Rumi POV
Aku sudah akan menghajar Jildeon jika dia melakukan sesuatu yang berlebihan lagi, tetapi pria itu malah hanya memelukku. Pelukannya benar-benar erat, sampai hembusan napasnya terasa hangat di tengkukku.
"Rumi, tidakkah kau percaya jika aku benar-benar sangat menyukaimu," katanya. "Aku sudah memperhatikanmu dari saat kau masih seorang training. Aku tidak pernah berdebar seperti ini sebelumnya, atau memperhatikan seseorang sampai selama ini. Aku bukan orang yang sabar yang akan menunggu orang lain berpaling padaku, tapi aku sudah menunggu selama hampir empat tahun untukmu. Maaf karena aku kehilangan kesabaranku kemarin. Melihatmu hampir berhubungan sex dengan orang lain, membuatku sangat marah. Aku tidak bisa menerima itu."
Aku terbelalak mendengar ucapannya. Hampir tidak mengerti. Apa, sih, yang dia bicarakan?
"Rumi..."
"Tu-tunggu!"
Aku terdorong oleh berat tubuh Jildeon dan terjatuh ke belakang. Untungnya, aku tepat berada di belakang sofa. Meski masih terasa sakit, tetapi tidak terlalu menyakitkan.
Jildeon menatapku dengan tatapan yang sangat sendu. Anehnya, itu membuatku sedikit berdebar.
"A-apa?" tanyaku, entah kenapa tiba-tiba gugup.
"Kau pasti sangat ketakutan kemarin."
Dia sepertinya tidak ada niatan menyingkir dari atas tubuhku. Tangannya dengan lembut mengusap kepalaku, menyentuh rambutku, dan terus seperti itu. Sialan, sekarang pun aku merasa takut padanya.
"Berat!" aku mencoba mendorong tubuh itu, tetapi dia tidak bergerak satu inchi pun. Bukankah kita hampir memiliki ukuran tubuh yang sama? Kenapa dia terihat sangat dominan sekali? "Jildeon, menyingkir dari tubuhku, sialan!"
"Tidak bisa kah kau menerimaku?" Jildeon mengabaikanku dan malah menatapku seperti anak anjing. Hey, ayolah. Kau itu ibarat singa di industri permodelan, kenapa kau jadi seperti anjing kecil begini, sih?!
"Kau tidak bisa memaksaku!" aku berkata bosan, sekali lagi aku mencoba menyingkirkan tubuhnya, tetapi masih tidak bergerak. "Jil?!"
Lagi-lagi dia mengabaikanku. Mendengar seruanku tentang namanya, wajahnya langsung mengerang nampak frustasi, lalu dia memelukku lagi, menyusup ke dalam leherku. "Aku berdebar sekali setiap kau memanggil namaku begitu."
"Aku memanggilmu biasa saja!" aku juga frustasi. Tetapi aku dapat merasakannya juga, debaran jantungnya berdetak begitu cepat sekarang. Apa dia serius?
"Boleh aku menciummu?"
Pelipisku berkedut. Setelah ciuman, nanti dia minta berhubungan sex. Bagus!
"Tidak."
"Please..." Jildeon nampak merenggut. Dia memiringkan kepalanya, dan kini bibirnya sudah menyentuh kulit leherku. "Boleh, ya, aku menciummu."
Berhentilah merengek seperti anak kecil!
"Aku sesak napas. Menyingkir sekarang!" aku berseru dengan kesal.
Jildeon cemberut, tubuhnya menyingkir ke samping, tetapi tidak benar-benar membebaskanku. Sekarang, sofa itu dihuni oleh dua orang pria dewasa bertubuh besar, dan ternyata muat. Aku baru tahu jika sofaku ternyata selebar itu.
"Jildeon!" aku menoleh padanya, hendak memarahinya, tetapi tatapannya membuatku langsung terdiam. Ada apa dengan tatapan serius itu? Apa kau sedang mencoba menghanyutkanku?
Dia tidak bertanya lagi 'apa aku boleh menciummu?', karena dia sudah langsung menciumku saat itu. Ciumannya tidak menuntut seperti saat dia meniduriku kemarin. Ini ciuman lembut dan penuh perasaan. Tetapi kenapa aku jadi kewalahan menerimanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I'M NOT STRAIGHT ANYMORE [BL] [LGBT]
TeenfikceOriginal Story By Fandrias94 ========== Cerita ini sempat Hiatus beberapa tahun, sempat saya hapus juga di Wattpad. Karena kebetulan yang ini saya masih punya backup (yg lain bener2 ga ada), mari kita coba lanjut. Ada beberapa revisi juga, ya... Sel...