Gelap mulai mendominasi, lagi dan lagi entah sudah malam ke berapa Lila menemukan nikmatnya ibadah sendirian di antara dinding-dinding kamar yang tenang, tidak ada riuh sama sekali. Usai melewatkan hari dengan menyelami kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha yang menyentuh hati, Laila kini jadi tak bisa lekang dari narasi-narasi ketika Zulaikha kembali bertemu dengan Nabi Yusuf, ketika wajahnya kembali dan semakin berseri, ketika matanya yang selalu basah oleh tangis itu kembali bisa memandang keindahan Nabi Yusuf. Mata Zulaikha kembali melihat atas izin Allah dan membuat banyak pendeta masuk Islam. Sungguh, bahkan sebelum bertemu Zulaikha pun Nabi Yusuf telah dihantui mimpi adanya seorang wanita tua yang meminta tolong.
"Begitu erat hubungan yang dibuat Allah untuk mereka." Laila berkata lirih, di tangannya terdapat mushaf yang siap untuk dilantunkan. Namun, sebelum itu Laila kembali teringat satu kalimat yang paling membekas di benak Laila ketika Zulaikha berkata, "Aku nodai cintaku dengan hawa nafsu dan syahwatku." Dalam hati Laila meringis, persis seperti dirinya. Yang diagung-agungkan rupanya hanya cinta berdasar pada keegoisan dan nafsu.
Laila menunduk, mendekap mushaf itu. "Ampuni hamba, ya, Allah ...." Menangis cukup lama, bibir Laila mulai melafalkan basmalah. Pintu balkon dibiarkan terbuka, Laila merasa hawa malam ini begitu tenang, tidak gerah juga tidak begitu dingin. Laila bahkan tak menyalahkan pendingin ruangan, sesekali diliriknya ranting pepohonan yang tampak dari balkon, dedaunannya tidak bergerak sama sekali meksipun Laila merasa ada sepoi angin mengerjapnya pelan. Laila tak ambil pusing, dia meneruskan tadarusnya.
Berselang beberapa menit, gema azan di masjid berkumandang. Namun, entah mengapa hati Laila lebih condong untuk merayu Tuhan seorang diri, di antara kesyahduan. Laila kembali mengambil air wudu dan mendirikan salat isya, lantas lanjut ke tarwih dan witir. Tiba-tiba sejam berlalu begitu saja, terasa amat singkat ketika Laila masih sibuk menenggelamkan diri dalam kekhusyukan.
Usai witir, Laila kembali larut dalam zikir, seribu salawat telah melangit. Masih belum ada niat untuk beranjak menyapa bantal. Di tengah zikirnya, dia bergumam dengan tatapan ke balkon yang masih terbuka. "Malam ini kenapa terasa begitu tenang? Apa karena efek iman yang bertambah setelah mengarungi Zulaikha? Zulaikha yang ketika dia benar-benar mengejar cinta Allah, jangankan hati Nabi Yusuf, wajahnya bahkan kembali muda dan dari buta bisa melihat lagi? Sungguh, aku sekarang begitu meyakini bahwa jika Allah telah dekat dengan kita, keajaiban-keajaiban lain akan menghampiri," gumamnya pelan. Kegelapan di luar sana menyakitkan kesunyian yang tenteram.
"Ah, tapi rasanya malam ini emang beda banget. Aku bahkan enggan untuk beranjak, biasanya jam segini aku udah ngantuk, tapi ini rasanya masih terlalu damai dan aku masih ingin di sini," lanjutnya. Matanya kini memejamkan mata, meresapi ketenangan tiba-tiba yang benar-benar menjalar merasuki pembuluh darahnya. Seolah bising gesekan denting daun pun tak terdengar, tidak ada suara jangkrik, nyamuk pun rasanya tak berkeliaran malam ini. Hingga akhirnya satu pikiran yang hadir tanpa diundang mengacaukan ketenangan itu. Ayman.
Namanya sekali lagi terbesit, sekuat tenaga Laila berusaha mengenyahkan wajah lelaki itu yang tiba-tiba terbayang, tetapi nihil. Senyumnya menari di pelupuk mata Laila. Dengan segenap hati, Laial menengadah tangannya dan mengecap seutas doa. "Ya, Allah, jika memang Ayman-lah takdirku, dekatkan dia dengan cara yang engkau ridhoi. Namun, jika bukan dia orangnya, hapuskanlah perasaan ini. Hamba percaya akan takdir-Mu."
Mujarab. Sesampainya doa itu, Laila kembali meraih tenangnya malam itu, tenang yang asing, tenang yang belum pernah dirasakan Laila. Tenang yang mengirimkan getaran dalam hati untuk senantiasa beribadah. Hati Laila berbahagia, tenang, damai, ketika dia telah benar-benar berpasrah diri pada sang Pengatur Takdir.
•••
Ceramah singkat subuh baru saja selesai, setelah tertidur dalam keadaan masih memakai mukenah, Laila terdorong untuk menyapa subuh di masjid sembari menenteng buku Mahabbah untuk dikembalikan pada Nayla. Kali ini, Laila telah menjamin kemurnian imannya, bahwa tidak lagi tertoreh nama Ayman. Gadis itu bahkan tidak ingin terlihat mencolok. Dia berjalan dengan menunduk di balik balutan mukenah biru tua, memilih tempat paling belakang tanpa berusaha mencari dua temannya terlebih dahulu, dia hanya berniat menghampiri mereka ketika hendak pulang nanti.
Suara Ayman dengan nagam jiharkah masih lembut menyelami pendengaran Laila ketika sedang salat tadi. Akan tetapi, tidak ada lagi perasaan yang menggebu di hati Laila, dia berusaha menekannya sebaik mungkin dan berusaha menyempurnakan gerak dan lafal bacaannya. Ketika doa subuh telah dipanjatkan dan orang-orang bersiap pulang, Laila tersenyum ketika mendapat Nayla dan Aira melambai.
"Akhirnya ke masjid juga kau, betah banget di rumah," seru Aira, menyenggol lengan Laila.
"Gapapa, aku lagi senang sholat di rumah aja," timpalnya.
"Eh, udah paka 'aku'?"
"Is, Kak Aira, jangan ditegur perubahan baik dari seseorang." Tatapan Nayla menohok Aira yang hanya tersenyum tak enak menanggapi.
"Maaf, ngomong-ngomong, aku harus pulang duluan, ya, mamaku mau buat kue." Lantas setelahnya, Aira beranjak lebih dulu.
Setelah Aira menghilang dari balik pintu masjid, Laila juga adiknya Ayman itu turut menyeret langkahnya meninggalkan masjid. Laila tak lagi memperhatikan apakah Ayman masih di dalam atau sudah pulang, dia meluruskan langkahnya pulang ke rumah.
"Ini bukunya. Aku sampai nangis pas Zulaikha ketemu Nabi Yusuf setelah tiga puluh tahun pisah."
"Katanya, sejauh apa pun terpisah, serumit apa pun jalannya, jika Allah telah berkehendak untuk menyatukan, cukup kun fayakun maka semuanya akan terjadi."
"Tingkat kepercayaanku untuk kalimat itu melebihi percayaku pada diriku sendiri. Sepercaya itu aku dengan Tuhanku sekarang."
Nayla tersenyum begitu lebar, matanya nyaris memanas melihat sosok Laila yang berbeda hari ini. "Kak, terima kasih, aku seneng banget liat Kak Laila hari ini. Auranya juga semakin keluar, ih, Kak Laila cantik banget!"
"Kesempurnaan hanya milik Allah. Aku yang berterima kasih untuk semua nasihat yang aku terima dari kamu. Satu hal lagi, tolong sampaikan terima kasih dariku untuk Ayman, juga ... maafku." Aku sudah ikhlas ..., sambungnya dalam hati.
Di tengah langkah mereka yang beriringan, matahari menyapa lembut. Tidak ada rasa menyengat sama sekali, terkesan begitu damai dan hangat. Laila menatap pendar mentari itu, entah dia menyadari atau tidak, tetapi sinarnya kali ini memang lebih lembut dan tidak begitu panas. Cahayanya bahkan kemerahan, seolah menyerupai pipi istri rasulullah yang mendapat julukan Khumairah, Aisyah R.A. Laila tak ingin menutup wajahnya, dia berkata begitu lirih, "Hasbunallahu wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man-nasir." Diiringi senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuntum Cinta [TERBIT]
AléatoireJuara 🥈dalam Event Writing Marathon Serambi Kata Ramadhan bersama Book Office It's a Novelette 💐 Perasaan 'riya' seringkali menggerogoti hati tanpa sadar. Bibir mengucap karena Allah, tetapi hati justru mengharap sesuatu yang lain. Kehadiran imam...