I found the Rainbow

4 3 0
                                    

"Aku bisa tersenyum, mempunyai hari yang sangat cerah (meski di luar hujan deras), asal pesanmu membalas."

--------------------------

Ini perdebatan kesekian sejak Genius dan kakeknya tinggal bersama. Laki-laki yang sudah renta itu bersikukuh masih menyanding istrinya. Terkadang menangis karena sadar istrinya sudah meninggal, anak-anaknya tinggal jauh di perkotaan.

Jika sudah sadar seperti itu, dia akan mendatangi Genius yang termenung di kursi bambu di bawah pohon mangga yang rindang. "Maafkan kakek jika tadi atau kemarin sempat membentakmu," kata beliau.

Genius masih diam dengan berbagai perkiraan dan pemikiran.

"Kamu ngalamun, ya?" tegur Kakek Gen.

"Nggak, kek."

"Kamu tahu, kakek tidak pernah menganggap nenekmu itu sudah meninggal. Dia selalu hidup di hati kakek," ucap beliau sendu.

Genius membantu kakek duduk di dipan tersebut. Lantas keduanya sibuk memandangi arak-arakan awan yang berlatar langit biru. Cahaya matahari sampai terhalang menyinari tanah di bumi.

"Itu cinta, Gen. Banyak yang terang-terangan datang ke sini menawarkan diri menggantikan posisi nenekmu. Tapi pernikahan kakek bukan soal kebutuhan seksual, ini soal hati," ucap Kakek Gen. "Tidak ada yang bisa menggantikan posisi nenekmu. Perdebatan kami masih sering kakek kenang kalau sedang sendirian. Nenekmu itu tidak mau kalah, tapi selalu pengertian, ego kakek ini selalu dimenangkan olehnya."

Genius tidak menanggapi, antara banyak hal yang perlu dipahami ulang dengan kebutuhan kakeknya yang hanya butuh pendengar. Kakek Gen tidak butuh nasehat ataupun pendapat, beliau hanya ingin menceritakan ulang tanpa jeda tentang seorang perempuan yang pernah hadir mengisi hari-harinya.

"Kalau sore begini, nenekmu akan memasakkan ubi rebus, lalu kami makan bersama kopi sedikit gula di dipan ini sambil menyapa orang yang lewat." Cerita beliau masih saja berlanjut. Tidak ada kesedihan, semua terdengar seperti kabar bahagia.

"Kapan-kapan kita ke kebun, Kek. Genius pingin panen ubi seperti waktu kecil liburan ke sini."

Tawa kakeknya terdengar lepas dan senang. "Tentu, hari minggu kita ke kebun. Biar puas kamu menikmati hasil panen."

Sore itu setelah percakapan panjang, keduanya sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Berkat Papa Gen yang memaksa merenovasi dapur mereka, Genius tidak perlu repot menyalakan kompor. Meski dia belum terlatih memasang tabung gas, dan musti meminta bantuan tetangga, tapi kegiatan keduanya cukup mengakrabkan.

Nasi yang masih hangat, sayur kangkung dan bau sambal serta ikan asin memenuhi dapur mereka. Mereka makan sebelum adzan maghrib berkumandang.

"Nanti ikut lah ke surau, ikut ngaji bareng anak-anak lain."

Genius hanya mengangguk, kenikmatan makanan dan rasa lapar yang ia tahan sejak siang karena kakeknya tidak memasak apapun di siang hari. Ia mulai berdamai dengan dirinya. Berada di desa, melakukan berbagai hal dengan cara berbeda, dan banyaknya culture shock yang ia dapat, bahkan aturan-aturan sang kakek yang super ribet menurut Genius, semuanya mulai ia pahami. Rencananya dia akan mengambil kuliah ke tempat yang jauh untuk membalas dendam pada orang tuanya dan teman-temannya. Rasanya ia tidak berkesempatan menjelaskan, beralibi, atas kasus pencurian yang tidak ia lakukan.

Kakek Gen mengenalkannya pada seorang ustadz muda dan beberapa anak muda lainnya yang sudah datang duluan ke surau kecil pinggir desa. Ia masih canggung di usianya yang sudah SMA masih harus belajar membaca Quran dan si cerdas Genius hampir frustasi karena bacaannya yang ternyata tidak ada yang benar, kecuali kemampuannya menghafal huruf hijaiyah.

The Monsters [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang