10

74 3 0
                                    


"Abang kenapa?" tanyaku tergugup. Kulihat wajahnya penuh dengan amarah.

"Abang tanya, kamu dari mana?" Dia mulai berteriak. Aku jadi takut melihatnya.

Cepat aku membuka pintu, lalu menggapai lengannya, memaksanya untuk ikut masuk. Aku tak ingin ada keributan yang didengar oleh tetangga.

Dia terduduk di sofa sambil mengusap rambutnya, lalu bersandar. Aku duduk di meja tamu, tepat di hadapannya. Kugenggam kedua tangan yang masih mengepal, belum hilang rasa geramnya mendengar semua omong kosongku tadi.

"Maafin Chaca ya, Bang. Chaca pergi nggak bilang-bilang sama Abang."

"Sejak dari makan siang tadi, Abang bolak-balik ke sini nyariin kamu. Dan kamu bilang baru aja keluar?" Dia kembali mengungkit kebohonganku.

"Jangan marah, Bang. Chaca pergi ke rumah saudara."

"Saudara? Kamu punya saudara?" Aku mengangguk.

"Siapa?" Aku diam, tak berani menjawab.

"Dimana? Hem? Kamu bohong lagi, kan?"

"Abang punya keluarga, kenapa Chaca nggak boleh?"

Dia terdiam, mungkin merasa ucapanku ada benarnya.

"Kalau benar ada, kenalin sama Abang."

Mana mungkin aku memberitahukan siapa mereka padanya. Bang Malik pasti akan membencinya.

Aku terdiam, tak ingin membantah. Aku benci jika lagi-lagi harus bertengkar. Lalu bergegas bangkit, sampai tangan itu kembali menarikku.

"Kamu mau ke mana? Abang belum selesai!"

"Chaca mau ngambil kotak obat, buat ngobatin luka di tangan Abang." Dia melepas, kemudian membiarkanku pergi.

Setelah mendapatkan kotak P3K, aku duduk di sisinya sambil membersihkan luka bekas menghantam pintu depan tadi. Untungnya pintu tersebut terbuat dari kayu jati asli, sehingga tak meninggalkan bekas, apalagi kerusakan.

"Kamu pergi sama Erik? Kamu pacaran sama dia, ha?" Lagi-lagi pertanyaan aneh yang tidak masuk di akal.

"Kenapa Chaca harus pergi sama dia?" elakku kesal.

"Dia juga mendapatkan jadwal off hari ini."

"Mana Chaca tau. Kami kan beda divisi."

"Mulai besok, jadwal karyawan Abang yang atur."

"Terserah!" sahutku malas.

"Tapi kamu nggak pergi sama dia, kan?"

"Enggak!" bentakku, sambil menekan lukanya dengan plaster.

"Sakit, Chaca...." rintihnya lembut.

Dasar laki-laki tidak berperasaan. Jangan hanya karena aku sudah berjanji tidak akan mengulangi kelakuan nakalku tempo hari, dia bisa bersikap semanis ini di depanku. Bagaimanapun juga, aku masih memiliki perasaan, masih memiliki gejolak untuk menyerangnya.

Seharusnya setelah malam itu kami harus menjaga jarak, bukan? Ah, ya. Kami? Bodohnya aku. Bahkan dia tidak merasakan apa pun dengan kejadian itu. Cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
.

Sudah tengah malam, namun Aira belum juga pulang. Aku tidak heran, karena hal itu sering dilakukannya saat suaminya sedang tak ada.

Berbeda dengan Bang Malik. Dia terlihat cemas meninggalkanku sendirian.

"Chaca nggak papa, Bang. Udah biasa kok ditinggal sendiri. Abang pulang aja." Aku mencoba menenangkannya.

"Bukannya kamu bilang suami Aira tidak ada di sini? Lalu dia menginap sama siapa? "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENCINTAI ABANG ANGKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang