Una si pembela

8 1 0
                                    


Senin pagi selepas subuh, Aruna bersiap dengan sepatu kets kesangan, training olahraga dan headset ditelinga. Joging sebentar sebelum berangkat bekerja adalah kegiatan yang rutin perempuan itu lakukan. Dia ingat pesan mamanya waktu masih hidup, "berjalanlah, berlari kemudian, maka tanpa kamu sadari akan banyak keajaiban yang telah kamu buat", Aruna sekarang paham makna kalimat tersebut setelah dia dewasa.

" Aruna semangat!," teriaknya tak peduli dengan pandangan aneh orang-orang yang kebetulan berlalu di dekatnya

Aruna mulai melangkah, mengayunkan kaki, sambil menikmati dinginnya pagi yang mulai menghangat, sambil mendengarkan playlist musik dan melihat sekeliling. Untuk pagi ini dia berencana mengelilingi komplek perumahan sebelah kos saja, karena jam 8 dia harus sudah sampai di rumah sakit, sift pagi.

Sampai di tikungan depan gang perumahan, Aruna memperhatikan seorang anak laki-laki gendut memakai seragam Sekolah Dasar, dengan dua orang anak lainnya, Dia tertarik, berhenti, memantau dari jauh.

"Sini, berikan bekal makanan kamu kepada kami!",bentak anak kecil berbadan kurus kepada si gendut, teman satunya juga memelototkan mata, menggertak

"Tetapi..tapi.. aku juga belum sarapan tadi, kata ibu nanti bisa sakit" Anak gendut itu ketakutan, membuat tawa nyaring lolos dari si anak kurus.

"Cepat berikan pada kami!, cadangan lemak kamu kan banyak, pasti bisa tahan walau tidak makan seminggu"

"Haha, benar, kami membantumu untuk diet, bukankah kami baik?,timpal teman kurus satunya

Aruna gemas akan kelakuan anak kecil zaman sekarang, gadis itu mulai mendekat ke arah anak-anak tersebut, berniat melerai dan meluruskan, tetapi sebelum niatnya terlaksana, seorang anak perempuan berkepang dua keluar dari rumah, tidak jauh dari lokasi kejadian.

"Membantu apa? Membantu menghabiskan makanannya maksudmu!", teriaknya penuh percaya diri, sambil melepas ransel dan mengarahkan asal ke arah dua anak penganggu tadi,membuat mereka berlari tanpa dikomando.

"Terimakasih ya" Anak gendut itu tersenyum malu-malu

"Tidak perlu dipikirkan, lain kali kamu harus lebih hati-hati" Anak kecil itu tersenyum tulus, kemudian mereka berjalan ke sekolah bersama sama.

Aruna tersenyum melihat kejadian itu, anak perempuan tadi mirip sekali dengan dirinya waktu kecil, apalagi kalau dilihat gaya rambut kepang duanya. Kenapa tiba-tiba rindu masa indah itu, saat mama masih ada

Sementara itu, tanpaAruna sadari, Karang juga diam-diam tertarik dan menghentikan larinya. Terpaku di tempat, Anak-anak tadi membawa ingatan tentang masa kecilnya. Dia dulu selalu dijahili oleh teman-temanya, alasannya karena dia gendut dan penakut. Sampai suatu siang sepulang sekolah seorang anak perempuan, satu sekolahan tetapi berbeda kelas membela dengan berani. Una, begitu teman-teman memanggilnya.

Pemuda itu tersenyum, dia akan mencarinya, gadis cilik itu. Karena Una kecilnya, dia mampu melawan rasa takut, belajar lebih percaya diri. Dimana dia sekarang? Bagaimana wajahnya saat ini? Tanpa dia sadari, Karang tersenyum sendiri mengingat kenangan indah masa kecilnya. Una nya.

Karang melirik jam tangannya, hampir jam tujuh, sebaiknya dia pulang, karena jam setengah sembilan dia harus sudah dirumah sakit. Namun, belum genap sepuluh langkah, tiba-tiba ada sesuatu yang menabraknya, membuatnya terdorong dan jatuh.

