Suara Mengaji

15 1 2
                                    

Sholat magrib berjamaah sudah berlalu lima belas menit yang lalu. Aruna masih betah berlama-lama duduk tanpa melepas mukenaya. Dia memutuskan membaca beberapa ayat kitab suci, untuk menenangkan diri, menguatkan hati kembali sambil menunggu sekalian kumandang adzan isya. Perjuangannya masih panjang, dan dia tidak sendirian, karena dia memiliki Allah sang pembuat kehidupan.

Sementara itu, di sisi lain masjid, Karang belum beranjak dari tempat duduknya, memeriksa beberapa pesan masuk pada gawainya yang terabaikan selama seharian ini. Karang meluruskan kaki, menatap langit-langit masjid rumah sakit dengan lampu-lampu gantung yang megah. Sepanjang yang Karang ketahui hari ini, rumah sakit memiliki manajemen yang baik, sarana-prasarana yang mumpuni. Karang yakin dia bisa mengemban amanah ini dengan baik. Hanya saja dia tidak memperhitungkan keberadaan Tasya sebelumnya. Dan lagi perempuan bernama Aruna ternyata adalah salah satu apoteker di instalasi farmasi. Lamunan Karang tiba-tiba terputus oleh suara merdu lantunan ayat suci, suara mengaji. Suara yang begitu menenangkan. "Suara siapa?" Karang penasaran, berjalan menengok sisi masjid yang lain. Perempuan dengan mukena merah muda. "Siapa dia?" batin Karang. Suara itu mengingatkan akan Una kecilnya yang dulu sering mengajaknya mengaji. Anak itu juga sangat merdu kalau membaca Al Qur'an. Karang betah berlama-lama mendengarnya. "Dimana Una sekarang? Apa dia sudah memiliki keluarga?atau jangan-jangan sudah memiliki anak- anak lucu?". Karang menggeleng, tidak rela akan angan-angannya sendiri. "Semoga dia masih sendiri". Harapnya

***

"Kamu lagi?" Karang bertemu dengan Aruna saat keluar dari masjid selepas sholat isya.

Aruna menghela napas panjang, "Bagaimana dr. Karang yang terhormat, apa ada kesalahan yang saya lakukan lagi kali ini?" tanya Aruna.

"Kenapa menghela napas seperti itu?"

"Apa menghela napas saja saya harus meminta ijin dr?" tanya Aruna lagi, masih kesal dengan kejadian tadi siang di kantin. Dia dipaksa pura-pura menjadi pacar pria tersebut untuk menghindari dr Tasya. Sebenarnya apa yang terjadi diantara mereka Aruna tidak ambil pusing, selama itu tidak melibatkannya.

"Kamu berani ya sama saya?"tanya Karang, melihat wajah datar Aruna. Biasanya kebanyakan wanita akan terpesona dengan wajah Karang yang tampan itu. Tapi perempuan ini berbeda.

"Maaf, sepertinya jam kerja saya hari ini sudah selesai, jadi bisakah diskusi tidak berarah ini kita hentikan saja?"

"Kamu masih memiliki utang dengan saya", ujar Karang

"Hutang?". Aruna mengernyitkan dahi

"Apa perlu saya perjelas?. Pertama, kejadian kartu ATM di dalam taksi. Kedua, kaki saya. Baru tadi pagi terjadi. Semoga anda belum lupa" terang Karang meastikan. Dia harus bisa memaksa gadis ini untuk bersandiwara menjadi kekasihnya untuk sementara. Dia tidak ingin Tasya kembali masuk ke dalam hidupnya.

"Saya akan bertanggung jawab sesuai kesalahan yang saya lakukan dok, tapi tidak dengan sandiwara kekanakan untuk menghindari masalah yang mungkin dokter buat sendiri. Saya tidak mau menjadi tempat bersembunyi dokter dan menjadi bahan gossip di rumah sakit ini", jelas Aruna panjang lebar

Karang tersenyum samar, memuji dalam hati keberanian wanita yang ada di hadapannya."Baiklah, semua ada di tangan anda nona Aruna, karena saya berhak memindah atau memberhentikan siapapun mulai hari ini dengan posisi saya"

"Apakah anda memang suka mengancam dok?", tanya Aruna dengan nada naik satu oktaf

"Dunia memang kadang kejam Nona", jawab Karang santai

"Sepertinya saya hanya menghabiskan waktu percuma disini, saya permisi", pamit Aruna meninggalkan Karang yang tersenyum penuh kemenangan. Selama ini sebenarnya tidak pernah sekalipun Karang menggunakan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan pribadinya. Tapi untuk saat ini,tidak ada pilihan lain. Dan gadis itu akan menjadi teman berdebat yang menarik sepertinya.

***

"Kamu sedang mengerjakan apa?, sudah jam satu dinihari kenapa belum tidur?" tanya Ratna ketika keluar kamar dan berniat mengambil wudhu untuk sembahyang malam, menemukan putranya masih sibuk dengan layar laptopnya.

"Bukan apa-apa ma, aku hanya mempelajari beberapa laporan di instalasi farmasi dan instalasi lain, supaya bisa cepat menyesuaikan diri. Aku ingin membuktikan kepada semua orang bahwa Karang Junior Wardoyo mampu bukan karena aji mumpung sebagai keturan keluarga Wardoyo"

Ratna tersenyum bangga."Mama senang mendengarnya"

"Karang akan berusaha keras memajukan rumah sakit dan menjadi dokter yang baik, supaya aku bisa membuka cabang rumah sakit di Australia atau kembali kesana suatu saat nanti"

"Rupanya kamu belum mengubur keinginan kamu untuk kembali ke negeri orang Karang?"

"Bukan begiu ma", jelas Karang, mencari alasan. Jujur dua minggu di Indonesia, belum membuat Karang merasa betah.

"Menikahlah Karang, tinggalkan cucu dan istrimu bersama mama, kalau kamu ingin bebas pergi"

"Mama, apakah tidak ada topik penting selain pernikahan yang selalu mama diskusikan?", protes Karang, membuat Ratna tertawa

"Karang Junior Wardoyo, selama kamu bersikeras kembali ke negeri orang, mama tidak akan putus asa menyuruhmu menikah, lagipula apa salahnya membangun keluarga nak?"

" Karang belum menemukan seseorang yang bisa membuat Karang rela melakukan apapun untuknya, seorang yang nanti akan menjadi menantu mama dan ibu dari penerus Wardoyo, bukan sembarangan perempuan"

"Tasya apakah tidak termasuk di dalamnya, dia sering menanyakan kamu ke mama saat kamu masih di Australia"

"Cerita dengan Tasya sudah selesai ma, dia bukan perempuan tangguh yang bisa Karang jadikan pendamping hidup", jelas Karang. Jari-jarinya masih berselancar di keyboard laptop membuka beberapa folder rumah sakit.

"Kamu itu cari istri atau mau cari bodyguard Karang?"

"Keduanya ma, biar bisa menjaga perasaan Karang, martabat keluarga, kehormatannya sendiri dan ibadahnya", jawab Karang, sambil membayangkan sosok Una kecilnya yang pemberani dan suka mengaji. Semua criteria yang disebutkan Karang, mungkin dimiliki oleh Una dewasa. Karang sendiri sulit menebak bagaimana wajahnya sekarang, putih, hidung menjulang, bola mata besar, bulu mata lentik, berlesung pipit, pasti dia tumbuh menjadi gadis yang lemah lembut.

"itu foto-foto liburan yang diambil tahun lalu", ucap Ratna. Karang mengerutkan dahi, tidak mengerti sebelumnya, namun paham semenit kemudian setelah memandang layar laptop yang menampilkan beberapa kegiatan dengan latar belakang pantai. Bahkan Karang baru sadar kalau jarinya tidak sengaja membuka folder tersebut.

"Ini siapa ma?"tanya Karang, ketika menemukan wajah seorang gadis yang duduk santai di atas pasir tanpa alas, memandang takzim pada matahari terbenam.

Ratna mendekat, melihat lebih jelas. Wajah Ratna tiba-tiba berbinar hanya dengan melihat gambar tersebut."Cantik ya?", goda Ratna

"Biasa saja," balas Karang, walau ekspresinya berkata lain

"Namanya Aruna, apoteker koordinator managemen kefarmasian," jelas Ratna. "Anaknya penuh semangat, bertanggung jawab, kinerjanya bagus selama ini. Kamu tahu? Hampir semua pasien yang pernah berinteraksi dengan Aruna memberikan respon positif, kata mereka senyum gadis itu menular"

Karang tertawa mendengar istilah yang diucapkan mamanya. "Seperti penyakit saja ma, bisa menular?"

"Awalnya mama juga tidak percaya, tetapi semakin hari mama mengenalnya, senyum Aruna memang ajaib. Satu lagi, kalau kamu menginginkan pendamping yang tangguh, Aruna ada diperingkat pertama kriteria kamu"

"Ini pasti niat terselubung Mama, supaya Karang penasaran dengan dia, supaya Mama bisa menjodohkan Karang dengan perempuan ini kan?," ucap Karang curiga

Ratna mengangkat bahu."Terserah kamu kalau tidak percaya, mama mau sholat tahajud dulu. Kamu jangan lupa sholat juga"

"Iya ma, sebentar lagi,"ucap Karang. Lalu kembali melihat gambar wajah Aruna, tanpa Karang sadari, sebenarnya dia sudah penasaran dengan gadis pembuat masalah itu. 

Love isn't as bitter as medicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang