Selamat malam, sambil mencari inspirasi melanjutkan cerita Rania, bisa mampir kesini dulu. Selamat membaca, semoga suka.....
Malam sudah larut, hampir pagi. Aruna berulangkali menguap, namun tidak rela memejamkan mata. Gadis itu masih setia mengerjakan tugas kuliah yang harus dipresentasikan besok siang. Dia menyesap kembali secangkir kopi yang isinya hampir tandas, kemudian meraih gawai memutar playlist musik, mengusir kantuk yang kian menjadi.
Bersamaan dengan itu ada pesan masuk, ditandai dengan layar gawai yang berpendar. "Dari siapa, malam-malam begini? Papa?" Kantuknya mendadak terbang, membaca isi pesan tersebut. Perayaan anniversary papa dan tante Neni, ibu tiri. Aruna menghembuskan napas kasar, sebenarnya dia malas pulang, tapi tentu saja dia tidak akan mengabaikan papanya, bagaimanapun besarnya rasa kecewa yang diterima, gadis berjilbab itu sangat menyayangi beliau.
****
"Eh Neng Aruna, mau pesan apa neng? Kok mukanya kusut sekali?" Bang Deden penjual bakso depan kampus antusias menyapa."Ciiieeeee, ada yang perhatian itu Ar." celetuk Nisa spontan
"Pastilah, fans aku memang banyak Nis, dari Sabang sampai Merauke, kemana saja kamu. baru tahu?" Aruna membalas santai
"Kalau maksud kamu penggemar itu adalah abang cilok, abang sayur, abang bakso, bener sih Ar," timpal Nisa
"Nah, justru itu yang penting ya bang ya, bisa menyelamatkan bidang pangan dan menjamin kesejahteraan, makanya kita harus menjaga hubungan baik dengan sesama." Aruna membela diri
"Oke, terserah kamu saja, aku lapar" Nisa memilih bangku kosong, kebetulan ada di dekat jendela, pas sekali bisa menangkap wajah-wajah rupawan mahasiswa yang lewat, lumayan.
"Bang pesan yang biasa ya bang, dua"
"Siap Neng Aruna, nanti abang kasih bonus es teh ya."
"Cakep bang." Aruna mengangkat dua jempol
"Makasih Neng, memang abang cakep sejak dulu"
"Maksudnya es teh nya bang" Aruna membenarkan ucapannya
"Yah, saya kira, neng jahat bener," gerutu Bang Deden
"Kenyataan memang selalu menyakitkan bang." Nisa menambahkan dari tempat duduknya, dengan volume suara maksimal, membuat beberapa pengunjung yang kebanyakan mahasiswa tingkat akhir memandang dua sahabat itu takjub. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dua sekawan itu adalah mahasiswi S2, yang kelakuannya begitu absurd.
"Mata kamu sebelas duabelas sama mata panda, mirip, saudaraan ya?" Nisa mengomentari penampilan sahabatnya yang terlihat lelah. "Memangnya kamu tidak tidur Ar? Atau sift malam, piket di instalasi farmasi?"
" Aku lembur buat menyelesaikan papper Prof. Sadikin, aku kira hari ini kita presentasi, ternyata masih Sabtu depan. Bayangkan tidurku cuma 2 jam," keluh Aruna, gadis berjilbab itu meletakkan kepala di meja.
"Pesanan tiba." Suara bang Deden, menghilangkan sejenak kekesalan Aruna
"Alhamdulillah, makasih bang Deden,"sambut Aruna senang, perutnya sudah minta diisi dari pagi.
"Lapar apa doyan non,?" sindir Nisa, geleng-geleng kepala melihat tingkah Aruna yang memasukkan suap demi suap bakso ke dalam mulutnya. " Eh, Ar nanti malam nonton yuk, aku baru jones ini"
"Sejak kwapwan kwamu jwadi jomblo nwgenes?" tanya Aruna sambil mengunyah makanannya.
" Hendri sibuk, meeting sampai malam, aku jadinya gabut," lanjut Nisa, sambil menuangkan kecap manis ke mangkuk baksonya.
Aruna terkikik mendengar istilah-istilah anak remaja jaman sekarang yang dengan spontan lolos dari mulut Nisa, apalagi untuk ukuran umur mereka yang hampir seperempat abad. Kalau mereka berkumpul begini, tidak akan ada yang menyangka bahwa Nisa adalah seorang guru di sebuah Sekolah Menengah Farmasi, sedangkan dia sendiri bekerja sebagai apoteker di instalasi farmasi rumah sakit terbesar di kota ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't as bitter as medicine
Teen FictionJika kamu menjadi Aruna, apa yang akan kamu lakukan? Memilih Demian sang aktor tampan yang setengah mati mengejarmu atau melabuhkan hati pada Dokter Karang yang lebih sering berdebat denganmu? Aruna harus berpikir cepat, karena warisan kakek akan di...