"Astagfirulloh maaf mas saya tidak sengaja," sesal seorang yang menabrak Karang dan ternyata seorang perempuan.

"Makanya mbak kalau lari itu lihat ke depan," keluh Karang, sambil berusaha berdiri, mengacuhkan uluran tangan perempuan tadi. Karang merasakan kakinya sedikit terkilir, membuat jalannya tertatih. "Lain kali sebaiknya lebih hati-hati," lanjut Karang melihat wajah perempuan di depannya. Karang merasa tidak asing dengan wajah itu.

"Iya mas, maafkan saya. Apa perlu kita pergi ke rumah sakit?"

"Kamu? Perempuan yang kemarin menipu saya kan?", tuduh Karang yakin

Telinga Aruna memerah karena mendengar istilah penipu dari orang dihadapannya. Terdiam sejenak melakukan analisis terhadap situasi yang terjadi, beberapa saat kemudian semua terlihat jelas. Aruna mengingat kejadian di taksi Sabtu malam kemarin. "Baiklah, memang dia salah. Tapi strategi untuk menghindari konflik berkepanjangan tidak bisa disamakan dengan penipuan," batinnya.

"Benar kan? Kamu adalah perempuan di taksi malam itu?, saya sangat mengingat wajah licik itu," ucap Karang

"Astagfirulloh, apalagi mas? Sebut semuanya, silakan. Penipu? Perempuan licik?. Saya hanya berniat bertanggung jawab atas kesalahan yang saya buat. Kaki anda sakit, saya akan mengantar anda pulang," tegas Aruna mulai jengkel

"Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri," balas Karang ketus

"Terserah' anda," jawab Aruna, berbalik meninggalkan pemuda pemarah tadi. "Dasar angkuh, " gerutu Aruna.

Sementara itu Karang berjalan seperti siput, tertatih-tatih menahan nyeri. "Bisa telat sampai rumah sakit kalau seperti ini," keluhnya, sedikit menyesal menolak bantuan perempuan itu. Sudah lima belas menit berlalu pagar rumahnya belum terlihat, apalagi gawainya sengaja ditinggal di kamar tadi, sehingga dia tidak bisa menghubungi siapapun.

"Duduk!" perintah Aruna yang tiba-tiba muncul di samping Karang membawa kursi roda. Aruna pulang ke kos, kemudian meminjam kursi roda. Kebetulan ibu kos dulu pernah jatuh dari motor dan menggunakan kursi roda sementara pasca operasi. "Ayo duduk, saya tidak mau anda sebut sebagai perempuan tidak punya tanggung jawab,"lanjut Aruna melihat Karang terpaku di tempatnya.

"Kamu, bukannya sudah pergi?," tanya Karang, sambil perlahan duduk di kursi tersebut, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa segera sampai dirumah.

"Saya tidak sejahat itu," balas Aruna sambil mendorong kursi roda. "Bisa ditunjukkan dimana rumah anda?"

"Lurus saja, nanti di perempatan depan belok kanan. Rumah saya ada di sebelah kiri," jawab Karang.

"Anda berat juga," gumam Aruna pelan, namun ternyata masih terdengar di telinga Karang.

"Kalau tidak ikhlas membantu, tidak apa-apa," balas Karang

"Kenapa ya, pikiran anda bahkan tidak selebar daun kelor, lebih banyak berburuk sangka," cetus Aruna kesal.

"Apa tadi yang kamu katakan?" Karang tidak terima

"Sudah sampai, silakan turun," kata Aruna, malas berdebat kembali. "Semoga kita tidak bertemu kembali," gumam Aruna sambil berbalik arah meninggalkan Karang.

"Siapa juga yang ingin bertemu kamu lagi!" teriak Karang emosi, melihat punggung gadis itu menghilang di tikungan depan.Tapi bagaimanapun gadis itu sudah membantunya, Karang bahkan lupa mngucapkan terimakasih. "Sudahlah, saatnya bersiap-siap ke rumah sakit", gumam Karang, memilih masuk rumah dan mengobati kakinya sebentar. 

Love isn't as bitter as medicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang