The Perfect You are

11 5 0
                                    

"Tidak ada yang tidak sempurna, yang ada hanya manusia yang kurang berusaha."

-----------------------------------

"Semester ini Papa harap kamu mempertahankan juara umum. Pencapaian kamu di semester awal, akan jadi tolak ukur ke kampus mana kamu akan sekolah selanjutnya."

Genius hanya mengangguk sambil berusaha menelan kunyahannya. Baginya menempati posisi pertama bukan hal sulit. Kecerdasan yang seperti turun temurun dari nenek moyangnya seolah jadi kutukan baginya. Hanya karena kamu tidak sesuai ekspetasi para orang tua, maka kamu tidak begitu berarti untuk diperjuangkan.

Sepupu-sepupunya sampai mempunyai dua atau empat pelajaran tambahan setiap pulang sekolah. Bukan karena mereka tidak bisa menerima pelajaran dengan baik, tapi harapan orang tua mereka terlalu tinggi untuk hanya bersyukur di juara sekolah.

"Anak tante Mei dapat beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika bulan kemarin, minggu besok sudah berangkat saja," ucap Mama Gen sambil mengolesi roti tawarnya dengan selai nanas kesukaannya.

"Papa denger, si David akan mulai magangnya di perusahaan pengembangan robot di Jepang," celetuk Papa Gen.

"Gen berangkat dulu."

Setelah berpamitan, Genius segera mencium tangan keduanya dan melenggang berangkat ke sekolah dengan sepedanya.

Hanya butuh beberapa menit untuk sampai di SMA Glory. Dia segera memarkir sepedanya di parkiran belakang sekolah dan masih mempunyai lima belas menit sebelum bel tanda pelajaran dimulai. Langkahnya pasti menuju kelasnya, berikut tatapan beberapa wanita yang secara terang-terangan melihat padanya. Genius sudah terbiasa dikagumi sejak masuk TK, jadi jika banyak gadis tidak berpaling beberapa detik darinya, itu bukan hal luar biasa.

"Gen!" panggil seorang anak laki-laki yang bertubuh bongsor dengan berlari kecil ke arah Genius.

Genius segera berhenti.

"Pagi ini ada kuis," terang Bagas setelah sampai di depan Genius.

Tatapan penasaran Genius segera berubah menjadi sebal. Pasalnya entah itu kuis atau ulangan harian itu tidak pernah menjadi hantu dalam fase belajarnya. Lagi pula dia sudah belajar setiap hari dengan materi yang dua atau tiga kali lebih dulu dibandingkan materi yang disampaikan di kelas.

"Eh, maaf, maksudnya nanti bantuin aku jawab ya, otak aku suka lobet kalau pagi-pagi musti mikir," sahut Bagas begitu melihat mimik wajah Genius.

Genius memeluk punggung Bagas. "It's okay, duduk aja sampingku."

"Nikmat mana yang kau dustakan!" teriak Bagas saking senangnya. Genius hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Sampai di kelas, sebagian besar temannya sibuk membuka buku paket. Sisanya yang tidak begitu peduli dengan rumor kuis pagi itu sama mengobrol dan  menjahili teman yang lain.

Bagas yang panik mendadak rajin, tangannya gemetar membuka bukunya. "Bagaimanapun, paling nggak aku buka buku," gumamnya.

"Belajar secara mendadak tidak akan membuatmu memahami materi."

"Fuc*ing understand! Aku cuman butuh ketenangan. Biasanya pegang buku bisa menenangkan." Bagas hanya bisa gugup memegang buku paketnya.

Alih-alih memberi semangat untuk Bagas, Genius mengeluarkan buku tulisnya. Sebuah buku yang cukup tebal dengan ukuran sepuluh kali sepuluh senti meter.

Januari 2022

Kamu tidak perlu gugup, utarakan apa yang kamu punya dari pemikiranmu. Tidak perlu memaksakan diri terlihat hebat meski perlu. Pada akhirnya orang-orang hanya ingin mendengar banyak kebaikan, prestasi dan kecerdasan daripada kejujuran yang menyakitkan dari ketidaktahuan.

The Monsters [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang