BIMBANG

387 25 6
                                    

Untuk pertama kali hati telah tergugah
Untaian kalimat yang terucap berdengung riuh tanpa lelah
Bangkitkan rasa yang entah
Menjabarkan kata yang terukir begitu indah

Kala malam datang
Rasa ini hendak kutuang
Dalam bait per bait kata sebagai pengobat bimbang
Angan-angan masih dipenuhi seraut wajah tanpa luput dari pandang

Suaramu menggema dan terus terngiang
Hanya di lembah hati, diri ini mampu berbicara lantang
Ungkap rasa kasih bersenandung riang
Nada-nada asmaramu mampu membuatku mabuk kepayang

Di antara ragu, rindu menghentak kalbu
Hampir di sepertiga malam terjaga selalu
Seraut wajah terbingkai dalam ingatan
Bersemayam diam-diam beranjak pun enggan

Ingin sehari saja coba melupa
Namun sulit dilakukan
Pernah sekali mencoba
namun separuh diri ini seakan hilang

Maka kubiarkan saja kasih tulus mengalir
selaksa air dari hulu ke hilir
Dan semoga rasa ini bermuara
Bertemu segera dalam fitrah cinta
Seperti asa yang sama kita damba

Malam kian larut namun mata tak penat jua. Makin malam sulit terpejam. Masih terjaga, duduk terasa enggan, berbaring tiada nyaman, angan dipenuhi seraut wajah sang pujaan, berdiri pun tak jenak, hingga menjelang pagi hati tetap saja bimbang.

Selama hampir tiga hari tiap malam, Melisa begitu resah sejak Hendri mengutarakan perasaannya di kafe Mario waktu itu. Dan selama tiga hari mereka tidak bertemu. Bukan bermaksud menghindar, sejak acara minggu malam pentas itu, ia memang tak ada permintaan mendekorasi di kafe Mario. Oleh karena itu ia hanya stay di kios membantu budhe Irma di sana.

Ia sedang merangkai bunga pesanan dari beberapa pelanggan, namun sikapnya terlihat kurang bersemangat. Budhe Irma yang memperhatikannya sejak tadi menggeleng sambil mendekatinya.

"Anak gadis pagi-pagi ndak baik melamun."

Melisa sedikit tersentak kemudian sadar dari lamunannya sesaat yang lalu.

"Budhe ngagetin aja," protesnya tampak cemberut.

"Kamu kenapa to? Budhe perhatikan kayak lagi susah gitu. Kangen sama mas ngganthengmu itu yo?" tanya budhe Irma dengan nada menggoda.

"Ndak kok, Dhe," kilah Melisa.

"Udah jujur aja. Budhe juga pernah muda. Kalau budhe perhatikan nak Hendri itu tresno sama Kamu," desak budhe menilai sikap Hendri yang terlihat menaruh hati pada keponakannya.

"Darimana Budhe tahu?" tanya Melisa tampak malu-malu.

Budhe Irma menghela nafas sejenak mengingat perbincangannya dengan lelaki bernama Hendri tiga hari yang lalu saat berkunjung ke rumah untuk menjemput Melisa.

"Budhe ini sudah tua, Ndhuk. Sudah banyak makan asam garam dan bertemu banyak orang. Jadi paham dengan hal semacam itu. Hendri itu juga terlihat jelas menaruh hati padamu, tampak dari sikapnya dan cara memandangmu," ungkap budhe Irma menilai sosok Hendri.

"Katresnan iku dirasa ing penggalih. Ora perlu diselak, selama tidak merugikan orang lain ndak masalah. Kamu dan Hendri masih sama-sama sendiri alias masih bujang. Yang salah itu jika cintamu jatuh pada orang yang sudah punya pasangan itu yang disebut merugikan karena merebut kebahagiaan milik orang lain. Dadi bocah wedok ojo mung ayu rupa nanging ayu tumindak lan polah tingkah sing pantes disawang lan nduweni ajining diri iku kang utama," lanjut budhe Irma beri nasehat.

(Katresnan iku dirasa ing penggalih = cinta itu dirasakan oleh hati)

(Ora perlu diselak = tidak perlu diingkari)

(Dadi bocah wedok ojo mung ayu rupa nanging ayu polah tingkah lan tumindak sing pantes disawang lan nduweni aji diri iku kang utama = jadi anak perempuan jangan hanya cantik rupa tapi cantik dalam sikap dan tingkah laku yang pantas/layak dilihat dan memiliki harga diri itu yang utama/terpenting)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEGENGGAM   SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang