★»»——>𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌<——««★
Kelopak mata itu terpejam menghalau hujaman air hujan yang jatuh menerpa bola matanya. Tetesan air hujan mengalir dari sela-sela rambutnya yang tergerai basah, membuat senyum gadis itu terukir indah. Semilir angin yang bertiup pelan, menerbangkan dedaunan kering yang basah karena terkena hujan, lalu menjatuhkannya ke tanah. Bunga-bunga yang semula layu karena haus, kini mulai segar kembali oleh guyuran air hujan.
Luvia tersenyum lebar. Telah dua bulan lamanya ia menanti hujan yang tak kunjung datang untuk menumpahkan airnya ke bumi. Namun, setelah siang tadi mendengar suara gerimis, gadis kecil itu segera mengambil jas hujan dan memakainya, walaupun kepalanya tidak ia bungkus sehingga basah. Sebelum keluar rumah, Luvia memastikan Monika tidur dengan nyenyak dan menyandingkan sebotol susu di sebelahnya, sehingga ia tidak perlu repot-repot untuk masuk ke dalam rumah jika adiknya terbangun.
Mendadak, senyuman di bibir Luvia mengendur. Gadis itu mengembuskan pelan napasnya, lalu mendudukkan tubuhnya di atas batu besar halaman rumah. Matanya menatap langit, sehingga tetes demi tetes air hujan membasahi bola matanya. Pikirannya melayang pada sosok dua anak laki-laki yang berada jauh di desa tempat tinggal lamanya. Baru kali ini ia sendirian bermain hujan. Biasanya, kedua anak itu selalu membuntutinya ke mana pun ia pergi saat hujan turun.
"Abay, Ata, Pia kangen kalian. Biasanya kalian yang nemenin Pia hujan-hujanan. Sekarang, Pia sendirian. Kalian nggak kangen sama Pia?" tanyanya pada langit, berharap langit dapat memperdengarkan pertanyaanya kepada Bayu dan Tirta. Selang beberapa detik, garis bibir gadis itu tersungging ke atas membentuk sebuah senyuman tipis.
"Kalian tau? Di sekolah, Pia punya banyak temen. Tapi, Pia sering ngerasa kesepian karena nggak ada kalian."
Kepala Luvia tertoleh ke samping saat mendengar suara bariton memanggil namanya. Ia mengusap lembut wajahnya menyeka air hujan yang mengalir, meskipun usahanya itu sia-sia karena hujan yang masih mengguyur deras.
"Iya, Om, kenapa?" tanyanya kepada Anton yang menyuruhnya untuk mendekat.
"Tolong buatin Om kopi," pintanya membuat Luvia mengangguk. Dengan terpaksa, ia melepas jas hujan itu dan menaruhnya di teras, lalu mengambil handuk untuk mengeringkan rambutnya.
Tanpa berlama-lama, Luvia langsung melesat menuju ke dapur untuk membuatkan kopi ayah tirinya. Dengan tangan mungilnya, gadis itu menaruh sesendok bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir, lalu menuang air panas ke dalamnya. Setelah kopi diaduk, gadis itu membawanya ke ruang tamu.
"Ini, Om kopinya."
"Taruh aja di meja. Oh iya, tolong ambilin taplak meja yang ada di kamar tamu, ya." Luvia tidak menjawab, tetapi dengan segera ia menuju ke kamar tamu untuk mengambil taplak meja yang ayah tirinya maksud.
Lima menit berlalu, tetapi ia tidak bisa menemukan barang yang dimaksud oleh Anton. Sudut demi sudut ditelusurinya, tetapi tidak satu pun ada taplak meja di sana. Lelah mencari, Luvia pun memutuskan untuk keluar dari kamar tamu dan bertanya kepada laki-laki yang kini resmi telah menjadi suami ibunya. Belum sempat ia keluar dari kamar itu, Anton lebih dulu masuk sehingga langkah kecilnya terhenti.
"Om, Pia udah coba cari taplaknya tapi nggak ada. Jadi, Pia mau keluar lagi buat main hujan," ucapnya sambil menyelipkan rambut yang menutupi wajahke belakang telinganya.
"Ah, masa nggak ada? Udah cari di laci?" tanyanya membuat Luvia menggeleng.
"Coba, sana cari dulu!" titahnya membuat gadis berumur delapan tahun itu mengangguk. Ia membalikkan badannya, lalu berjalan ke arah laci dan memeriksanya. Namun, tidak sama sekali ia temui taplak meja di sana.
"Nggak ada, Om." Luvia mengerutkan kening saat melihat Anton menutup rapat pintu kamar dan menguncinya. Laki-laki itu menyimpan kunci ke dalam saku bajunya, lalu menatap dirinya dari atas sampai bawah.
"Kok pintunya dikunci, Om?" tanya Luvia mengernyit heran, tetapi laki-laki itu hanya diam dan fokus menatapnya dengan tatapan tidak dapat diartikan.
Luvia yang ketakutan, berjalan mundur perlahan untuk tetap memberi jarak dengan ayah tirinya. Gadis kecil itu menghentikan langkah, saat punggungnya telah bersentuhan dengan tembok. Ia tidak bisa ke mana-mana lagi, membuat Anton menyeringai, lalu dengan cekatan menangkap pergelangan tangan Luvia dan menariknya mendekat.
"Om mau ngapain?!"
"Pia, Om nggak jahat, kok. Cuma mau main-main doang sama Pia," ujarnya lembut, tetapi penuh penekanan membuat air mata Luvia mengalir melalui pipinya yang mungil.
"Om, Pia mau ke kamarnya Monik, takut dia bangun," kilahnya mencoba menarik diri untuk lolos dari cengkraman laki-laki yang ada di depannya.
"OM, LEPASIN!" Luvia berteriak kencang. Bukannya melepaskan, Anton malah semakin menguatkan cekalan tangannya pada lengan kecil Luvia, sehingga gadis itu merintih kesakitan.
"Aw ... sakit, Om!" Luvia menggigit lengan Anton, membuat laki-laki itu menggeram marah. Ia menampar keras pipi gembil gadis yang nyatanya adalah anak tirinya. Bibirnya bergetar merasakan panas dan perih yang ada di pipi kanannya.
Baru kali ini dirinya mengalami hal seperti ini. Disiksa oleh orang tua tiri adalah mimpi buruk baginya. Jangankan tamparan, bentakan pun belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
"Nurut atau Om bunuh adik kesayangan kamu!" ancamnya membuat rontaan Luvia terhenti. Gadis itu menatap terluka laki-laki yang kini merangkap posisi menjadi ayah tirinya. Ia tidak menyangka Anton akan mengancamnya dengan ancaman yang keterlaluan.
Tidak ada yang bisa Luvia lakukan selain diam menangis membiarkan laki-laki itu menyakiti dirinya. Ia memejamkan mata saat ikat pinggang kulit yang tebal menyabet punggung, kaki, dan tangannya. Panas serta perih yang ia rasakan di beberapa bagian tubuhnya, tidak membuatnya berteriak, lantaran takut jika suaranya akan membangunkan adiknya.
Suara cambukan, isak tangis, dan hujan deras yang bercampur baur menjadi satu menambah suasana mencekam sore itu. Hanya pengharapan agar penderitaan yang dialaminya saat ini segera berakhir, sehingga ia bisa menangis sekencang-kencangnya di dalam kamar.
Ayah, tubuh Pia sakit. Kenapa Om Anton jahat banget sama Pia, lirihnya dalam hati setelah Anton puas mencambuk tubuh Luvia lebih dari dua puluh cambukan. Anton terkekeh, lalu menarik kuat dagu gadis delapan tahun itu sambil berkata, "ini balasan dariku karena ayahmu dulu pernah menjadi yang pertama dalam segala hal!"
Luvia kira, penderitaannya sore ini telah usai, tapi ternyata dugaannya salah. Ayah tirinya itu kembali menarik tangannya dengan kasar dan menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Kembali, seringaian muncul di bibirnya sambil menanggalkan seluruh pakaiannya.
"Dan ini, balasan dariku karena ayahmu dulu merebut ibumu dariku!"
Sore itu menjadi awal di mana ayah tirinya dengan kejam merasakan kenikmatan di atas penderitaannya. Rasa sakit lahir dan batin yang dirasakannya hanya karena perasaan iri dan dengki seorang laki-laki bejat kepada ayahnya. Seorang gadis kecil yang seharusnya masih merasakan bahagia dan memiliki masa depan yang cerah, terpaksa harus merasakan bagaimana rasa kecewa dan menderita karena indahnya masa kanak-kanak harus hancur akibat ulah dari laki-laki yang saat ini menjadi ayah tirinya.
.
.
.
.
.
Hai, gimana part ini?
Jangan pelit vote dan komen, ya.
Magelang, 6 Januari 2022
Salam
Dita Lestari
Jumkat : 1064 kata
bougenvilleap_bekasi
AraaaaKyuddd
AulRin_09
LintangPansavialysan
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter in the Rain (TAMAT)
Teen Fiction🎗Juara Harapan 2 21 days Novellet Challenge Bougenvillea Publisher cabang Bekasi Luvia, nama cantik dari kata 'Lluvia' yang bermakna hujan. Sama seperti namanya, ia sangat menyukai hujan. Banyak hal yang sering ia lakukan saat hujan turun, seperti...