Hafidz. Kata itu berada di belakang namanya, itu berarti Ayman sudah khatam. Dia sudah 30 juz. Sudah sangat jauh untuk bisa gue gapai. Laila berkata dalam hati. Pikirannya meringis, baru saja dia membayangkan banyak hal indah, tetapi sudah dipukul mundur oleh kenyatan.

Dia akan mencari yang sama dengannya, dan yang pasti bukan gue.

Kuntum Cinta [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang