Jonathan turun dengan lift pagi itu setelah menyelesaikan sarapannya dengan hanya selembar roti, tidak seperti kemarin, pintu lift kembali terbuka di lantai tiga, menapakkan sosok Amylia dengan mata bergerak gelisah. Gadis itu sangat kaku saat jalan dan berdiri di sampingnya.
Jonathan membuang muka, tersenyum diam-diam. Dia tahu jika seperti ini, Amylia sudah tidak marah lagi. Tapi memang seharusnya gadis itu tidak marah karena Jonathan tidak salah apa pun.
"Jooo, aku... ingin minta maaf," katanya perlahan, Jonathan mendengarkan. "Aku seharusnya tidak menjadi teman yang brengsek. Jika Dylan memang menyukaimu dan kau juga, aku rela, kok."
Tunggu! Tunggu! Tunggu!
Jadi Amylia masih menganggap orientasi seksualnya menyimpang? Hey, dia normal. N-O-R-M-A-L! Dia masih lurus selurus penggaris berukuran 30 centimeter.
"Amylia, aku bukan gay—"
"Tidak, Jooo, aku paham, kok!"
"Tidak. Kau tidak paham sama sekali!" Jonathan menggeleng cepat.
Saat itu pintu lift terbuka, mereka segera keluar dengan masih adu argumen. Jonathan mengerang kesal, Amylia benar-benar gadis keras kepala.
"Aku seharusnya sudah sadar saat beberapa bulan yang lalu," kata Amylia masih dengan pendapatnya. "Kau menolak seorang gadis cantik tanpa berpikir terlebih dahulu. Jika kau lelaki normal, pasti kau akan menerimanya, kan."
"Aku menolaknya karena aku tidak mengenalnya, Amylia!" kata Jonathan hampir menggeram. "Memangnya apa yang kau harapkan saat tiba-tiba seseorang datang ke mejamu dan langsung memintamu menjadi pacarnya? Aku bukan orang sedeng yang akan berpacaran dengan seorang gadis yang bahkan tidak aku tahu namanya."
Penembakan itu terjadi sekitar dua bulan yang lalu, tepat pada hari minggu. Saat itu Jonathan terpaksa menemani Amylia yang merasa kebosanan setengah mati berada di apartemen. Gadis itu mengajaknya berkeliling taman hiburan seharian, dan berakhir di sebuah cafe pada jam makan siang. Sembari menunggu Amylia yang sedang memesan makanan, Jonathan bermain dengan ponselnya, dan saat itu lah semuanya terjadi.
Seorang gadis cantik duduk tepat di depannya dengan wajah angkuh, pakaiannya terlihat mahal dan sexy. Jonathan yang merasa terusik, akhirnya mendongak dan segera menaikkan salah satu alisnya. Dia tidak mengenal gadis itu, untuk apa dia duduk di sana?
"Maaf, kursi itu sudah ada yang punya," kata Jonathan sopan.
"Aku tahu," kata gadis itu. Jonathan tidak bisa melihat langsung matanya karena tertutup kacamata hitam. "Aku datang ke sini karena aku menyukaimu dan kau harus jadi pacarku."
"Hah?"
Mata Jonathan segera mengedar. Mungkinkah ini sebuah acara reality show dan ada kamera tersembunyi?
"Aku menyukaimu dan kau harus menjadi pacarku," ulang gadis itu lagi, kini lebih tegas.
"Tidak, terima kasih," jawaban Jonathan membuat gadis itu serta beberapa cowok yang ada di sekitarnya melongo, tidak percaya.
Jonathan jengah. "Dengar, maaf telah menolakmu. Tapi sayangnya aku tidak menyukaimu, dan..." dia berhenti sejenak, "sebaiknya kau segera pergi karena temanku sudah kembali dan akan duduk di kursi itu."
Mata gadis itu sepertinya memincing, dengan kesal dia bangkit seraya berkata, "Kau akan menyesal."
Amylia melihatnya dengan jelas kejadian itu, harusnya gadis itu paham bukan? Siapa juga yang mau pacaran dengan orang asing? Tidak ada. Yah, kecuali orang itu gila. Tapi sekali lagi Amylia mengabaikan kenyataan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I'M NOT STRAIGHT ANYMORE [BL] [LGBT]
Teen FictionOriginal Story By Fandrias94 ========== Cerita ini sempat Hiatus beberapa tahun, sempat saya hapus juga di Wattpad. Karena kebetulan yang ini saya masih punya backup (yg lain bener2 ga ada), mari kita coba lanjut. Ada beberapa revisi juga, ya... Sel...