↷ ⁞ that's you?

36 8 0
                                    

Haii, jangan lupa tinggalkan jejak, ya!!

◠ ‿ ◠

Asha menuruni anak tangga sembari bersenandung riang, membenarkan ikatan rambutnya yang sedikit longgar. Menghampiri ayah dan bunda yang sudah menunggu dirinya di meja makan. Asha menyapa ayah dan bunda dengan senyum-man manisnya dan ciuman.

"Selamat pagi, ayah, bunda,"

"Pagi anak ayah yang cantik," ayah mencium kening Asha dengan lembut.

Asha duduk di kursi yang berhadapan dengan bunda. Dan ayah di sebelahnya. Melirik masakan bunda yang tertata rapi di atas meja dengan lahap. Ada sup brokoli dan telur mata sapi. Bunda tidak mau ada asisten rumah tangga karena menurutnya tidak perlu. Katanya, selagi bunda masih bisa kenapa harus pakai asisten rumah tangga? Padahal ayah selalu membujuk bunda supaya mau pakai asisten rumah tangga biar bunda tidak kecapekan. Bunda tetap tidak mau.

Bunda mengambilkan nasi dan sup ke piring Asha dan ayah. Asha memasukkan sesuap nasi kedalam mulutnya.

"Gimana lukanya, sayang?" Asha menelan makananya, melirik luka yang ada di lututnya.

"Udah kering kok, bunda,"

"Kamu tuh lain kali hati-hati kalo jalan, jangan sampai kesandung terus luka. Kasian bunda nangis-sin kamu semalaman." Ucap ayah sambil menatap Asha dengan mimik wajah khawatir.

"Iya, ayah.. kemarin malem tuh lampu jalan gak nyala, jadinya Asha gak terlalu jelas liat jalan. Jadi deh jatuh."

Ayah, bunda, maaf Asha bohong..

Asha benar-benar bingung. Hanya luka sedikit saja bunda sampai menangis. Bahkan ayah juga sama, walaupun hanya memperlihatkan mimik wajah yang begitu khawatir. Seakan-akan itu luka besar yang perlu perawatan seorang dokter. Asha tidak bisa membayangkan kalau dirinya dirawat bagaimana reaksi bunda dan ayah. Apa lebih dari sebuah tangisan?

"Kamu mau ayah antar ke sekolah?" tanya ayah setelah meneguk air.

Asha menggeleng kan kepalanya, "nggak, ayah, Asha sama Chala berangkatnya." Ayah megangguk mengerti.

Asha sudah janjian kemarin malam dengan Chala akan berangkat sekolah bareng. Asha memang sering berangkat bareng dengan Chala bahkan pulang pun bareng naik motor milik Chala. Ya, walaupun tidak sering. Ngomong-ngomong Asha tidak bisa naik motor. Kelas dua SMA tidak bisa naik motor. Dia pernah belajar motor bareng dengan Chala namun yang ada dirinya selalu jatuh.

Asha selalu iri liat anak SMP bahkan SD sudah bisa naik motor. Di lubuk hati yang paling dalam tuh ingin sekali bisa mengendarai motor. Tapi, pikirannya tuh selalu kemana-mana yang bikin dirinya panik saat mengendarai. Pikirannya tuh selalu, kalo ketabrak, gimana? Kalo jatuh, gimana? Bagaimana tidak kesal?

Tin! Tin! Tin!

Asha langsung bangkit dari duduknya mendengar klakson motor milik Chala. Menggendong tas-nya di bahu kanan.

"Ayah, bunda, Asha kedepan dulu, ya,"

Asha berlari keluar rumah menghampiri Chala yang terduduk di atas motor sambil mengaca di spion.

"Chala, lo bawa helm gue, 'kan?"

Chala mengangkat jempol-nya, "bawa dong tsay,"

Asha langsung memakai sepatunya. Memakai helm yang sama dengan milik Chala. Kita membelinya bareng, bahkan sengaja warnanya sama.

"Pagi, om, tante," Chala turun dari motor, menghampiri ayah sama bunda yang baru saja keluar. Ayah, bunda menyapa balik Chala dengan senyum.

"Kalian hati-hati loh bawa motornya." Ucap ayah dengan tegas.

Sha'Kya ; On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang