Mentari mulai menampakkan diri memikul pendar kehangatan. Ufuk barat sarat oleh cahaya jingga, matahari terbit memang tak kalah indah oleh yang ingin berlabuh di sore hari. Katanya, justru matahari terbit membawa harap dan matahari tenggelam membawa asa pergi. Bukan tentang matahari, tetapi memang sejatinya tiap hal punya waktu untuk hadir dan pergi. Teringat pada seutas kalimat Ayman di bukunya hari itu; bahwa mencintailah sewajarnya—dalam hal apa pun itu—sebab semua akan pergi, akan hilang, entah kita yang akan ditinggalkan atau kita yang meninggalkan. Sungguh, yang kekal hanyalah sang Maha Esa.
Dua gadis itu kini menyeret langkahnya dengan pelan, seolah dua kakinya itu enggan untuk berkejaran lebih intens, mereka menyambut sentuhan fajar di permukaan kulit. "Kak Laila," panggil Nayla memecah keheningan. Dia bimbang hendak memulainya dari mana, ada rasa tak enak hati yang mendera, tetapi dia sadar harus menyampaikan ini.
"Kak, aku mau ngomong. Aku sebenarnya enggak lupa tadi, cuma gak enak kalau masih ada Kak Aira."
Laila berbalik menatap adik sang pujaan hati. "Tadi memangnya mau ngomong apa?"
Sebelum memulai, Nayla tersenyum hingga menampilkan deretan giginya yang bersih. "Maaf sebelumnya, ya, Kak Laila, tapi aku harus sampaiin ini."
Dahi Laila hanya mengernyit tanpa bersuara, meminta Nayla untuk melanjutkan kalimatnya di tengah langkahnya yang semakin terasa pelan, nyaris tak bergerak.
"Jadi, tuh, sebenarnya ... untuk kita perempuan, saf paling baik adalah saf paling belakang. Beda sama laki-laki, saf paling baik bagi mereka, ya, di depan. Mulai besok, kita di saf belakang aja, ya, Kak?" Nayla takut ada kata yang seharusnya tidak terucap, atau bahkan seseorang di sampingnya ini berpikir dia tengah mengguruinya. Nayla berperang dengan pemikirannya yang seperti ini. Namun, sekali lagi dia teguhkan dalam hati bahwa hal itu harus sampai ke Laila, ini amanat baginya.
Kali kedua si Nayla tiba-tiba nasehatin gue. Padahal dulu juga kita sering di depan, kenapa baru sekarang dia ngomongnya?
Melihat Laila yang tak merespons dan hanya menatap kosong ke depan, dia berusaha untuk melanjutkan kalimatnya. "Satu lagi, nih, Kak. Kak Laila pernah pacaran?"
Laila mematung di tempat, kakinya terasa kebas untuk melanjutkan langkah. Hah, loh? Bahkan kalimatnya dalam hati pun tak bisa lagi Laila tata. Pasalnya, masalah pacaran yang terungkap lewat kemunculan adik mantan itu, Laila mengiranya hanya di antara dia dan Ayman. Semalam Nayla maupun Aira tak memperhatikan kejadian ini, mereka sibuk tertawa. Laila berpikir, lantas dari mana Nayla bisa membahasnya? Apa, iya, Ayman yang bilangin adiknya?
"Kak, katanya—"
Katanya, lagi.
Kedua kalinya Nayla menyampaikan nasihat untuk Laila dan kedua kalinya juga ada kata 'katanya' yang terselip. Laila menyadari hal itu.
"Katanya, tolong ini yang terakhir kalinya Kak Laila pacaran. Sholat taubatlah, dan niatkan dalam hati untuk tidak pernah mengulanginya lagi. Sungguh, Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia akan menerima taubat-taubat hamba-Nya. Kak Laila terlalu mahal kalau hanya dimiliki lewat jalan yang gak ada harganya. Jangankan murah, pacaran itu malah gratis, Kak, bukan murah lagi."
Kalimat-kalimat itu menohok hati Laila, semuanya benar. Laila tahu dan Laila paham, tetapi waktu itu mata hati Laila ditutup oleh kenikmatan sementara. Dalam hatinya semakin yakin bahwa nasihat-nasihat singkat ini, dimulai dari mukenah hitam, aurat sampai dagu, saf belakang, berujung membahas tentang pacaran ini, semuanya ada Ayman di baliknya. Laila meyakininya. Dia pun merasa sederet kalimat yang baru saja dieja oleh Nayla, itu semua berasal dari Ayman.
Ayman memperhatikannya, Ayman ingin dia menjadi lebih baik. Lantas, bisakah Laila menepi perasaannya yang semakin menggebu-gebu untuk Ayman?
"Nay, jujur sama gue. Ayman yang nyuruh lo buat sampain ini ke gue, kan?" desak Laila. Dia tak tahu suduakah benar langkahnya menanyakan ini secara gamblang sekarang juga, rasanya Laila tak sabar lagi jika hanya terus berasumsi dengan segala spekulasi yang tak jelas. Laila ingin tahu kepastiannya.
Wajah Nayla membeku seketika, lambat-laun menjadi pucat pasi. "Kak Laila ...."
"Jujur, Nay."
"Kak, terkadang seseorang berubah karena dua hal. Yang pertama adalah nasihat, yang kedua adalah kejadian. Aku harap Kak Laila berada di opsi pertama. Aku hanya menyampaikan nasihat agar Kak Laila bisa menyadari dan berubah. Itu saja." Nayla masih tampak mengelak, dia berusaha melangkah tetapi pergelangannya dicekal terlebih dahulu.
"Jangan pergi dulu, Nay. Gue tau lo menyampaikan nasihat ke gue, tapi tolong jujur. Apa yang lo sampaikan itu dari Ayman, kan? Dia yang nyuruh lo buat sampaiin ke gue. Iya, kan, Nay?" Deru napas Laila mulai memburu. Dia begitu meyakini bahwa Ayman memang telah memberikan perhatian-perhatian kecil untuknya lewat Nayla.
Bergeming sesaat, Nayla akhirnya menggeleng, memupuskan harapan Laila. "Enggak, Kak. Cukup petik baiknya. Akan ada waktunya Kak Laila berbahagia dan menikmati betapa indahnya buah dari kesabaran. Pacaran itu ibaratnya berbuka di saat sebelum waktunya, bukankah berbuka di saat beduk berdengung itu jauh lebih nikmat? Dan Allah juga menyimpan rahmatnya di sana."
Rasanya seluruh perasaan Laila meluruh. Perkataan-perkataan yang Nayla lontarkan umpama belati yang memaksa menerjang hati Laila. Namun, bukan perihal pacaran lagi yang mengaduk-aduk imannya saat ini, ada sesuatu yang lebih dari itu dan Laila belum memiliki jalan keluar.
"Nay, gue paham. Tapi masalahnya, itu udah jadi masa lalu. Gue gak pacaran lagi." Laila menjeda sesaat sementara matahari lebih naik lagi. Hawanya yang semula hangat mulai menusuk. Laila lantas melanjutkan kalimatnya, "ini jauh lebih rumit dari sekadar pacaran, Nay. Gue jatuh cinta ... hati gue jatuh ke sosok yang paham agama, ke seseorang yang dekat dengan Allah. Jatuh cinta sebelum halal aja itu udah jadi musibah, ditambah lagi jatuh cintanya ke hamba pilihan Allah."
Nayla menautkan tangannya ke bahu Laila, seolah menyalurkan semangat dan iman. Dengan lirih dia berkata, "Kak, apa kamu lupa Allah maha membolak-balikkan hati? Kamu hanya perlu dekat juga dengan pencipta-Nya, maka jangankan satu ciptaan-Nya, bahkan dunia dan seisinya pun akan mudah untuk kamu genggam. Tapi sayangnya, setelah kita benar-benar mengenal Allah ... tidak ada lagi yang akan kita inginkan kecuali beribadah kepada-Nya."
Laila menatap mata Nayla lekat, ada kilatan cahaya yang terbesit di sana. "Nay ... aku tahu, aku paham."
"Dan seharusnya kamu mengamalkan, Kak. Ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah. Sungguh, orang berilmu yang tidak dibarengi iman itu makanannya setan. Ayo, Kak, berubah jadi lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuntum Cinta [TERBIT]
De TodoJuara 🥈dalam Event Writing Marathon Serambi Kata Ramadhan bersama Book Office It's a Novelette 💐 Perasaan 'riya' seringkali menggerogoti hati tanpa sadar. Bibir mengucap karena Allah, tetapi hati justru mengharap sesuatu yang lain. Kehadiran imam...