Chapter 02 -- Taruhan

7.1K 546 38
                                    

Aku jadi sedikit paranoid. Dengan memakai hoodie jaketku, aku pergi ke kantin dengan wajah mengkerut takut. Aku bukan pencuri. Tapi gara-gara Dylan aku harus bersikap seperti seseorang yang bersalah. Sial! Pandanganku mengedar dan melambai begitu melihat sahabat tercintaku, Amylia, yang dibalas olehnya dengan antusias.

"Jo~!" seru gadis itu dengan kegembiraan yang meledak-ledak. "Sini! Sini! Aku sudah memesan burger dengan double cheese kesukaanmu!"

Aku berjalan dengan terburu-buru dengan wajah merunduk sedikit, masih bersembunyi di balik hoodie, tapi karena itu aku jadi menabrak tubuh seseorang.

"Kau ini terburu-buru sekali, sih—" kata orang itu. Mataku hampir keluar saat melihatnya. Aku tidak suka melihat Dylan, berdekatan dengannya, apalagi bersentuhan. Lalu ada apa dengan seringai menyebalkan itu? "—Babe." Lanjutnya sambil berbisik tepat di telinga. Sumpah demi apa, bulu kudukku langsung meremang. Keringat dingin sukses meluncur di pelipis. Aku ketakutan. Tapi lihatlah anak-anak yang menonton kejadian ini, mereka menganggap Dylan seperti pangeran berhati malaikat. Tidak tahu saja bagaimana dalamnya cowok itu. Sial! Oh, dan lihatlah Amylia yang air liurnya hampir menetes. Sudahkah aku berkata jika terkadang sahabatnya itu bisa bertingkah menjijikkan? Belum? Oke, dia menjijikkan sekarang.

"Minggir!" seruku pada akhirnya, jengah.

Dylan terkekeh dan segera mengacak rambut Jonathan sebelum pergi bersama teman-temannya, membuat anak-anak yang lain terbelalak. Dylan memang pangeran berhati malaikat, tapi untuk bisa selembut itu pada cowok, ini baru pertama kalinya mereka melihatnya.

"Jooo~!" pekik Amylia tertahan begitu Jonathan duduk di depannya. "Kau akrab dengan Dylan?"

"Tidak!" tegasku, segera melahap humburger yang dia berikan padaku banyak-banyak.

Aku tidak akan menoleh ke mana pun, tidak juga ke belakang. Entah firasat darimana, aku tahu ada yang sedang menatapku, memperhatikanku, dan memberikan seringai jelek kepadaku. Dan aku benar-benar tidak perlu menengok untuk tahu siapa orang tersebut, dan tidak perlu diceritakan karena kalian juga tahu siapa orang itu—Dylan .

"Bagaimana dengan suratku?"

"Perfect!" desisku tak suka. Gara-gara membahas surat, aku malah jadi teringat insiden kecil di toilet tadi. Aku benar-benar tidak mempermasalahkannya meski itu adalah ciuman pertamaku, yang jadi masalah adalah siapa yang menciumku barusan. Kalau cewek, sih, aku masih bisa terima. Tapi ini Dylan , cowok yang baru saja ML di salah satu bilik. Entah hal apa saja yang telah dia sentuh dengan benda najis itu sebelum menyentuh bibirku. Ugh, memikirkannya saja sudah membuatku mual.

"Lalu, bagaimana tanggapannya?" tanya Amylia antusias.

Aku mendelik. Sahabatnya ini benar-benar tidak bisa membaca situasi. Apa gadis itu tidak melihat jika aku sedang bad mood sekarang?

"Luar biasa," jawabku sarkastik.

"Oh, benarkah?"

Tapi sepertinya Amylia benar-benar tidak bisa memahami situasi. Dia mengoceh panjang lebar dengan semangat menggebu-gebu, tidak peduli jika aku sudah memberi clue untuk diam. Aku jadi pusing, dan gara-gara itu aku jadi tidak berselera makan.

"Seandainya aku jadi kau," desah Amylia pada akhirnya. "Aku bisa bertemu dengannya hampir di setiap kelas. Bahkan setelah ini kau satu kelas dengannya."

PLAK!

Imajinasiku seperti ditampar babon, Tubuhku langsung lemas seketika mendengarnya. Benar, aku melupakan satu fakta lainnya tentang jadwal kelas mereka. Aku mengerjap seperti orang bodoh. Boleh tidak aku mengabaikan suara Rumi yang terus menghantui? Aku ingin bolos sekarang.

[END] I'M NOT STRAIGHT ANYMORE [BL] [LGBT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang