Senyum yang menular

9 0 0
                                    

"Selamat pagi ibu yang cantik, bagaimana kabarnya ibu? Sehat bu?," sapa Aruna ramah kepada pasien di depannya

Dalam waktu singkat wanita paruh baya tersebut tersenyum senang menerima sapaan Aruna, lupa kalau sedetik yang lalu dia ingin meluapkan kemarahan karena antrian penebusan resep yang tidak kunjung selesai. Kekesalannya menguap bersama senyum ramah gadis di hadapannya.

"Ibu, anda mendapatkan dua obat ya. Obat pertama berfungsi untuk menurunkan gejala asam urat ibu, minumnya cukup dua kali sehari. Obat kedua untuk mengurangi pegal-pegal ya bu,"jelas Aruna.

"Sebenarnya saya sudah capek mbak minum obat terus," keluh paseien tersebut

"Capek, malas, bosan itu biasa kok bu, saya juga kadang seperti itu," jawab Aruna santai

"Oh ya?" tanya ibu berkulit putih itu penasaran

"Iya bu, tapi saya mencoba mengingat orang-orang sekitar yang peduli dengan saya, yang selalu ada buat saya. Saya jadi semangat lagi, "cerita Aruna jujur. Dia selalu mengingat almahrum mamanya jika sedang bersedih.

"Makasih ya mbak, sudah mengingatkan untuk bersyukur", balas ibu tersebut tersenyum

"Alhamdulillah ibu, saya juga masih terus belajar. Jangan lupa obatnya diminum. Hindari makan kacang-kacangan ya bu, termasuk olahannya,"pesan Aruna sebelum ibu itu pergi

"Makasih mbak"

"Sama-sama ibu, sehat selalu"

***

"Alhamdulillah selesai juga hari ini." Aruna meluruskan kakinya, merentangkan tangannya tinggi-tinggi ke atas, berharap rasa lelahnya terbang ke atas,lalu menguap seperti kepulan asap.

"Selesai apanya?," sanggah Ines yang muncul membawa 2 botol minuman dingin, memberikan satu kepada Aruna.

"Memangnya ini jam berapa? Sudah saatnya ganti sift kan kita?,"tanyanya penasaran

"Seharusnya begitu." Ines meneguk satu botol penuh teh kemasan itu sekali habis. Bukan karena haus, tetapi karena kesal, dia tidak bisa pulang tepat waktu seperti yang dia janjikan kepada putranya. Padahal mereka berjanji akan merayakan ulang tahun anaknya bersama-sama. "Darel pasti menungguku," keluhnya sedih.

"Oh iya, anak gantheng itu hari ini ulang tahun kan?," Tanya Aruna memastikan, dia teringat akan kado yang sengaja dia siapkan sejak semalaman untuk Darel, putra semata wayang Ines yang berusia 5 tahun.

"Apa ini?."tanya Ines saat Aruna menyodorkan tas kado bergambar pahlawan super.

"Untuk keponakanku solehku,"jawab Aruna santai, tidak menghiraukan raut wajah Ines yang terharu, matanya bahkan mulai berkaca-kaca."Sudah, tidak perlu berlebihan mbak, hanya hadiah kecil tidak berharga. Aku hanya ingin Darel tahu, dia punya banyak orang yang menyayangi dan peduli padanya", lanjut Aruna.

"Ar, Terimakasih ya, semoga Allah membalas kebaikan kamu selama ini kepadaku dan Darel. Darel pasti senang," lanjutnya sambil mengusap air matanya yang hampir lolos. Ines bukan perempuan lemah, hanya saja ketulusan Aruna membuatnya tersentuh, apalagi selama ini dia membesarkan anaknya seorang diri. Suaminya meninggalkannya dengan perempuan lain.

"Memangnya ada acara apa sehingga kita harus stay disini?," tanya Aruna, merobek lamunan Ines

"Ada penyampaian hasil keputusan direksi, direktur utama kita baru sepertinya,"jawab Inez, sambil tangannya sibuk menari di atas layar gawai, mengirim pesan kepada pengasuh anaknya.

"Memangnya Bu Ratna mau kemana?"

"Aku juga tidak tahu, tapi kabarnya yang menggantikan anaknya. Seorang dokter muda, spesialis anak, Bu Ratna akan beristirahat, cukup duduk sebagai komisaris melakukan pengamatan" jelas Ines. "Katanya juga sih, dokter itu tampan dan belum punya istri," lanjut Ines

Love isn't as bitter as medicineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang