"Apakah resep yang kamu buat sesuai dengan yang saya tuliskan?"tanya Karang penuh selidik, mereka sekarang berada di ruangan praktek dokter Karang, setelah selesai melakukan visit beberapa pasien anak, termasuk Namira.
"Apakah dokter meragukan kemampuan saya? Atau mungkin dokter menuduh saya secara tidak langsung?" tebak Aruna, berdiskusi dengan dokter muda ini selalu berakhir perdebatan sengit antara keduanya.
"Saya hanya bertanya, kenapa kamu selalu membalas dengan amarah. Ingat kamu adalah apoteker di rumah sakit ini, jadi secara tidak langsung kamu adalah bawahan saya", jelas Karang. "Beberapa orang bahkan tahunya kamu adalah kekasih saya?" goda Karang
" Saya bukan kekasih dokter, jadi sebaiknya dokter melakukan klarifikasi, kalau perlu mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya"
"Kalau saya tidak mau, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Karang menantang, membuat Aruna langsung berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan kesal,padahal diskusi mereka tentang Namira belum selesai.
"Dasar menyebalkan,"batin Aruna, memutuskan kembali ke instalasi farmasi.
"Sudah beres visitnya?" tanya Ines melihat Aruna datang dengan wajah ditekuk. "kenapa muka kamu?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Ines, Aruna malah menanyakan hal lain. "Persediaan farmasi aman ya mbak?"
"Masih aman, beberapa antibiotik kemarin sempat kosong dari Pedagang Besar Farmasi, tapi baru saja bagian marketing dari PBF yang kita order obatnya sudah memastikan siang ini obat sudah ready" Ines menjelaskan
"Alhamdulillah,syukurlah," jawab Aruna, tangannya kini sibuk membantu Ines meracik dan menyiapkan beberapa resep yang masuk instalasi farmasi hari ini.
"Kamu mau melakukan Komunikasi dan edukasi ke pasien tidak?,"tanya Ines, ditangannya terdapat kotak kecil berisi beberapa copi resep dan obat yang siap diserahkan kepada pasien.
"Boleh mbak, daripada badmood gara-gara dokter baru itu"
"Dokter baru siapa?" tanya Ines, tampak wajahnya sedang berfikir
"Direktur utama rumah sakit Medina Sejahtera mbak Ines,"jelas Aruna.
"Ooo" Ines membulatkan mulutnya sebagai respon
"Hanya Ooo?" gerutu Aruna
"Jangan terlalu benci dengan seseorang, nanti jatuhnya jadi cinta," goda Ines, menahan senyum
"Hanya dalam anganmu mu Mbak Ines..," protes Aruna. "Mana obatnya, aku mau kedepan dulu bertemu pasien"
"Oke," kata Ines sambil menyerahkan setumpuk obat dan copi resep kepada Aruna
***
"Mas Arkan Wijaya, adakah yang ditanyakan?. Penjelasan saya tentang aturan minum obat dan penyimpanan obatnya bisa dipahami?".Aruna tersenyum ramah, memperlihatkan lesung pipitnya.
"Paham sekali mbak, terimakasih mbak Aruna" balas pasien tersebut dengan senyum tulus.
"Terimakasih Mas Arkan, semoga segera sembuh dan bisa beraktivitas kembali"
" Amin, semoga mbak Aruna sehat selalu" jawab pasien tersebut ,lalu beranjak pergi meninggalkan Aruna yang masih sibuk dengan puluhan obat di tangannya. Bersiap memanggil pasien selanjutnya. Namun tiba-tiba dokter Karang muncul dihadapannya.
"Kenapa kamu jarang memperlihatkan senyum kalau sedang bersama saya?" tanyanya tiba-tiba.
"Astagfirulloh dokter Karang, apakah anda perlu menanyakan hal yang tidak penting disaat seperti ini? Pasien yang antri masih banyak, jadi saya mohon untuk tidak membuat antrian memanjang"
" Dasar tidak sopan", gerutu Karang sambil berlalu.
"Sabar ya Allah" batin Aruna, sedikit takjub dengan perilaku dokter muda tersebut
***
"Kak Dewa jadi menjemput Una tidak. Kalau Kak Dewa repot Una pulang sendiri?" tanya Aruna dari telepon. Kemarin malam Dewa mengirim message bahwa hari ini dia akan mengajak Aruna jalan-jalan. Dewa yang kebetulan ada pemotretan dengan salah satu stasiun televise swasta, dimana lokasinya tidak jauh dari rumah sakit Medina Sejahtera, tempat bekerja Aruna.. "Alhamdulillah, sudah lama sekali rasanya tidak melihat keadaan luar, selain rumah sakit dan kampus, sepertinya memang aku butuh jalan-jalan" batin Aruna semangat.
"Jadi, ini aku sudah sampai di basement, aku perlu naik ke lantai atas atau bagaimana?" tanya Dewa
"Tunggu disana kak, sebentar lagi Una turun. Tunggu di sebelah mushola ya kak" pinta Aruna,menutup sambungan telepon, lalu bergegas menuju lift yang akan mengatarnya ke lantai basement. "Ya Allah dia lagi" gumam Aruna lirih, saat melihat Karang berdiri sendirian di dalam lift tersebut.
"Mau masuk atau menjadi patung disana?", tanya Karang, melihat Aruna hanya berdiri di tempat
Aruna diam, memilih mengabaikan pertanyaan Karang, tetapi kakinya melangkah masuk ke dalam lift.
Layar gawai Aruna berkedip, menandakan ada pangggilan masuk. Buru-buru diangkatnya, khawatir kalau Dewa yang menelpon. "Nomor tidak dikenal." Dahi Aruna berkerut, memutuskan untuk tidak menjawab panggilan tersebut.
"Itu nomor telepon saya, kamu harus menyimpannya dengan baik. Jika saya menghubungi kamu, jangan berani untuk tidak membalas, ataupun menolak panggilan saya" ucap Karang, menurunkan gawai dari telinganya.
Aruna memejamkan mata frustasi, memilih tidak menjawab dan meladeni Karang, karena hanya akan memancing amarahnya. Dengan sabar Aruna berharap lift segera sampai ke basement. Aruna buru-buru keluar lift mencari keberadaan Dewa, sedangkan Karang berjalan menuju mobilnya.
"Kak Dewa, aku disini" Aruna melambaikan tangan. Wajahnya begitu ceria melihat Dewa berdiri tidak jauh darinya.
"Hei, sudah makan siang Una?" tanya Dewa, menghampiri Aruna, membawakan tas dan membukakan pintu mobil. Dari dulu Dewa adalah kakak lelaki yang perhatian, salah satu alasan Aruna untuk tetap bersyukur saat ini.
"Belum kak, Una lapar sekali. kak Dewa mau traktir Una?" tanya Aruna dengan mata yang berbinar senang.
Dewa tertawa melihat kesederhanaan Aruna, adik tirinya yang baik yang harus sedikit menderita karena perilaku Neni dan Devi. Diam-diam Dewa mengetahui segalanya, bahwa rumah yang mereka tinggali , semua fasilitas yang mereka miliki sebagian adalah milik Aruna. Dewa hanya ingin menjaga Aruna dengan baik, menjadi kakak yang seharusnya. "Iya, bukankah kamu sangat beruntung punya kakak seperti aku. Sudah terkenal, tampan, baik hati pula?" Dewa memuji dirinya sendiri.
"Iya, iya yang suka memuji diri sendiri. Aku iyakan saja, biar senang", balas Aruna
"Kamu, mau makan apa?"tanya Dewa
Apa ya?".Una terlihat berfikir. "Boleh yang mahal tidak?". Aruna meringis, sebenarnya memang dia sudah lama sekali tidak makan seafood. Aruna memang harus berhemat untuk mencukupi biaya kuliahnya.
"Boleh. Apa saja bebas, Kak Dewa banyak job"
"Alhamdulillah, yes makan enak" seru Aruna girang
"Dasar, anak kecil", cibir Dewa, sambil mengelus kepala Aruna sayang
"Biarin, kan punya kaka kaya"
"Ya sudah, yuk kita berangkat"
"Siap kak", jawab Aruna antusias, sambil masuk ke dalam mobil.
Sementara itu Karang masih diam di dalam mobilnya. Dari kaca depan yang tidak jauh dari mobil Dewa yang terparkir Karang bisa melihat jelas interaksi antara Aruna dengan Dewa, walau dia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. "Siapa lelaki itu?" tanya Karang lebih kepada dirinya sendiri. Satu hal lagi yang membuat Karang bertanya-tanya, Aruna suka sekali tersenyum, tapi tidak kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love isn't as bitter as medicine
Підліткова літератураJika kamu menjadi Aruna, apa yang akan kamu lakukan? Memilih Demian sang aktor tampan yang setengah mati mengejarmu atau melabuhkan hati pada Dokter Karang yang lebih sering berdebat denganmu? Aruna harus berpikir cepat, karena warisan kakek akan di...