"Assalamualaikum Mia, masih ingat saya?"
"Walaikumsalam, siapa ya ini?", tanya suara dari seberang
Karang menepuk jidatnya, baru sadar mereka bicara melalui sambungan telepon, satu lagi mereka sudah tidak bertemu hampir puluhan tahun lamanya.
"Saya Karang, kita satu sekolahan waktu Sekolah Dasar dulu di SD Nusa Merdeka", jelas Karang
"Karang?", Mia bertanya, sepertinya Mia sedang berusaha mengingat-ingat.
"Iya, anak gendut, penakut yang setiap hari menjadi bahan ejekan teman-teman," Karang mencoba memberi petunjuk
"Oke, iya iya saya ingat, anak gendut, culun dan suka menangis itu bukan?"
Karang menghela napas, merasa parah sekali dirinya waktu kecil. "iya, memang begitu keadaan saya saat kecil"
Mia terkekeh dari seberang. "Maaf, bukan maksud memperjelas, hanya memastikan saja. Bagaimana kabar kamu, sudah pulang ke tanah air?"
"Alhamdulillah baik, sudah di Indonesia beberapa minggu terakhir ini. Darimana kamu tahu saya pindah dan menetap di luar negeri?", tanya Karang penasaran
"Una. Katanya kamu pergi jauh sekali, Una sangat sedih waktu kamu pindah".
"Benarkah?"tanya Karang tidak percaya. Dimata Karang Una adalah gadis kecil populer, pintar dan pemberani. Seperti tidak pas saja kalau Una bersikap melankolis.
"Iya, dia menulis surat setiap hari di buku diarynya untuk kamu, walau tidak pernah dia kirimkan. Dia suka sekali menulis", jelas Mia
Satu fakta yang baru diketahui Karang, membuat hatinya hangat. "Mi, kamu tahu tidak dimana Una sekarang?" tanya Karang penuh harap
" Terakhir aku satu sekolah dengannya saat SMP, mendekati hari kelulusan mamanya meninggal, dan selang beberapa lama papanya menikah lagi. Una kemudian pergi dari rumah itu, dengan alasan kuliah"
"No telepon? Alamat rumah atau akun sosial media, tidak ada juga?" tanya Karang
"Sebulan yang lalu aku mencari Una lewat media sosial, aku mengirim undangan pernikahanku, Aku mendapati bingkisan dari Una, tapi dia tidak menemuiku. Kucoba menghubungi lagi melalui sosial media tapi tidak ada balasan. Entah akunnya bermasalah atau dia lama tidak membuka sosial media".Mia menceritakan secara detail yang diketahuinya
Karang berjalan mendekati jendela, terlihat jalanan Jakarta yang begitu padat di bawah sana. "Baiklah, bisakah saya meminta akun media sosialnya?"
"Tentu saja boleh, dia pasti akan bahagia sekali kalau tahu kamu mencarinya"
"Terimakasih, nanti bisa kamu kirim lewat message ya," pinta Karang
"Oke . Ehm kalau boleh tahu apakah kamu juga akan mengirimkan undangan pernikahan untuk Una? Maksudku". Mia tampak hati-hati menata kalimatnya."Kenapa kamu mencarinya setelah lama pergi?", tanya Mia pada akhirnya
"Sejujurnya, aku ingin berterimakasih padanya",jawab Karang
"Baiklah kalau begitu, tidak menjadi masalah seharusnya kalau Una sudah memiliki pendamping" kata Mia menggoda Karang
"Apa, Una sudah menikah?" suara Karang naik satu oktaf, tidak bisa menutupi rasa kegetnya. "Apakah ini berarti aku terlambat?", gumamnya lirih, walau masih bisa didengar Mia
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't as bitter as medicine
Teen FictionJika kamu menjadi Aruna, apa yang akan kamu lakukan? Memilih Demian sang aktor tampan yang setengah mati mengejarmu atau melabuhkan hati pada Dokter Karang yang lebih sering berdebat denganmu? Aruna harus berpikir cepat, karena warisan kakek akan di...