Jonathan POV
Sebenarnya aku masih memikirkan perkataan Dylan mengenai sex kemarin. Entah kenapa, sikapnya itu masih menggangguku. Bukankah seharusnya aku senang? Dia terlihat dewasa ketika bicara seperti itu, dan terlihat lebih pengertian juga. Tetapi aku masih saja khawatir.
Pada akhirnya aku membuka referensi mengenai hubungan sex sesama jenis. Selama hampir dua jam aku menonton video tentang hal itu, kini pikiranku dipenuhi berbagai macam gaya. Aku benar-benar sampah.
Aku membayangkan, antara aku dan Dylan, siapa yang pantas menjadi dominan? Tetapi, seberapa keras aku berpikir untuk menjadi yang di atas, itu rasanya tidak benar. Entah bagaimana aku sering membayangkan ekspresi Dylan saat sedang berhubungan sex, dia di atas, mengusap rambutnya yang berkeringat, pasti seksi sekali. Tetapi, bukankah itu berarti aku yang di bawah? Kan, sialan! Kenapa aku jadi membayangkan diriku sendiri berada di bawah Dylan?
Aku menghela napas, menutup komputerku, lalu kembali ke tempat tidur.
Apa yang dilakukan Dylan sekarang? Aku bertanya-tanya, agak ragu saat melihat ponsel. Apa aku harus menghubunginya? Ini sudah hampir tengah malam. Mungkin dia sudah tidur, kan. Tetapi pada akhirnya, aku tetap mengiriminya pesan.
[Hey.]
Lima menit. Tidak ada jawaban.
[Kau tidur?]
Masih tidak ada jawaban.
Aku kemudian mencoba menelepon dia, sambungan terhubung, tetapi hasilnya tetap nihil.
Aku melempar ponselku sampai jatuh ke lantai, tiba-tiba merasa kesal. Rasa-rasanya hanya aku saja yang merasakan rindu dalam hubungan kami. Kenapa jadi selalu aku yang menghubungi dia, sih?
Kepalaku panas sampai bangun keesokan harinya. Moodku juga buruk. Sialan, aku membanting pintu kamar cukup keras, itu cukup mengagetkan Rumi yang ternyata masih tertidur di kamarnya (pintunya tidak ditutup), untungnya tidak sampai membuatnya terbangun.
Setelah berganti pakaian, aku membereskan beberapa buku yang akan kubawa hari ini. Kulihat tas yang dibelikan Dylan. Langsung kulempar ke bawah tempat tidur. Ah, ponselku masih di lantai. Tidak ada panggilan masuk atau balasan pesan dari Dylan.
Anak ini!!!!!
Saat bertemu Amylia, gadis itu langsung menarik earphone yang kugunakan, segera berkacak pinggang.
"Serius? Kau akan ke sekolah dengan muka menyeramkan seperti ini?" dia bertanya. Aku heran.
"Kenapa mukaku?"
"Mukamu itu seperti ini," Amylia menarik garis matanya hingga menajam. "Seperti akan membunuh seseorang. Kenapa? Apa karena Rumi? Atau karena Dylan?"
"Ah, tidak apa-apa," aku tersadar. Kenapa aku harus kesal hanya karena Dylan tidak membalas pesanku tadi malam, atau dia tidak membalas teleponku pagi ini? Dia kan... sialan! Dia, kan, tidak terlalu sibuk. HARUSNYA DIA BISA MENELPONKU!! SETIDAKNYA BALAS PESANKU!!! Apa yang dia sibukkan? Mengerjakan tugas saja tidak pernah!
"Hey! Hey! Mukamu menyeramkan lagi."
Setelah turun dari bis, aku masih menunggu telepon dari dia, atau pesan pun tidak apa-apa, tetapi selain suara musik yang kuputar, tidak ada bunyi lain lagi.
Aku merasa ada yang mengganjal.
"Itu Dylan..."
"Mana?" mataku langsung mengedar, dan pandanganku langsung menangkap sosok Dylan dengan seorang gadis, tertawa di parkiran. Aku terbelalak. Rasanya seperti ada yang menusukkan duri di hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] I'M NOT STRAIGHT ANYMORE [BL] [LGBT]
Teen FictionOriginal Story By Fandrias94 ========== Cerita ini sempat Hiatus beberapa tahun, sempat saya hapus juga di Wattpad. Karena kebetulan yang ini saya masih punya backup (yg lain bener2 ga ada), mari kita coba lanjut. Ada beberapa revisi juga, ya... Sel...