Chapter 4

385 8 0
                                    

Akhirnya bisa ngelanjutin lagi haha. Di chapter ini gue kurang pede buat ngepublishnya, ide gue cekak. Kalo masih suka sama ceritanya silahkan diterusin, kalo gak ya gapapa...
Happy reading^^

**

Warung akringan pinggir jalan itu menjadi tempat favoritku sejak dulu, dengan Ian tentunya. Disini banyak beraneka ragam cemilan yang tidak kalah dengan cafe-cafe di seberangnya. Dengan harga yang relatif murah, tempat yang strategis, dan makanan yang pas menjadikan tempat ini sebagai tongkrongan anak muda, termasuk ku.

Aku duduk di meja kayu itu, dengan sebuah payung teduh diatasnya. Tak selang beberapa lama, pelayan menghampiri membawakan daftar makanannya. Aku melirik Ian yang kini sedang mengotak-atik handphonenya.

"Cil... Apa aja kan?" Aku tersenyum licik ke arahnya.

"Mbakk, saya pesan roti bakar coklat satu porsi, pisang bakar keju coklat susu satu porsi, nasi goreng seafood satu porsi, sama....'' Aku memikirkan dan menimbang-nimbang minuman yang akan ku pesan "vanilla latte, tapi gulanya sedikit aja terus taburin nuttenya ya, mbak" lanjutku.

"Okedeh. Mas yang ini gak pesen juga?'' Tanya pelayannya.

"Gak mbak. Ngeliat dia mesen segitu banyak saya jadi gak selera" katanya yang masih mengotak-atik hpnya.

Lalu pelayan itupun pergi.

"Lo gak makan berapa hari sih, Din?" Ucapnya dengan mendongakkan wajahnya, masih memegang handphonenya.

"Gue laper, cil. Awak-awak di dalem perut gue mulai beringas. Kasian mereka, seharian kerja. Jadi butuh asupan kalori yang banyak. Dan mumpung di traktir..." Sahutku dengan tampang polos tak berdosa.

Ian menatapku sejenak, namun tidak menanggapi ucapanku. Ia malah dengan tangan jahilnya, mencubit lembut pipi kiriku. Tapi setelah itu ia kembali lagi ke dunia handphonenya. Aku menghela nafas.

Dua piring kecil dan satu piring cukup besar, dan segelas kopi itupun akhirnya mendarat di meja ku yang tadinya kosong. Aku segera melahapnya tanpa menghiraukan dia yang sedari tadi mengamatiku.

"Jpret..'' Suara kamera hpnya itupun sontak membuatku kaget dan menghentikan acara makanku.

"Liat deh nih tampang lo bikin ngakak banget. Kayak orang utan kaga dikasih makan, sekalinya makan langsung rakus banget. Apalagi muka lo yang mendadak merah karna kepedesan makan nasi goreng. Hahaha..." Ian tergelak-gelak.
"Gue cetak 10R terus gue taro di mading sekolah seru nih" lanjutnya dengan tawanya yang belum mereda.

Aku mencoba mengambil handphonenya dengan susah payah, namun hasilnya nihil. Aku pasrah.

*

Dengan senyum yang masih kecut aku turun dari motornya.

"Senyum donggg, Din. Ngaca deh tuh bibir lo udah mirip banget sama bebek. Jelek." Ucapnya sambil mencubit pipiku sekali lagi.

"Iannn!! Ngeselin banget sih!''

Wanita itupun membuka pintu dan menengok ke arah ku dan Ian. Rambutnya kini setengah beruban. Namun tubuhnya masih sangat tegap udah ukuran umur berkepala 4.

"Aduuuh, ada apasih ribut-ribut?" Tanyanya.

Lalu pandangannya langsung mengarah ke arahku.
''Ehhh, nak Dian apakabar? Udah lama ya tante gak ketemu kamu, Din.." Ucapnya yang langsung memelukku. Aku sontak kaget. Dan memeluknya kembali.

''Baik kok, tan."

Ia lalu menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya. Rumah sederhana yang di dindingnya begitu banyak penghargaan dalam bidang olahraga. Asik melihat-lihat, tak tersadar, tangan seseorang menggenggam tanganku dan mengajakku pergi ke dapur. Di dapur sudah tertata macam-macam keperluan untuk membuat kue. Dan di samping kaca, aku melihat Tante Ani, lalu ia tersenyum. Sepertinya aku tahu harus berbuat apa.

Tante Ani menghampiriku dan berbisik "Din, ini semua untuk Ian"
Aku mengeryitkan alis. Bingung.

Aku dan tante Ani membuat kue blackforest. Kue kesukaan Ian. Dengan coklat kental yang melumer dan es krim coklat diatasnya.

"Ian itu suka banget sama kue buatan kamu, Din. Dia selalu minta dibikinin kue yang cita rasanya sama kayak yang kamu buat. Kayaknya dia jatuh cinta sama kue kamu. Gamau yang lain. Makanya, tante suruh kamu kesini..." Kata Tante Ani sewaktu membuat kue bersama.

Di meja makan, Ian dengan semangat menghabiskan kue yang ku buat dengan tante Ani. Sampai-sampai coklatnya belepotan di pinggir mulut Ian. Aku dan tante Ani hanya tersenyum tipis melihat tingkahnya yang terkadang kekanak-kanakan.

Setelah puas dengan hari ini, aku merasa perutku begah. Ia sadar sedari tadi mulutnya dimasukan makanan terus-menerus.

*
Ian mengantar ku sampai ke depan gerbang rumahku.

"Din, makasih ya. Lo itu sahabat terbaik gue" katanya.

"Yaelah lo gausah sok jadi melankolis deh ah" aku mencuil sedikit pipinya, lalu meninggalkannya

Aku lalu masuk kedalam kamarku. Aku masih mencerna perkataan Tante Ani tadi.

"Din, ini semua tuh untuk Ian"

"Kayaknya Ian jatuh cinta sama kue kamu"

Aku masih memikirkan dua kalimat itu yang terbayang-bayang, mengganggu jam tidurku. Memangnya ada apa dengannya? Sepertinya dia baik-baik aja. Aku lalu bangkit dari tempat tidur dan menuju balkon kamarku. Melihat langit dengan bintang-bintang terang menjadi pilihanku untuk memikirkan sesuatu, hingga perlahan demi perlahan mataku mulai berlinang air. Aku ngantuk. Segera ku tutup kembali pintu balkonku dan beranjak ke tempat tidur. Semoga pada suatu hari aku akan tahu jawabannya..

Rahasia BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang