9

42 3 0
                                    


Aku mempersilakan dia untuk masuk. Dilihatnya Haikal dan Aira masih duduk bersila di lantai beralas karpet bulu berwarna coklat, saling melempar kartu.

Haikal menoleh, melihat siapa yang datang.

"Ngapain Abang malam-malam ke sini?" tanyanya heran.

"Bukannya tadi Abang suruh cepat pulang?" Bang Malik beralasan.

"Kan Chaca udah di rumah. Kenapa Abang nyusul ke sini?"

"Ya, buat jemput kamu lah. Udah jam berapa ini? Ayo pulang!" Haikal tampak mengernyit, heran.

"Tumben," gumamnya. "Biasa juga kalau Haikal pulang pagi, Abang nggak pernah nanyak."

Bang Malik tampak tergugup sendiri. Salah tingkah dengan ucapan Haikal. Lalu memandang ke arahku.

"Duduk dulu, Bang. Chaca buatin kopi, ya?" Aku berusaha menghilangkan kegugupannya. Abangku tersenyum menyambut tawaranku.

"Nggak usah, Cha. Bang Malik buru-buru. Aku juga udah mau pulang kok." Haikal nyerocos sebelum Bang Malik menjawab. "Iya kan, Bang?"

Bang Malik kembali gugup, lalu dengan cepat Haikal merangkul dan menyeret abang angkatnya menuju pintu depan.

Bang Malik berulang kali menoleh ke belakang, melihatku yang sedang mengikuti mereka. Tak ada kata apa-apa selain tatapan dengan tubuh yang tetap terseret oleh rangkulan Haikal.

Abang beradik yang aneh.

****

Aku kembali membuat laporan dan menyerahkannya kembali ke Bu Rini. Seperti biasa, atasanku itu juga menyuruh memberikan sebagian berkas ke kantor Bang Malik.

Kuletakkan tumpukan kertas di atas meja. Dia menatapku dalam seperti biasa. Sakit melihat tatapan seperti itu terus menerus. Apa lagi mendengar tentang perjodohan itu. Tapi aku berusaha tegar, agar dia tak lagi bimbang atau merasa bersalah.

"Hari ini kita makan siang di luar, ya?" ajaknya.

"Chaca makan di aula aja, Bang. Nggak enak kalau dilihat sama yang lain."

"Maksudnya, kamu malu jalan sama Abang?" tuduhnya.

"Justru Chaca yang nggak mau buat Abang malu," jawabku. "Udah ya, Chaca masih banyak kerjaan." Aku bergegas ke luar dari kantornya.

Jam dua belas, bel kembali berbunyi. Aku memasuki aula, dan langsung berbaring di paha Vera yang sedang berselonjor.

"Sesekali golek di pangkuanku napa kau ,Cha," celetuk Oji yang masih kental dengan logat khas Medannya. "Kepingin pulak aku ngelus-ngelus rambut kau itu."

Sontak yang lain pada bersorak. Sudah tidak heran lagi mereka melihat tingkah Oji, yang selalu membuat gaduh seisi dapur dengan tingkahnya.

"Bah, si Erik yang ganteng aja ditolak si Chaca. Mau kau pulak lagi meter-meter dia. Mana lah lepel," timpal bang Ucok, sekuriti yang juga sedang bergabung dengan kami.

Aku sudah tidak heran melihat tingkah polah para karyawan dapur di sini. Tidak pernah saling memasukkan hati dengan candaan mereka. Sampai kulihat Bang Malik memasang wajah kecut.

Tumben sekali. Biasanya dia juga ikut menikmati kata-kata hiburan dari Oji. Bahkan terkadang dia juga ikut tertawa. Apa yang salah kali ini?

Aku kembali berbaring sebelum akhirnya mengambil kotak makan siang dan menghabiskannya.

Waktu pulang telah tiba. Kulewati Abangku yang tengah mengobrol serius di pos sekuriti. Dia melihat sekilas ke arahku, lalu melanjutkan percakapannya kembali.

MENCINTAI ABANG ANGKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang