i. Gemuruh Rasa Yang Dihempas Angin

81 10 3
                                    

Suara ombak yang lebih tenang dari biasanya dan dipadukan oleh cuitan burung yang berlalu-lalang di langit membuat lelaki berumur awal 20-an itu menghela napas panjang. Ia memikirkan mengapa kisah cintanya tidak berjalan mulus layaknya manusia-manusia lain yang tengah jatuh cinta.

Jiwanya ingin berteriak mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan dalam jiwa manapun selain wanita yang ia kagumi. Namun entah mengapa, dunia memperkenalkan mereka dengan cara yang salah bagi Harsha.

"Harsha!"

Merasa namanya dipanggil, lelaki bertubuh tinggi itu membalikkan badan. Ia terperanjat kaget ketika melihat paras cantik dengan tinggi semampai berlari dengan membawa bunga mawar beserta dua buah es krim cokelat dalam plastik.

"Oi!"

Riana-wanita yang disebutkan oleh Harsha melebarkan senyumnya. Senyuman yang membuat dada Harsha terasa sesak, kenapa kisahnya harus seperti ini? Bahkan Harsha merasa bahwa Riana pun merasakan hal yang sama dalam sanubarinya.

"Cantik," gumam Harsha.

"Siapa?" tanya Riana. Lalu ia mendapatkan Harsha sedang memalingkan wajahnya. Jujur, Harsha malu karena tertangkap basah sedang memuji wanita cantik tersebut.

"Mama gue, Na."

"Bohong. Gue tau lo bilang gue cantik. Iya, kan?"

Suara gelak tawa terdengar nyaring dari kedua insan yang tengah mabuk asmara. Keduanya menautkan jari, memandang sang rembulan yang perlahan menghilang ditelan awan, lalu kembali sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Riuh angin berembus lembut, menyapu rambut panjang Riana; yang kemudian memperjelas raut mukanya yang murung. Baik Harsha maupun Riana, saat ini keduanya tengah bertengkar hebat dengan isi kepalanya sendiri. Mereka ingin sekali menentang hukum alam, namun sayangnya mereka tidak berani menentang Tuhan.

"Sha, lo harusnya cari perempuan yang bisa lo banggain ke keluarga. Dan itu bukan gue orangnya."

Riana langsung terdiam, entah mengapa ucapan itu membuat dirinya sendiri merasakan sakit yang teramat dalam. Jiwanya berteriak, seakan berkata jika seharusnya mereka bertemu bukan dalam keadaan seperti ini.

"Ana," Harsha memanggil Ana; nama spesial darinya untuk Riana-dengan sedikit tercekat, "Ayo kita jalani bersama tanpa mereka tahu soal kita." Harsha mengucapkan kalimat tersebut dengan tenang. Namun sebagai wanita yang telah bersama selama bertahun-tahun, Riana tahu jika Harsha tidaklah setenang itu.

"Lo yakin?"

"Seyakin gue ketika gue bilang gue jatuh cinta sama lo," tutur Harsha. Kini ia tidak lagi takut akan apapun, kisah cintanya harus diperjuangkan, dengan atau tanpa restu dari keluarga.

"Lo aneh, Harsha. Bisa aja bercandanya," kekeh Riana; menepis perkataan Harsha

"Ada raut muka gue bilang kalo ini candaan, Na?"

Riana menelan salivanya dengan susah payah, apa yang harus ia katakan? Sedangkan dia pun merasakan hal yang sama.

Forbidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang