Kalian Siapa?

907 195 51
                                    

🍃🍃🍃

"APA?! SERIUS?!" Pekik Hanan dengan mata terbelalak. Ia sungguh terkejut mengetahui hal ini. "Berarti kita salah dong karena ngasih abang-abang obat tidur," ucap Hanan lagi kemudian melihat Johan.

"Iyalah. Lu ngerusak rencana kita tahu gak," jawab Johan sedikit kesal. Untung saja mereka berempat sudah bangun sebelum Wildan datang kembali.

"Maaf Bang, kita juga 'kan gak tahu kalau kalian dari kepolisian," sahut Rendra.

Johan dan Liam hanya menganggukkan kepala kemudian mereka tiba-tiba berhenti berjalan. "Sembunyi! Sembunyi!" Suruh Johan dan mereka langsung kalang kabut mencari tempat persembunyian. Tak lama, datang dua anak buah Wildan yang sebenarnya ke sana. Mereka berjalan ke arah gudang dan tak lama langsung keluar lagi dari sana.

"Sial, mereka pasti udah dibawa pergi sama Johan. Ayo lapor ke Bos," ucap mereka panik dan berlari ke dalam villa.

"Ayo buruan pindah tempat. Ini mobil siapa?" Tanya Johan sambil menunjuk dua mobil yang terparkir di depan villa.

"Punya saya sama Jevan," jawab Rendra.

"Mana kuncinya? Biar gue yang bawa dan satu lagi dibawa Liam," suruh Johan. Rendra pun memberikan kunci mobilnya pada Johan kemudian pria itu membawa masuk Yoga yang juga belum sadar. Naresh, Rendra, dan Jevano ikut bersama Johan sementara sisanya ada bersama Liam. Kedua polisi itu langsung mengeluarkan mobil dari villa dan pergi secepat mungkin dari sana karena jika mereka terlambat sedikit saja, ada Wildan yang keluar dari villa dengan membawa senjata apinya.

Hanan melihat ke belakang ketika mobil mulai bergerak kemudian matanya membulat saat melihat Wildan berancang-ancang mengangkat pistolnya. "Bang Liam! Si Wildan mau nembak sesuatu!" kata Hanan. Tepat setelah Hanan mengatakan itu, terdengar bunyi tembakan dan mobil yang Liam bawa pun oleng hingga menabrak pohon yang berada di pinggir jalan.

"Bang! Mobilnya Bang Liam nabrak pohon!" Ujar Rendra dari jok belakang memberitahu Johan.

Johan melihat spion kemudian mengumpat pelan. Ia menghentikan mobilnya kemudian menyuruh Rendra dan Yoga—yang kebetulan sudah sadar—untuk menjemput yang lainnya sementara dirinya bersiap menghadapi Wildan.

Hanan, Arka, Aji, dan Chandra yang melihat Rendra menyuruh untuk menghampiri mereka pun segera keluar dari mobil dan berlari. Namun, di belakang sana sudah ada Wildan beserta tiga anak buahnya yang masing-masing juga membawa senjata api.

"AWAS!" Rendra berteriak sambil menunjuk orang-orang yang berada di belakang mereka berempat. Aji dan Chandra langsung menengok ke belakang kemudian dengan sigap menghalangi peluru yang akan menuju ke arah Arka dan Hanan.

"AJI!" Arka berteriak sambil menahan tubuh Aji yang mulai limbung.

"LOH CHANDRA?!" Pekik Hanan terkejut saat melihat Chandra berada di belakangnya dengan senyuman menahan sakit.

"Kak Hanan gapapa, 'kan?"

"Kok elu malah nanyain gue?! Yang ketembak 'kan elu!" Jawab Hanan sambil menangis. Ia menahan tubuh Chandra yang hampir ambruk karena terkena tembakan yang mengenai bagian cukup vital. Pemuda itu juga mulai batuk-batuk dan darah keluar dari mulutnya.

Para penjahat yang tidak mempunyai hati nurani itu mulai kesetanan. Mereka asal menembak seseorang yang ada dengan membabi buta. Rendra, Yoga, bahkan Jevano dan Naresh yang baru keluar dari mobil pun malah ikut terkena juga.

Hanan dan Arka yang melihat teman-temannya mulai tumbang pun panik. Tetapi mereka berdua lebih panik lagi saat melihat tubuh Aji dan Chandra malah terlihat seperti akan menghilang.

"Kalian sebenernya siapa?" Hanan bertanya lirih pada Chandra. Kepala Chandra terdongak kemudian ia tersenyum kecil.

"Setelah semuanya selesai, Kak Hanan dan yang lainnya harus janji datang ke tempat ini, ya?" Ucap Chandra sambil menaruh secarik kertas di telapak tangan Hanan. Setelah itu, Hanan pun tidak ingat apa-apa lagi karena ia merasa jika peluru mengenai kepalanya.

🍃🍃🍃

Ruangan serba putih dan bau khas obat-obatan menyapa Hanan yang langsung terduduk dan berteriak panik. "MANA CHANDRA?!" Pekiknya. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri melihat teman-temannya ternyata ada di ruangan yang sama dengannya namun belum sadar. Tangannya mencoba untuk membuka infus tetapi ada seseorang yang langsung mencegatnya.

"Hey, hey, santai dong, Sayang. Mau kemana sih buru-buru banget?"

"LOH PAPAH?!" Hanan malah terkejut sendiri melihat pria bertubuh tinggi itu ada di sana. "PAPAH NGAPAIN DI SINI?!" Tanyanya.

Plak!

"Heh anak bandel! Malah nanyain kenapa Papah ada di sini! Papah kesini itu ya buat ngelihat keadaan kamulah!" Omel Tian yang ternyata datang juga ke sana. Luka-luka kecil yang berada di tubuh Hanan juga malah sengaja dipukul dan membuat anak berisik itu meringis kesakitan.

"Aww! Aduh! Ih, atuh sakit Mamah~ huhuhu jahat pisan," rengek Hanan sambil memajukan bibirnya.

"Salah sendiri kenapa sok-sokan mau jadi pahlawan! Untung aja kamu gak mati! Kalau kamu mati, nanti Mamah yang ribet harus skidipapap lagi biar punya anak baru!"

"Lah kok Mamah malah mikirnya ke sana?! Gak asik banget, ah!" Protes Hanan tak terima. Kenapa Mamahnya tidak ada rasa kasihan pada dirinya sama sekali. Padahal ia sudah bertaruh nyawa melawan para penjahat dan kepalanya juga telah menjadi sasaran tembakan peluru.

Jonathan yang melihat pertengkaran Tian dengan Hanan pun segera menengahi. "Sstt... Jangan berisik ya, kasihan yang lain nanti keganggu."

"Om Jo? Tante Tian?" Suara serak Rendra terdengar dan membuat kedua orang itu membalikkan badannya. Kebetulan ranjang Rendra terletak berhadapan dengan ranjang Hanan.

"Rendra, akhirnya kamu siuman juga. Masih kerasa sakit banget gak, Sayang?" Tanya Tian yang langsung menghampiri keponakannya itu. Hanan yang melihat hanya berdecih pelan. Ia seperti anak tiri di sini.

"Lumayan sih, Tan. Agak kaku juga mau ngegerakkin badan," jawab Rendra sambil tersenyum tipis. "Oh iya, Bunda sama Papah gak tahu, 'kan?"

"Kenapa Bunda sama Papah gak boleh tahu? Siapa yang nyuruh kamu bertindak heroik kayak gini Rendra?" Tanya seseorang dari ambang pintu. Rendra melongokkan kepalanya kemudian tersenyum kaku.

"Oh, hai, Papah? Apa kabar? Hehe."

Hanan menahan tawanya melihat Rendra akan diomeli juga oleh kedua orang tuanya, kemudian ia tiba-tiba teringat dengan kertas yang diberikan Chandra sebelum dirinya hilang kesadaran. Tetapi, ia tidak menemukan kertas itu di sakunya.

"Cari apa, Nan?" Tanya Jonathan melihat sang anak sibuk sendiri.

"Aku cari secarik kertas, Pah. Dimana, ya?"

"Oh, yang ini bukan," tanya Jonathan sembari merogoh saku celananya. Hanan mengangguk saat melihat kertas itu ada pada Papahnya.

"Iya, Pah. Coba aku liat," pinta Hanan. Matanya terbuka lebar saat melihat tulisan di sana.

Dream Hospital

"Pah, nama rumah sakit ini apa?"

Jonathan yang sedang membaca koran melihat Hanan kemudian menjawab. "Dream Hospital? Kalau gak salah sih itu namanya," jawab Jonathan pada sang anak sambil mengendikkan bahu.

"Loh?! Berarti mereka ada di tempat yang sama kayak gue?!"

🍃🍃🍃

ARA kenapa ituuu 👀

Btw, makasih banyak buat yang masih baca sampai sini ❤️❤️ luv banget. Apalagi kalau ada komen-komen yang menghibur, akunya jadi semangat nulis terus 😻

-Auva✨

[✓] RETAS || NoRen ft. Dreamies + YYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang