SEBUAH RASA

333 21 6
                                    


Semilir angin begitu menyejukkan di cuaca yang agak terik di pagi hari ketika berada dalam perjalanan dengan suasana jalanan yang ramai kendaraan bersliweran di sekitar lampu merah perempatan Gleduk. Hal itu tak menyurutkan semangat seorang pemuda untuk mengantarkan seorang gadis yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu. Kini mereka di masih berhenti di perempatan lampu merah tersebut sambil ditemani alunan lagu pop di radio dari Andmesh Kamaleng berjudul "Cinta Luar Biasa" yang menggambarkan perasaan mereka saat ini.

Mereka sama terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Di pertengahan lagu yang masih mengalun seolah-olah mengiringi perjalanan mereka. Kini mobil yang mereka kendarai kembali melaju. Suasana tetap hening. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke arah gadis di sampingnya melalui pantulan kaca spion tengah sambil menikmati alunan lagu hingga selesai dan berganti celotehan penyiar radio dengan banyolan segar diiring bacaan quotes serta kata-kata manis ala pujangga untuk menyapa para pendengar yang sedang jatuh cinta.

Tibalah kini mereka di sebuah kios Irma Florish di Jalan Supriadi kawasan Jepun. Mereka turun dari mobil dan jalan beriringan memasuki halaman kios di sebelah timur. Di sana seorang wanita paruh baya sedang sibuk menyiapkan beberapa rangkaian bunga yang dipesan oleh beberapa pelanggannya tanpa menyadari kedatangan dua sejoli itu. Wanita itu baru menyadari saat sebuah salam menyapa begitu ramah dan menghentikan kegiatannya sejenak.

"Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam," wanita paruh baya itu menjawab salam tersenyum ke arah keponakannya.

"Kamu sudah pulang to, Nduk?" tanya wanita itu agak terkejut dan heran melihat ke arah Melisa bersama seorang pemuda.

"Kamu diantar siapa?" tanyanya penuh selidik.

"Saya diantar teman, Budhe," jawab Melisa.

"Terus motormu kemana?" tanyanya lagi.

"Nanti diantar kesini."

Hendri masih bergeming berdiri di belakang Melisa yang masih sibuk ditanyai oleh budhenya.

"Ini to temen yang kamu maksud tadi?" tunjuknya pada Hendri yang masih berdiri di belakang Melisa sembari senyum mengangguk.

Hendri perlahan mendekat dan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri, "Saya Hendri, tante."

Budhe Irma menjabat uluran tangan itu dengan ramah.

"Kamu temannya, Mel?" tanya budhe penuh selidik.

"Iya. Teman dadakannya, Tan?" ucap Hendri.

"Panggil budhe aja, nggak usah tante."

Hendri kemudian duduk di kursi panjang di sebelah kios membiarkan mereka berbincang. Sedangkan budhe Irma menarik lengan keponakannya agak ke dalam kios untuk diajak bicara.

"Budhe, saya baru datang kok udah diintrogasi," protes Melisa.

"Setau budhe, kamu kalau pas pulang ndak pernah dianterin cowok, makanya budhe heran."

"Saya tadi kenalan sama dia di kafe mas Mario ndak sengaja, Dhe?"

Melisa beri penjelasan menjawab rasa penasaran budhe Irma.

"Ya sudah suruh dia masuk ke sini atau ajak mampir ke rumah. Budhe mau lanjutin ini dulu."

"Iya, Dhe."

Kemudian budhe Irma melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda dengan kedatangan mereka.

"Oh ya, Hend. Maaf tadi agak lama diajak ngobrol dulu sama budhe," ucap Melisa merasa tak enak hati meninggalkan lelaki itu duduk sendiri di sebelah kios.

"Ndak apa-apa santai aja."

"Kita kesana yuk!" ajak Melisa.

Dia bermaksud mengajak Hendri untuk mampir sebentar ke rumahnya.

SEGENGGAM   SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang