★»»——>𝕳𝖆𝖕𝖕𝖞 𝕽𝖊𝖆𝖉𝖎𝖓𝖌<——««★
Air yang menggenang di pelupuk mata gadis itu membuat pandangannya memburam. Di usapnya air mata itu dengan kasar, sehingga pandangannya kembali jernih. Bibirnya bergetar seiring dengan langkah gontainya berjalan mendekati seorang bayi yang sedang dengan kuat mengisap botol susu yang disediakan olehnya tadi. Disentuhnya tangan mungil itu dengan lembut, membuat Monika tersenyum di sela-sela minumnya.
Seluruh anggota tubuhnya masih merasakan perih dan sakit, terutama di bagian bawahnya dan bekas-bekas cambukan yang memerah. Ingin ia menangis sejadi-jadinya karena rasa sakit itu, tetapi hal itu tidak mungkin ia lakukan karena takut ayah tirinya kembali marah dan menghukumnya. Mungkin, usianya yang masih belia tidak cukup matang untuk memahami semua permasalahan ini. Namun, ia tahu bahwa yang dilakukan oleh Anton itu salah.
"Monik, Kakak janji akan ngelindungin kamu sampai kapan pun seperti janji Kakak sama Ayah. Kakak nggak papa sakit, yang penting kamu nggak sakit."
Air kembali meleleh dari kelopak matanya. Sekuat tenaga, ia menahan isakan dengan menggigit kuat bibir bawahnya, supaya tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Namun, hal itu sia-sia, karena sekuat apa pun ia mencoba, suara isakan itu masih saja terdengar.
Ayah, tubuh Pia sakit. Kenapa Ayah ninggalin Pia. Bawa Pia pergi, Yah, lirihnya dalam hati sesaat sebelum ia mengusap kasar air matanya, karena suara klakson mobil ibunya yang terdengar di luar rumah. Diliriknya jaket besar miliknya yang tergantung di dinding kamar, Luvia memutuskan memakai jaket itu untuk menutupi bekas cambukan ikat pinggang yang berada di kedua tangannya.
"Selamat sore, Kesayangan-Kesayangan Ibu," sapa Melin membuat senyum tipis di bibir Luvia terlukis. Sebisa mungkin ia berjalan dengan normal seperti biasanya agar ibunya tidak curiga.
"Pia, sini peluk Ibu." Luvia tersenyum lebar, lalu menghamburkan tubuhnya ke pelukan sang ibu. Gadis itu menangis sesenggukan membuat Melin mengernyitkan dahi dan mengusap lembut rambut panjang putri sulungnya.
"Pia kenapa? Kok nangis? Pia capek, ya urusin Monik seharian?" tanyanya membuat gadis itu menggeleng.
"Enggak, Pia cuma kangen aja sama Ibu," ujarnya sesaat setelah Melin melerai pelukan di antara mereka. Senyum di bibir Melin mengembang, sebelum akhirnya ia melihat, terdapat warna merah di pipi Luvia.
"Pia, ini pipi kamu merah kenapa?" tanya Melin, membuat tangis gadis itu semakin pecah. Hal itu semakin menambah kadar kekhawatiran Melin terhadap Luvia.
"Pia, jawab dulu ini kenapa?" Dengan susah payah, Luvia menghentikan tangisannya. Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengadu, mengungkapkan bagaimana perlakuan bejat ayah tirinya.
"Ibu."
"Iya, Sayang."
"Pipi Pia sakit, karena ...," ucap Luvia terhenti saat melihat Anton berada di ambang pintu, menatap tajam padanya dengan membawa sebilah pisau lipat yang sengaja diarahkan tepat pada Monika.
"Karena?"
"Kena panci panas setelah masak mi instan," jawabnya berbohong, membuat Melin mengembuskan berat napasnya. Wanita itu memeluk tubuh kecil putrinya, tanpa tahu bahwa tubuh putrinya itu kesakitan akibat pelukannya. Yang ia tahu, gadis itu menangis karena luka di pipinya, bukan karena kelakuan bejat suami barunya.
"Maafin Ibu, ya, Nak. Gara-gara Ibu sibuk sama kerjaan di kantor, kamu jadi terluka seperti ini." Luvia menggeleng, lalu berkata, "enggak, Bu. Ini bukan salah Ibu, tapi salah Pia yang nggak hati-hati pegang panci."
"Ibu ambil air dingin buat kompres luka kamu, ya." Sebelum Melin keluar dari kamar bayi Monika, Anton lebih dulu bersembunyi dari pandangan istrinya. Setelah memastikan Melin benar-benar keluar dari sana, Anton memasuki kamar itu, sehingga membuat Luvia ketakutan.
"Jangan takut, Pia. Selama kamu nurut, Om nggak akan kasar sama kamu. Oh iya, alasan kamu tadi itu sangat bagus, Om jadi suka," ujarnya dengan seringai tipis di bibirnya.
✤✤✤
Luvia tersenyum menatap keluar jendela kamarnya yang menampakkan pemandangan hujan di kota malam hari. Lampu-lampu kota yang berpendar membuat rintik air hujan yang turun terlihat semakin jelas di kegelapan. Tidak hanya gedung-gedung tinggi, pemandangan alam pun turut menyertai keindahan malam itu. Meskipun tempat tinggalnya berada di kota, dapat ia lihat pemandangan perbukitan yang indah dari lantai dua rumahnya.
Senyumannya kian meredup saat melihat motor ayah tirinya baru saja terparkir di halaman rumah. Ketakutan kembali menggerayangi dirinya saat mengingat insiden empat jam yang lalu, saat rasa aman dan nyamannya tinggal di rumah itu direnggut paksa. Dengan tertatih, ia berjalan ke arah pintu kamar, berniat untuk menguncinya agar ayah tirinya tidak bisa masuk ke dalam kamar. Namun, Anton lebih dulu masuk ke dalam kamarnya, membuat Luvia memundurkan langkah.
"Om mau ngapain?!"
"Mau main-main sama Pia," jawabnya enteng, membuat Luvia membelalakkan matanya. Sekarang, ia paham makna terselubung dari kata 'main-main' yang dilontarkan oleh laki-laki itu.
"Pergi, Om! Pia nggak mau deket-deket sama Om! Om jahat! Pia benci sama Om!" teriaknya sambil meludahi kaki Anton, membuat laki-laki itu menggeram marah dan menarik kasar tangan Luvia.
"DENGER! PASANG TELINGA LO BAIK-BAIK! GUE LEBIH BENCI SAMA LO! GARA-GARA LO DAN AYAH LO, KEBAHAGIAAN GUE ILANG! LO SUKA HUJAN, KAN? GUE AKAN BUAT LO MENDERITA KARENA HUJAN! GUE AKAN BUAT LO HANCUR, SEPERTI AYAH LO YANG DULU PERNAH BUAT GUE HANCUR!"
Malam itu, kembali lagi menjadi kejadian yang menghancurkan diri dan mental Luvia. Gadis delapan tahun yang disiksa dan dipaksa untuk menebus dendam masa lalu pria bejat yang berhasil masuk di dalam kehidupan Luvia. Tidak ada yang bisa menolongnya, karena Melin sedang ada meeting mendadak dengan client malam ini.
Ancaman demi ancaman dilontarkan oleh Anton untuk membungkam mulut Luvia, demi kesenangannya semata. Air mata dan suara rintihan gadis kecil itu tidak membuat Anton merasa iba dengan kesehatan psikis dan fisik anak tirinya.
Luvia yang ceria penuh dengan tawa, kini berubah menjadi Luvia yang penuh dengan penderitaan. Tidak ada lagi senyuman, keceriaan, dan kebahagiaan. Yang tersisa hanyalah sebuah kekecewaan dan penderitaan.
.
.
.
.
.
Gimana part ini?
Aku pagi tadi up tapi kok ilang sebagian, ya😭
Karena di riwayat revisi aku cari gaada, terpaksa harus ngetik ulang😭sad banget...
Jangan pelit vote, Kawans.
Magelang, 9 Januari 2021
Salam
Dita Lestari
Jumkat : 910
bougenvilleap_bekasi
AraaaaKyuddd
AulRin_09
LintangPansavialysan
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter in the Rain (TAMAT)
Teen Fiction🎗Juara Harapan 2 21 days Novellet Challenge Bougenvillea Publisher cabang Bekasi Luvia, nama cantik dari kata 'Lluvia' yang bermakna hujan. Sama seperti namanya, ia sangat menyukai hujan. Banyak hal yang sering ia lakukan saat hujan turun, seperti...