5. Protagonis mendekat

14.5K 1.4K 17
                                    

Alana evandari.

Seperti protagonis pada umumnya. Gadis sederhana yang lugu, cantik, polos, dan semua kebaikan menempel dalam dirinya.

Alana dulu sering dibully oleh Jesslyn dan Lisya tepat pada hari ulang tahunnya. Alana dibawa kedalam gudang, disiram, dirundung hingga akhirnya ia mengalami depresi ringan. Saking seringnya dibully oleh mereka.

Saat itu Kenneth melihat gerak-gerik Jesslyn yang mencurigakan, jadi mengikutinya hingga sampai akhirnya Kenneth mendobrak pintu gudang, Kenneth mengadukan kepada kepala sekolah. Awalnya mereka akan dikeluarkan dari sekolah karena sudah beberapa kali membuat kesalahan seperti ini.

Namun, keesokan harinya beberapa orang yang mengetahui mereka berdua akan dikeluarkan justru terkejut saat kembali hadir di sekolah tanpa rasa bersalah.

Iya, orang tua Jesslyn berusaha keras agar Jesslyn tidak dikeluarkan dari sekolah. Salah satu caranya, yaitu dengan uang. Jadi kesalahan Jesslyn dianggap sudah dimaafkan, dan kejadian seperti ini dianggap sudah maklum terjadi di berbagai sekolah. Sehingga guru menganggap sepele tentang pembullyan.

Dari situlah, awal pertemanan Kenneth dan Alana. Mereka akrab, Alana yang dulu tidak punya teman jadi mempunyai teman yang selalu ada seperti Kenneth. Dan Alana juga sedikit demi sedikit terhibur dengan keberadaan Kenneth.

Hingga pada akhirnya Kenneth menyimpan perasaan yang lebih dari teman kepada Alana. Namun Alana tidak mengetahui itu, ia tipe orang yang susah untuk peka. Lalu saat itu Alana mengenal Arvie, karena satu-satunya teman Kenneth hanyalah Arvie. Mereka teman dekat, otomatis Alana juga masuk ke kehidupan mereka berdua.

Arvie pun tak butuh waktu lama untuk menyukai Alana meski awalnya gengsi. Sampai akhirnya mereka berpacaran meski awalnya Alana tidak tega, dia tidak mau berurusan dengan Jesslyn yang dulu sering membullynya. Tapi karena Arvie memaksa, dan mengiming-iming akan melindunginya, Alana terima meski awalnya berat.

"Kamu gimana setelah kemarin bangun dari koma, apa rasanya masih sakit?" Alana bertanya pada Jesslyn yang sekarang berada di meja kantin yang sama. Sengaja Alana menemani Jesslyn karena sedari tadi hanya sendirian, Lisya tidak sekolah hari ini.

Kabarnya gadis itu tengah banyak urusan.

Oh tentunya tidak hanya Alana, ada dua bodyguard nya yang setia di samping Alana. Yang sedari tadi mengamati Jesslyn.

"Biasa aja." Jesslyn menggeleng sembari fokus dengan roti yang ia kunyah.

Jesslyn sudah tidak nafsu makan, rotinya menyangkut di tenggorokan. Dari tadi masih terbayang-bayang kejadian buruk yang akan menimpanya nanti. Tatapan Arvie dan Ken seolah mau menelannya hidup-hidup membuat Jesslyn merasa risih. "Lo berdua demen ya sama gue?"

Kenneth mengerutkan keningnya. Akhir-akhir ini, Jesslyn jarang sekali berkata serius, kalimat apapun yang keluar dari mulutnya penuh dengan candaan. "Lo bener-bener berubah apa cuma pura-pura?"

Jesslyn memutar kedua bola matanya malas. "Gak."

Alana bertepuk tangan seperti anak kecil. "Apa aku bilang, Jesslyn udah jadi orang baik. Aku jadi suka, kamu aslinya baik banget,"

Arvie memicingkan matanya. "Lo pura-pura berubah gini karena udah tau gue bakalan bunuh lo?"

"Gue gak takut sama psikopat kw kayak lo," Jesslyn menghentikan kalimatnya saat melihat Arvie menaikan sebelah alis. "Lo itu..."

"Gue kenapa?!"

"Lo itu bajingan."

Kenneth masih tidak percaya jika Jesslyn bisa semudah itu melupakan Arvie yang sudah bertahun-tahun dikejar. Tidak mungkin kan, gadis itu membuang waktunya bertahun-tahun dan perasaan itu lenyap hanya dalam hitungan detik?

"Gue juga buktinya udah enggak pernah tuh ngeganggu Alana lagi."

Alana mengangguk antusias. "Iya bener! Kamu udah baik, aku suka. Mulai sekarang kita temenan, ok?"

"Kamu harus lebih hati-hati sama dia, Na. bisa aja suatu saat nanti dia ngerencanain hal yang buruk," Arvie menatap bergantian Alana dan Jesslyn. "Tapi tenang aja, sekali lagi kita liat dia nyakitin kamu. Balasannya nyawa."

Lagi-lagi bahas nyawa.

"Setuju," timpal Kenneth.

"Kita sedikit percaya sama lo. Tapi bukan berarti gak bakalan ngawasin gerak-gerik lo," timpal Arvie.

Jesslyn bangkit dari duduknya, ia juga tidak tahu mengapa Jesslyn tiba-tiba berada di lingkaran setan ini. Ia lebih baik menyendiri.

****

Jesslyn merenung dikamar nya, setelah pulang sekolah tadi ia hanya diam. Bingung. Ada banyak pertanyaan yang memutar diotaknya. Sebenarnya kemana perginya jiwa tokoh antagonisnya yang asli.

Dan yang paling terpenting saat ini, harus diakui, Jesslyn merindukan kakaknya. Daffa. Karena mau bagaimanapun satu-satunya yang Jesslyn punya hanyalah Daffa.

Di kehidupannya sebagai Alesha, pengganti kedua orangtuanya hanyalah Daffa seorang, yang telah membiayai hidupnya dengan cukup, Daffa tidak pernah meminta balas budi akan semua itu. Meskipun Alesha tidak mempunyai niat untuk mencari kerja apalagi kuliah. Paling Daffa hanya mengungkit-ungkit jasanya setiap kali lelaki itu sedang stress karena kelakuan Alesha.

Dadanya terasa sesak, ia sendiri tidak tahu akan kembali lagi kehidupan aslinya atau tidak. Bahkan ia tidak tahu Alesha itu masih hidup atau mati disana.

Tapi sebenarnya semua ini juga kesalahan Daffa, jika tidak menulis novel seburuk ini mungkin saja sekarang nasib Alesha sedang menikmati berbagai buku novel yang baru saja ia beli saat sebelum kecelakaan itu.

Dan, tunggu, dia belum mengetahui penyebab mobilnya bisa oleng. Sepertinya bukan rusak, kan? Tapi sengaja dirusak. Tapi siapa yang merusaknya? Ataukah mungkin itu perbuatan para penerror kakaknya? Dan kalau itu benar, bagaimana nasib Daffa yang sendirian, bukankah lebih rawan diteror? Karena pasti berita tentang kecelakaan Alesha itu telah menyebar. Dan mereka akan menyadari bahwa Daffa masih hidup.

Tapi jika suatu saat Daffa dibunuh, Alesha berharap Daffa akan bertransmigrasi juga, ke tubuh salah satu yang ada di novel nya. Dan, apa yang dia lakukan nanti?

Ya, dia akan membisikan ke kuping Daffa. "kakak bangsat!"

Jesslyn berdecak, tidak ada gunanya memikirkan hal random seperti itu. Hanya akan membuatnya semakin pusing saja.

Jesslyn mengerang kesal, "Andai gue gak terima duit haram hasil kak Daffa, udah enggak bakalan kena azab gini mungkin gue."

"Lebih nyesel lagi gue yang udah dijadiin karakter yang paling menderita."

Suara itu? Siapa? Ia tidak melihat siapapun yang di kamarnya tapi ...

Suara itu berasal diatasnya. Bukan, bukan diatas kepala. Justru didalam pikirannya.

The strength of a protagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang