Chapter 2

815 11 2
                                    

Mumpung jam belajar lagi kosong, karena ada acara sekolah, gue sempetin buat ngelanjutinnya. Maaf yaa kalo masih banyak kurang, typo maupun yang lain. Ide lagi cekak nih...
Please saran&kritiknya ya!
Happy reading...^^

**
"Kriiiingg.... Kriiinggggg"
Alarm di nakas kamar ku berbunyi dengan keras, membuat telingaku sedikit pengang. Aku meraba-raba keberadaan alarm itu dan memencet tombol off.

Aku terpaksa bangun dari tempat tidur suciku, hujan yang mengguyur semalaman membuat mataku bermalas ria untuk membukanya. Dengan mata yang menyipit setengah sadar, aku melihat alarm yang kini jarum jamnya menunjukan pukul 06.15

"Omg, telat lagi!!!..." Teriak ku panik.
Dengan sigap aku bangun dan langsung menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu kamar. Buru-buru ingin mandi, ternyata ada kakak ku yang dengan asiknya bernyanyi-nyanyi di dalam kamar mandi seperti sebuah konser yang ditonton ribuan orang.
Aku mengetuk-ngetuk pintunya. Setelah semenit tidak ada hasil, aku yang tidak sabar mulai menggedor-gedor.

"Eja! Woooi! Cepetan dong! Gue buru-buru nih. Emang ini kamar mandi punya nenek moyang lo!"
Pintu berwarna hijau tosca itu pun akhirnya terbuka. Aku langsung menggeser posisinya yang menghalangi pintu dan masuk kedalamnya.

"Deeee, kaaaak! Yuk sarapan dulu sini. Mama udah siapin roti bakar plus susu coklatnya, biar tambah energinya." Kata mama ku sambil menyiapkan sarapan di meja bundar dengan 4 kursi diantaranya.

"Iyaaa mah....." Sahutku sambil merapikan seragam yang kalang kabut karena tergesa-gesa.

"Eh iya kak eja, gue berangkat bareng lo yaa. Tapi tungguin gue bentar"

"Iyaaa, gue tungguin kok buat lo mah apasih yang enggak" kata eja genit.

Namanya Rusandy Firza, dan kerap dipanggil Eja, Rusa, Rusak, dan Picang. Aku juga gatau kenapa kakak aku dengan rela namanya dirusak jadi aneh oleh temannya, termasuk adiknya sendiri. Dia sekarang udah masuk kuliah semester awal. Aku sama dia cuma beda 2 tahun kurang. Yaa, jadi kayak temenan ajalah.

Setelah aku baru saja menegak segelas susu coklat, aku mengecek kembali jam tanganku. Dan ternyata, jam sudah menunjukkan pukul 06.40 dua puluh menit lagi sebelum bel masuk sekolah.
Aku langsung menyambar tas dan pamit kepada mama.
Celingak-celinguk mencari si Eja di garasi, ternyata motornya udah hilang entah kemana. Sial, rasanya aku di phpin lagi.

Setelah sampai di sekolah, jam dinding di depan sekolah sudah menunjukan pukul 07.00. Sial, aku merasa hari ini menjadi hari yang sial. Sudah dijalan terciprat air, bangun kesiangan, di phpin kakak, dan kini aku benar-benar terlambat. Semoga ini adalah terakhir kalinya aku mengalami sial.

Guru bimbingan konseling telah berdiri disebelah tiang bendera dengan tongkat kayu yang dipegang dengan gaya yang khas. Ia sedang menghukum murid-murid yang melangar peraturan. Aku, termasuk di antaranya.

Aku sedang melamun dengan pikiran tak jelas, tak menghiraukan guru yang sedang memarahi murid-murid. Aku menengok ke arah kanan yang nampak sebuah kolam yang dimana kolam itu menjadi ajang menceburkan teman-teman dengan segala keisengannya. Kolam yang terkadang bersih, terkadang kotor banget hingga banyak lumut yang menghinggapi setiap sudutnya. Tak sengaja, aku melihat sesosok dia yang sedang menundukan kepalanya.

Dia bernama Ian, sejak saat SMP aku bersahabat dengan baik dan secara diam-diam aku menyimpan rasa untuknya. Dia sekarang telah mencapai tinggi 172cm, sedangkan aku masih saja hanya 165cm. Dahulu aku selalu mengejeknya karena tingginya kurang dariku. Tapi sekarang, tingginya berubah sangat drastis, mungkin karena hobi olahraganya, salah satunya Taekwondo. Dia mempunyai senyum yang indah, dan mata yang sangat tedu yang membuat hatiku tentram jika melihat tatapannya. Aku tak pernah tahu apa yang ada didalam kedua bola mata hitamnya. Aku tak pernah menyangka bahwa ia satu sekolah lagi denganku, bahkan sekelas. Apa ini yang namanya takdir?

Aku sudah mulai bisa melupakannya, tetapi hatiku menolak gertakan itu. Aku kembali merasakan hal itu setelah bertahun-tahun membunuh perasaan rindu itu, setiap kali muncul. Aku selalu saja tak sanggup melihat matanya, ketika ia menatapku saat berbicara. Entah ada getaran-getaran di hatiku yang membuat diriku lemah tak berdaya.

Sadar ia telah diperhatikan sedari tadi. Ia menengok ke arahku. Dan dengan cepat aku mengalihkan pandanganku ke segala arah.
Setelah guru bimbingan itu selesai memberikan panduan amanatnya. Ia lalu berbalik dan pergi menuju ruangannya.

Aku mengambil tas, lalu bergegas langsung pergi dari lapangan itu.

"Heii...tunggu!" Teriak seseorang sambil berlari-lari kecil menghampiriku yang berada di lorong kelas.

"Iyaaa, kenapa?"

"Nanti sepulang sekolah ada acara gak? Gue mau ngajak lo ke rumah. Tante Ani udah kangen berat sama lo, Din. Entah kayaknya lo lebih dikangenin daripada anaknya sendiri." Katanya mencibir dengan bibir yang manyun. Membuat ku ingin menarik bibirnya saja dengan penjepit jemuran.

"Mmm, gimana ya?'' Pikirku "Tapi traktir gue roti bakar Mang Kus ya! Lagi ngidam gue!" Lanjutku.

"Iyaaa... Iyaaa. Ntar gue yang traktir deh." Sahutnya terpaksa.
Dia pasti tau kalau makanku cukup banyak yang membuat sakunya menipis.

"Nah, gitu dong...! Hahaha"
Aku tergelak-gelak melihat raut mukanya yang tampak pasrah.

Rahasia BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang